Langsung ke konten utama

DINASTI BUWAIHI (945 – 1055 M)


Pendahuluan
Jika kita menyimak sejarah, terutama tentang berdiri dan jatuhnya suatu kekuasaan, jelas bagi kita bahwa Allah SWT memberikan dan mencabut kekuasaan terhadap orang yang Ia kehendaki, sebagaimana firman-Nya :
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, terdapat dinasti-dinasti kecil, di antaranya Dinasti Buwaihi yang berkuasa di Irak. Dinasti ini meruakan bagian dari sejarah perdaban Islam yang pernah berkuasa. Keberadaan dan kekuasaannya akan memberikan citra terhadap perkembangan peradaban Islam masa lalu dan memberikan inspirasi bagi generasi berikutnya.
Kekuasaan Dinasti Buwaihi yang beraliran Syi’ah menjadikanBaghdad sebagai pusat pemerintahannya dengan membangun gedung tersendiri yang diberi nama Darul Mamlakah. Setelah mengalami masa kemajuan, akhirnya Dinasti Buwaihi mengalami kejatuhan ketika dirampas oleh Bani Saljuk.
Berdirinya Dinasti Buwaihi
Bersamaan dengan kekuasaan Nuh bin Nasr, Dinasti Saman terlibat konflik dengan orang-orang dari Suku Daylam di kota Al-Jibal (Ray). Putra Nasr bin Ahmad bin Ismail Samani berambisi menguasai kembali wilayah Ray. Secara de jure, kawasan Ray telah dikuasai oleh orang-orang Suku Daylam. Ternyata tidak mudah bagi Nuh bin Nasr untuk menaklukkan suku ini. Malah sebagian pasukannya sewaktu menyerbu Ray membelot berpihak kepada Suku Daylam. Rezim Saman pun kalah menghadapi suku ini.
Ibnu Abi As-Saj, Gubernur Azerbaijan, mengundurkan diri pada tahun 926 M. Bersama pasukannya, dia menuju ke Irak untuk menaklukkan gerakan ekstrimis Kaum Qaramithah (Syi’ah Zaidiyah). Kekosongan kekuasaan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Mardavij bin Zayyar. Tahun 927 M Mardavij berhasil menaklukkan Ray danIsfahan.
Mardavij tidak sendirian dalam hal ini. Untuk membangun kekuatan militer yang tangguh, dia merekrut para nelayan dari tepi pantai Laut Kaspia. Mereka inilah yang dikenal sebagai Suku Daylam. Di antara mereka yang direkrut oleh Mardavij adalah Ali bin Buya, putra seorang nelayan dari klan Buwaihi. Dua saudara Ali, Hasan dan Ahmad, turut juga bergabung. Bersama Suku Daylam, Mardawij berhasil menaklukkan Persia pada tahun 932 M.
Rupanya, keberhasilan merebut wilayah Persia lebih banyak didominasi oleh peran orang-orang Buwaihi. Wajar jika Ali bin Buya berambisi untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mardavij bin Zayyar. Setelah Mardavij meninggal dunia, dia tidak memiliki pengganti yang cukup cakap. Kesempatan baik ini dimanfaatkan oleh Ali bin Buya. Dia mengambil alih kekuasaan dengan amat mudah. Pasca meninggalnya Mardavij bin Zayyar, kedudukan Ali bin Buya makin kokoh di Ray danPersia.
Ada beberapa riwayat tentang asal-usul Dinasti Buwaihi.Pertama, Buwaihi berasal dari keturunan seorang pembesar yaitu Menteri Mahr Nursi. Pendapat kedua mengatakan bahwa Buwaihi adalah keturunan Dinasti Dibbat, suatu dinasti di Arab. Ketiga, Buwaihi adalah keturunan raja Persi. Dan keempat, Buwaihi berasal dari nama seorang laki-laki miskin yang bernama Abu Syuja’ yang hidup di negeri Dailam. Negeri yang terletak di Barat Daya Laut Kaspia dan telah tunduk pada kekuasaan Islam sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Nampaknya pendapat keempatlah yang dianggap mendekati.
Dinasti ini berasal dari keluarga miskin. Sampai-sampai setelah berkuasa, Ahmad, salah satu penguasa Dinasti Buwaihi terus mengenang masa-masa pahitnya dengan mengatakan, “Aku pernah menjunjung kayu api di kepalaku.”
Buwaihi atau Abu Syuja’ mempunyai tiga orang anak laki-laki, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Ketiganya menjadikan lapangan ketentaraan sebagai mata pencaharian, dan telah bergabung denga tentara Makan bin Kali, salah seorang panglima terkenal di negeri Dailam. Mereka telah membuktikan kecakapannya di dalam melaksanakan tugas masing-masing.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Dailam telah berada dalam kekuasaan orang-orang Muslim dan tunduk pada pemerintahan Khalifah. Di Provinsi Kaspia yang dihuni Suku Dailam ini pun, pernah didatangi kalangan Syi’ah yang ketika itu sedang melarikan diri dari kerajaan Abbasiyah dan berhasil menjadikan warga Dailam memeluk Islam. Namun pada tahun 864, warga Syi’ah Dailam memproklamirkan kemerdekaan mereka dari Khalifah Abbasiyah, mengusir gubernur Abbasiyah dan mendirikan sebuah negara merdeka.
Makan bin Kali ialah panglima kedua di Dailam sesudah Laila bin An-Nu’man yang menjadi panglima pertama. Ketika Laila terbunuh sewaktu memimpin tentara, Zaidiyah menentang Raja Samaniyah. Makan telah mengambil tempatnya sebagai panglima yang pertama. Tetapi salah seorang bawahannya bernama Asfar bin Syiruwaih telah berkhianat dengan dibantu oleh Mardawij bin Ziar. Mereka mendapat kemenangan menentang Makan. Ketika Asfar terbunuh, maka kekuasaan berpindah kepada Mardawij dan saudaranya yaitu Wasyamkir.
Ketiga anak Buwaihi ini akhirnya berpihak kepada Mardawij, setelah Makan mengalami kekalahan. Namun sebelumnya, mereka pun meminta izin dulu kepada Makan, dengan alasan meringankan beban Makan, dan akan membantunya kembali apabila kekuasaan telah pulih. Makan mengizinkan hal itu, begitu juga panglima-panglima lain mengikuti jejak mereka. Mardawij pun menyambutnya dengan senang hati. Dan masing-masing bekas panglima tentara Makan diserahi kekuasaan menjadi pemerintah di wilayah-wilayah yang ditundukkan oleh Mardawiij. Ali bin Buwaih wilayah Karkh. Begitu juga Hasan bin Buwaih dan saudaranya, Ahmad, diserahi tugas sebagai pentadbir wailyah-wilayah lain yang penting.
Pegawai-pegawai pemerintah yang baru itu telah berangkat ke wilayah Raiyi disertai oleh Wasyamkir bin Ziar dan Abu Abdullah Al-Amid, wazir kepada Mardawij, dan singgah di sana sebelum masing-masing menuju wilayah yang telah ditetapkan untuk tugas mereka. Pada waktu tersebut, Mardawij telah memikirkan kembali perkara pelantikan-pelantikan, lalu merasa menyesal menyerahkan wilayah-wilayah tersebut kepada bekas panglima-panglima Makan itu. Maka ia pun mengirim surat kepada Wasyamkir supaya menahan dulu ketiga panglima tersebut di Raiyi. Tetapi surat itu sampai kepada Abu Abdullah Al-Amid lebih dulu. Setelah membaca isinya, Abu Abdullah segaera menemui Ali bin Buwaih dengan sembunyi-sembunyi dan memintanya supaya segera berangkat ke wilayah Karkh yang akan diperintahnya. Pada keesokan harinya, baru Abu Abdullah menyerahkan surat itu kepada Wasyamkir, sementara Ali bin Buwaih telah berada jauh dalam perjalanannya menuju wilayah Karkh yang kemudian menjadi miliknya.
Pemerintahan Buwaihi didasarkan pada sistem kekeluargaan, yang satu sama lain saling mengakui daerah kekuasaan masing-masing, termausk daerah yang dikuasai oleh saudara tertua, Ali, yang telah menguasai Isfahan ketika Mardawij terbunuh dan tak lama kemudian seluruh Fars. Sedangkan Hasan menguasai Provinsi Ray dan Jibal, sednag yang paling muda menguasai wilayah pantai selatan yaitu Provinsi Kirman dan Khuzistan.
Pada saat itu, keadaan di Baghdad semakin buruk. Golongan mamalik dan Amir-amir Umara’ tidak berhasil menjalankan pemerintahan dengan baik. Pada tahun 334 H, panglima-panglimaBaghdad telah menulis surat kepada Ahmad bin Buwaih supaya datang ke Baghdad dan menagmbil kekuasaan. Ahmad telah menanggapi permintaan itu, dan khalifah Abbasiyah telah mengeluk-elukkannya serta menjadikannya Amir Umara dengan gelar Mu’iz ad-Daulah, saudaranya, Ali, diberi gelar Imad ad-Daulah, dan Hasan, diberi gelar Rukn ad-Daulah. Beberapa waktu kemudian khalifah-khalifah Abbasiyah telah tunduk kepada Bani Buwaih, dan nasib dunia Islam berkaitan dengan golongan yang baru berkuasa itu. Sehingga pada zaman tersebut, khalifah tidak mempunyai kekuasaan dan pengaruh lagi.
Adapun khalifah-khalifah Abbasiah di zaman tersebut adalah : Al-Mustakfi, Al-Muti, At-Ta’tie, Al-Qadir dan Al-Qa’im.
Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah dan kesulitan kontak dengan wilayah propinsi menyebabkan disintegrasi pemerintahan tersebut. Di samping itu, sistem pemerintahan Buwaihi yang disandarkan pada kekuasaan militer, memudahkan untuk menguasai Baghdad, bersamaan dengan menurunnya kekuatan militer di pemerintahan pusat.
Selama periode Buwaihi, tercatat beberapa Amirul Umara yang memerintah di Baghdad, yaitu :
1. Mu’iz ad-Daulah tahun 945 M
2. ‘Izz ad-Daulah Bakhtiyar tahun 967 M
3. Adud ad-Daulah tahun 978 M
4. Samsan Ad-Daulah tahun 983 M
5. Sharaf Ad-Daulah tahun 987 M
6. Baha ad-Daulah tahun 989 M
7. Sulthan ad-Daulah tahun 1012 M
8. Musharif ad-Daulah tahun 1020 M
9. Jajal Ad-Daulah tahun 1025 M
10. Imaduddin Abu Kalijar tahun 1044 M
11. Al-Malik ar-Rahim tahun 1045-1055 M
Sistem Pemerintahan Buwaihi
Sistem pemerintahan Dinasti Buwaihi tidak independen seperti Dinasti Saman. Ali bin Buya masih mengakui otoritas Baghdadsebagai pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, sekalipun pada waktu itu sudah amat lemah. Ali bin Buya terus berusaha mendapat simpati dan dukungan politik dari Khalifah Al-Mustakfi (berkuasa 944-946 M).
Jabatan para penguasa Dinasti Buwaihi tidak lain sebatas gubernur, bukan khalifah. Ini jelas berbeda dengan status jabatan penguasa beberapa dinasti sebelumnya di Persia. Albert Hourani (2004) menjelaskan bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi banyak menyandang gelar dinasti Persia Kuno. Seperti gelar “Syahansyah” (Rajadiraja). Penelitian arkeologis telah menemukan sebuah medali bertahun 969 M bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi menggunakan gelar “Syahansyah” (Rajadiraja). Dengan demikian, Dinasti Buwaihi termasuk generasi penerus peradaban Persia Kuno, seperti halnya Dinasti Saman, yang bermaksud mengembalikan kejayaan orang-orang Arya.
Kekompakan tiga bersaudara, Ali, Hasan, dan Ahmad turut menentukan bagi keberhasilan dinasti ini dalam mengembangkan wilayah kekuasaannya. Dengan didukung oleh para tuan tanah dari Suku Arrajan di Persia, Ali dan saudara-saudaranya menancapkan kekuasaan di Ray dan Persia. Hingga pada tahun 945 M, dengan kekompakan tiga bersaudara ini, orang-orang keturunan Buwaihi berhasil menguasai seluruh Persia, Irak, dan Ray.
Oleh Al-Mustakfi, ketiga bersaudara keturunan klan Buwaihi ini mendapat beberapa gelar kehormatan: Ali bin Buya mendapat gelar Imad Ad-Daulah (Tiang Negara); Hasan bin Buya mendapat gelar Rukn Ad-Daulah (Penopang Negara); dan Ahmad bin Buya mendapat gelar Mu’iz Ad-Daulah (Penegak Negara).
Wilayah kekuasaan Dinasti Buwaihi memang lebih menyerupai sebuah federasi ketimbang kerajaan. Kekuasaan Dinasti Buwaihi memang lain dengan kekuasaan orang-orang keturunan Saman Khuda (Dinasti Saman). Unit-unit kekuasaannya lebih dipusatkan di kota-kota besar. Seperti kekuasaan di Persia dipusatkan di kota Syiraz danIsfahan. Kekuasaan di Ray dipusatkan di kota Al-Jibal. Dan, kekuasaan di Irak dipusatkan di kota Baghdad, Bashrah, dan Mosul.
Dalam perjalanan berikutnya, rezim Buwaihi terus mendapat tekanan politik dari orang-orang keturunan Saman Khuda. Setelah Ray dan Isfahan berhasil diambil-alih oleh orang-orang Buwaihi, Nuh bin Nasr, putra Nashr bin Ahmad bin Ismail Samani, berusaha merebut kembali wilayah kekuasaannya. Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Hasan bin Buya (Rukn Ad-Daulah) dengan pasukan Nuh bin Nasr. Pada peristiwa ini, pasukan Dinasti Saman justru memihak kepada orang-orang Buwaihi. Akibatnya Nuh bin Nasr kalah telak.
Pasca kekalahan menaklukkan wilayah Ray, Dinasti Saman berkoalisi dengan Dinasti Hamdan di Mosul. Nuh bin Nasr meminta bantuan kepada para penguasa Mosul (Dinasti Hamdan) lewat mediator Ibrahim bin Ahmad, pamannya sendiri. Hasilnya cukup memuaskan karena pada tahun 944 M, Dinasti Saman berhasil merebut kembali wilayah Ray. Tetapi, para keturunan Buwaihi terus menggerogoti kekuasaan Nuh bin Nasr di Ray. Ali bin Buya (Rukn Ad-Daulah), penguasa Dinasti Buwaihi di Syiraz memberikan dukungan kepada Abu Ali yang memberontak pada tahun 950 M.
Kemajuan yang Dicapai
Pemerintahan Dinasti Buwaihi periode pertama dipegang oleh Mu’iz ad-Daulah. Sejak zaman ini, otoritas kepemimpinan seorang khalifah sangat terbatas. Namun Buwaihi tidak berusaha melenyapkan kekhalifahan. Keberadaan khalifah hanya sebagai simbol untuk mendapat simpati publik. Serta mengakui sebuah ide bahwa hak mereka untuk memerintah bergantung pada keabsahan khalifah. 
Pada masa ini mulai diperbaiki kerusakan-kerusakan yang diderita Baghad dari kerusuhan-kerusuhan selama belasan tahun terakhir. Atas keberhasilan memulihkan situasi ini, Al-Mustakfi menyerahkan kekuasaan keuangan pemerintahan kepada Mu’iz, dan nanti namanya dicetak pada mata uang logam.
Mu’izz menurunkan Al-Mustakfi dari singgasana dan menggantinya dengan Al-Muti’ yang memang sebelumnya telah menjadi saingan Al-Mustakfi. Tindakan ini lebih didasari atas keinginan untuk lebih menguasai pemerintahan, karena dalam hal ini Al-Mustakfi tidak sejalan dengan Mu’izz.
Mu’izz memerintah lebih dari dua puluh tahun. Sementara saudara-saudaranya di timur memperluas daerah kekuasaan. Pada tahun 952 M, suatu usaha dari kaum Qaramithah dan Omani untuk merebut Basrah, dipukul mundur oleh tentara Buwaihi.
Pada pemerintahan Adud ad-daulah mulai dilakukan upaya-upaya persatuan atas wilayah kekuasaa Irak, Persia Selatan danOman. Dinasti Buwaihi periode ini telah menjalankan suatu kebijakan yang sangat ekspansionis, di Barat terhadap Hamdaniyah al-Jazirah dan Zijariyyah Thabaristan, Samanniyah Khurasan. Pada pemerintahan Adud ad-Daulah inilah Dinasti Buwaihi di Baghdad mengalami masa keemasan, sebagai pusat dari pemerintahan Baghdad, Adud ad-Daulah berhasil mempersatukan semua penguasa Buwaihiyah. 
Pemerintahan Adud ad-Daulah sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan berbagai disiplin ilmu. Kedekatannya dengan para ilmuwan saat itu menjadikan loyalitas mereka terhadap pemerintahan sangat tinggi. Istana pemerintahan pernah dijadikan sebagai tempat pertemuan para ilmuwan saat itu. [14] Bahkan pada masa itu dibangun rumah sakit terbesar, yang terdiri dari 24 orang dokter, dan digunkana juga sebagai tempat praktek mahasiswa kedokteran saat itu.
Sebagai penganut Syi'ah Dua Belas, Dinasti Buwaihi banyak menghidupkan syiar Syi'ah. Kendati mereka berbuat demikian, Khalifah Abbasiyah tetap dibiarkan meneruskan kepemimpinan simbolis bagi Umat Islam. Di antara tindakan penguasa Buwaihi yang menguntungkan kelompok Syi'ah ialah pengadaan upacara keagamaan Syi'ah secara publik, pendirian pusat-pusat pengajaran Syi'ah di berbagai kota, termasuk Baghdad, dan pemberian dukungan terhadap para pemikir dan penulis Syi'ah. Memang masa kekuasaan Dinasti Buwaihi adalah bersamaan dengan bermulanya masa "ketidakhadiran agung" (al-ghaibah al-kubra) Imam ke-12. Dan saat itu pula terjadi kristalisasi penting dalam periode pembentukan madzhab Syi'ah.
Periode Buwaihi diwarnai dengan kegiatan penulisan. Parapemikir penting, di samping pakar-pakar teori Syi’ah, sempat menuliskan ide-ide mereka. Bahkan Ibnu Sina (w 1037 M / 428 H), seorang filosof dan dokter dieri kepercayaan menjadi wazir oleh Syamsud Daulah (w. 1021 M / 412 H) yang berkuasa di Isfahan. Tercatat pula serentetan penulis kenamaan dari berbagai disiplin ilmu, umpamanya Ibnu an-Nadim (w. 995 M / 385 H), seorang ensiklopedis dengan bukunya al-Fihris; Ibnu Miskawaih (w. 1030 M / 421 H), seorang filosof – sejarawan menulis Tajarib al-Umam; Abu al-Farah al-Isfahani (w. 967 M / 356 H), seorang sejarwan – sastrawan menulis al-Agani; dan Abu al-Wafa an-Nasawi, pakar matematik, memperkenalkan system angka India ke dalam Islam. Di samping itu, berbagai aktivitas ilmiah dan kemausiaan juga digalakkan dengan dibangunnya peneropong bintang dan rumah-rumah sakit di berbagaikota. 
Sebagaimana telah dimulai pada masa-masa awal Dinasti Buwaihi dalam memperbaiki kerusakan perekonomian yang beberapa dekade sebelumnya mengalami kehancuran, berupa melakukan perbaikan beberapa saluran irigasi dan mengambil tanah-tanah yang ditinggalkan pemiliknya. Sistem administrasi keuangan sangat berkaitan erat dengan organisasi militer, seperti juga pada periode Muiz pertama kali berkuasa. Pemerintahan Adud didasarkan pada metode-metode birokratik perpajakan dan sejumlah pembayaran untuk kebutuhan istana dan militer. Staf pemerintahan pusat mengumpulkan pendapatan negara dari daerah-daerah kekuasaan dan membayar pejabat dan tentara yang mengabdi kepada negara secara kontan dengan pembayaran di muka. Konsep ini lazimnya disebut dengan distribusi iqtha’, yaitu sebuah mekanisme untuk mensentralisasikan pengumpulan dan pengeluaran atas pendapatan negara dan pada dasarnya hak tanah iqtha’ hanya diberikan berdasarkan syarat pengabdian militer, dan hanya berlaku sebatas kehidupan orang yang sedang menjabat. 
Peristiwa-peristiwa Penting
Selama masa pemerintahan Dinasti Buwaihi, ada beberapa peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah, yaitu :
1. Baghdad dan Siraz
Kedudukan Baghdad sebagai ibu kota dari segi politik dan agama. Di zaman Dinasti Buwaihi, Baghdad telah kehilangan kepentingannya dari segi politik yang mana telah berpindah ke Syiraz, tempat bermukimnya Ali bin Buwaih yang bergelar Imad ad-Daulah. Pengaruh Baghdad dari segi agama juga semakin pupus, disebabkan perselisihan madzhab di antara khalifah-khalifah dari Dinasti Buwaihi. Pertikaian ini telah melumpuhkan sama sekali pengaruh rohaniah yang selama ini dinikmati oleh khalifah.
2. Ikhwanus Shafa
Di zaman ini muncul kumpulan ikhwanus shafa yang mengamalkan berbagai falsafah dan hikmah yang dikatakan bersumber dari mereka.
3. Negeri-negeri yang Memisahkan Diri
Semasa berada di puncak kekuasaan, Dinasti Buwaihi telah menyatukan kembali sebagian wilayah Islam yang telah memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasiah Tetapi ketika kekuasaan Dinasti Buwaihi mulai merosot, banyak pula kerajaan yang memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasiah, di antaranya ialah kerajaan Imran bin Syahin di Batinah, kerajaan Najahiyah di Yaman, kerajaan ‘Uqailiyah di Mausil, kerajaan Kurd di Diar Bakr, kerajaan Mirdasiyah di Aleppo, kerajaan Samaniyah di seberang sungai dan di Khurasan dan kerajaan Saktikiyah di Ghaznah.
4. Perselisihan madzahab
Ajaran Islam tiba di Dailam melalui kaum Syi’ah yang diwakili oleh Hasan bin Zaid, kemudian oleh al-Hasan bin Ali al-Atrusy. Sedangkan masyarakat Baghdad ketika itu beraliran sunni. Terlebih ketika Khlaifah al-Qadir berusaha menentang faham syi’ah.
Kemunduran Pemerintahan Dinasti Buwaihi
Faktor-faktor yang menjadi penyebab mundurnya pemerintahan Buwaihi adalah :
1. Sistem pemerintahan yang semula didasarkan pada kekuatan militer, belakangan diorganisir menjadi sebuah rezim yang lebih setia terhadap pimpinan mereka atas kekayaan dan kekuasaan daripada setia terhadap negara.
2. Konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan Diansti Buwaihi pada masa-masa awal, tidak bisa dibina lagi pada masa-masa selanjutnya. Konflik antar anggota keluarga menjadikan lemahnya pemerintahan di pusat.
3. Pertentangan antara aliran-aliran keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa Dinasti Buwaihi adalah penyebar madzhab Syi’ah yang sungguh bersemangat, di balik kebanyakan rakyat Baghdadyang bermadzhab sunni. Pertentangan tersebut pada periode awal Dinasti tidak begitu nampak, terutama pada masa Adud ad-Daulah, kemudian mulai menajam kembali dan mengalami puncak pada akhir Dinasti Buwaihi di Baghdad. Hal ini tidak terlepas dari peran dan kebijakan Khalifah al-Qadir yang mengepalai pertempuran sunni melawan Syi’ah dan berusaha mengorganisir sebuah misi Sunni untuk menjadi praktek keagamaan. Melalui sebuah pengumuman yang resmi, ia menjadikan Hanbalisme sebagai madzhab muslim yang resmi.
4. Kekalahan telak dari Kaum Saljuk yang berakibat jatuhnya pemerintahan Dinasti Buwaihi ke tangan Tughril Beg, yang sekaligus mengakhiri masa pemerintahan Dinasti Buwaihi.
Bagaimanapun keberhasilan Dinasti Buwaihi memang tidak bertahan lama. Sejak kematian Adud ad-Daulah pada tahun 983 (372 H) keutuhan keluarga Buwaihi mengalami erosi dan perpecahan. Ide kerjasama yang dikembangkan generasi pertama rupanya tidak mengakar, cabang-cabang keluarga tidak puas dengan otonomi yang dinikmati bahkan ada yang menginginkan kekuasaan tunggal atas seluruh wilayah Buwaihi. Mungkin tendensi demikian merupakan perkembangan natural dari upaya individu-individu Buwaihi dalam menghadapi perubahan dan tantangan eksternal. Misalnya, pada perempat akhir abad ke-10, Dinasti Fatimiyah telah muncul sebagai ancaman langsung terhadap pengaruh Buwaihi di barat dan selatan. Di Persia dan Arabia Timur ancaman masing-masing datang dari Samaniyah kemudian Gaznawiyah dan Qaramitah.
Juga posisi wilayah Buwaihi yang strategis bagi perdagangan antara timur dan barat serta selatan dan utara, kemudian telah dilemahkan oleh politik perdagangan Fatimiyah yang agresif lewat Laut Merah. Peranan Teluk Persia yang pernah dominan menjadi semakin pudar. Kurang berkembangnya pertanian akibat sistem perpajakan yang tidak efisien dan eksploitatif, serta turunnya volume perdagangan jelas melemahkan sistem ekonomi Dinasti Buwaihi. Pada gilirannya kelemahan politik, ekonomi, sosial dan militer telah memudahkan bagi kekuatan-kekuatan baru seperti para pemimpin lokal, dan Gaznawiyah kemudian Saljuk untuk merebut kekuasaan. Ray dan Jibal diduduki Mamud al-Gaznawi (1029/420 H); Fars diambilalih pemimpina Kurdi, Fadluyah (1056/448 H) dan Baghdad oleh Tugril Beg (1055/447 H).

Penutup
Demikianlah sekilas tentang keberadaan dan kekuasaan Dinasti Buwaihi pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Buwaihi yang merupakan salah satu Dinasti yang menguasai daerah Asfahan, Syiraz dan Kirman di Persia. Baghdad pun mereka kuasai sampai tahun 1055 M. Khalifah Bani Abbas tetap diakui, tetapi kekuasaan dipegang oleh penguasa-penguasa Buwaihi. Akhirnya kekuasaan Buwaihi dirampas oleh Dinasti Saljuk.


DAFTAR PUSTAKA
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta :Logos.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.Jakarta : UI Press.
Harun Nasution (ed.), 1992. Ensiklopedi Islam. Jakarta : Djambatan.
Syalabi, A. 1993. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta : Pustaka Alhusa.
Watt, Montgomery. Kejayaan Islam, Kajian kritis dari Tokoh Orientalis.
Beik, Muhammad Khudory. Tarikh al-Imam al-Islami.
Hasan, Ibrahim. Tarikh al-Islam, juz III.
Lapidus, 1985. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ZIKIR VERSI TAREKAT

1. Enam tingkatan dalam persiapan zikir, I. Berniat Dalam niat itu diucapkan : "Ilaahi anta maqshuudii wa ridhaka mathlubi". (Ya Allah, Engkaulah yang aku maksud dan keridhaan-Mulah yang aku cari). II. Duduk Tarekat. Yaitu duduk seperti duduk tahiyat terakhir dalam sholat, kepala ditundukkan ke sisi kiri. III. Rabithatu Mursyid (rasa pertalian dgn Nabi Muhammad saw). 1. Mengucapkan: "Assalmu alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wabarakatuh". Pada tingkat ini seolah-olah Nabi Muhammad saw hadir di depan kita bersalaman. 2. Kemudian mengucapkan: "Assalamu 'alaina wa 'ala ibadishshalihin". Mengucapkan salam atas diri dan hamba-hamba Allah swt yg sholeh. IV. Bertobat. A. Membaca Istighfar tujuh kali Diniatkan supaya diampunkan oleh Allah swt dosa kita, yaitu: 1. Mata, 2. Telinga, 3. Hidung, 4. Mulut, 5. Tangan, 6. Kaki, dan 7. Syahwat. B. Membaca Istighfar tujuh kali untuk diampunkan dosa bathin, yait

TAKHRIJ HADITS TENTANG MENDATANGI DUKUN

TAKHRIJ HADITS TENTANG MENDATANGI DUKUN Penelitian  takhrij dilakukan dengan menggunakan metode takhrij al-hadits bi al-lafzh dengan menggunakan program CD Al-Maktabah al-Syamilah Versi 3.28 dengan kata kunci يَأْتُونَ الْكُهَّان . Menurut hasil pencarian, potongan hadits tesebut terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud, juz 1, hlm. 349; Musnad Ahmad , juz 39, hlm. 184, 185 dan 186; Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz 8, hlm. 138; Mu’jam al-Kabir li al-Thabrani , juz 14, hlm. 326 dan 327. Berikut ini dikemukakan secara lengkap teks hadits tersebut serta jalur-jalur sanadnya:       سنن أبي داود (ج 1\ ص 349) باب تَشْمِيتِ الْعَاطِسِ فِى الصَّلاَةِ. رقم : 931 حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى ح وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ - الْمَعْنَى - عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ حَدَّثَنِى يَحْيَى بْنُ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ هِلاَلِ بْنِ أَبِى مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِىِّ قَالَ صَ

KISAH SINGA DAN GAJAH

Di sebuah hutan terdapat raja hutan (singa) yang merasa dirinya hebat, dan untuk melegalisasikan kehebatannya, maka si singa bertanya kepada sebagian penghuni hutan. Bertanyalah si singa kepada seekor gorila. Singa: “Hai gorila, siapakah yang paling gagah di hutan ini?” Gorila: “Anda tuanku Baginda.” Banggalah si singa mendengar itu. Kemudian ia bertemu dengan seekor banteng. Singa: “Hai banteng, siapakah yang paling gagah dan hebat di hutan ini?” Banteng: “Sudah tentu Anda Baginda Raja hutan.” Mendengar jawaban-jawaban dari sebagian hewan yang ia temui, merasa sombonglah si singa. Kemudian ia berjalan kembali dengan PDnya, dan di tengah jalan ia bertemu dengan seekor gajah. Singa: “Hai gajah,Kau adalah hewan dengan hidung,telinga,dan badan terbesar di hutan ini,mungkin otakmu juga sebesar tubuhmu,,aku mau tanya, siapakah yang paling gagah dan perkasa di hutan ini?” akan Tetapi gajah tidak menjawab, dan di luar dugaan singa, gajah langsung menghajar dan menginja