Langsung ke konten utama

Sejarah Perkembangan Tafsir


Pendahuluan
Telah menjadi sunnatullah bahwa Ia mengutus setiap Rasul dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini agar komunikasi antara mereka berjalan dengan sempurna. Allah berfirman;
 “Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat member penjelasan dengan terang kepada mereka”. (Ibrahim: (14):4).
Kitab yang diturunkan kepadanya juga dengan bahsanya dan bahasa kaumnya. Apabila bahasa Muhammad adalah bahsa Arab, maka kitab yang diturunkan kepedanya juga dalam bahasa Arab. Demikian penjelasan ayat muhkam berikut:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an dengan berbahsa Arab agar kamu memahaminya.” (Yusuf (12): 2).
Pendapat yang dipegangi para penyelidik adalah bahwa lafaz-lafaz tersebut merupakan kata-kata yang ada kesamaannya antara bahsa arab dengan bahsa bangsa lain. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh tokoh besar mufassir, Ibn Jarir at-Thabari.
Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Allah memberikan jaminan kepada Rasul-Nya bahwa Ia akan memelihara Qur’an dan menjelaskannya:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah menghimpunnya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah seslesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasaanya.” (al-Qiyamah (160:44).
Nabi memahami qur’an secara global dan terperinci. Dan adalah kewajibannya menjelaskannya kepada para sahabatnya:
“Dan Kami menurunkan kepadamu az-zikra, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah duturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan.” (an-nahl (16):44).
Para sahabat juga memahami qur’an karena qur’an diturunkan dalam bahasa mereka, sekalipun mereka tidak memahami detail-detailnya. Ibn khaldun dalam Muqaddimah-nya menjelaskan : “qur’an diturunkan dalam bahsa arab dan menurut uslub-uslub balaghahnya. Karena itu semua orang arab memahaminya dan mengetahui makna-maknanya baik kosa kata maupun susunan kalimatnya”. Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang di antara mereka bolehjadi diketahui oleh orang lain.
Diriwayatkan oleh Abu Ubaidaillah dalam al-fadail dari Anas, Umar bin Khattab pernah membaca di atas mimbar ayat;                               (abasa (80):31) lalu ia berkata: “arti kata fakihah (buah) telah kita ketahui, tetapi apakah arti kata abb”? kemudian ia menyesali diri sendiri dan berkata: “Ini suatu pemaksaan diri, takalluf, wahai Umar.”
Abu Ubaidillah meriwayatkan pula melalui Mujahid dari Ibn Abbas, ia berkata: “dulu saya tidak tahu apa makna fa_tirus samawati wal ard  sampai dating kepadaku dua orang dusun yang bertengkar tentang sumur. Salah seorang mereka berkata: “ana fatartuha”, maksudnya “ana ibtada’tuha” (akulah yang membuatnya pertama kali).4
Atas dasar itu Ibnu qutaibah berkata: “orang arab itu tidak sama pengetahuannya tentang kata-kata garib dan mutasyabih dalam qur’an. Tetapi dalam hal ini sebagian mereka mempunyai kelebihan atas yang lain.5
Para sahabat dalam menafsirkan qur’an pada masa ini berpegang pada:
1.      Qur’anul karim, sebab apa yang dikemukakan secar global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat dalam bentuk mutlaq dan umum namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan “tafsir qur’an bil qur’an.”  Penafsiran seperti ini cukup banyak contohnya. Misalnya, kisah-kisah dalam qur’an yang ditampilkan secara ringkas (mujaz) di beberapa tempat, kemudian di tempat lain dating uraiannya panjang lebar (mushab). Contoh lainnya, firman Allah: “Dihalalkan bagimu binatang ternak kecuali yang akan dibacakan kepada…”  (al-maidah (5):1), ditafsirkan oleh ayat: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai….” (al-maidah (5):3). Dan firmanNya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan ….” (al-an’am (6):103), ditafsirkan oleh ayat: “Kepada Tuhanmulah mereka melihat.” (al-qiyamah (75):23).
2.      Nabi Saw, mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan qur’an. kar na itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat.

Dari Ibn Mas’ud diriwayatkan, ia berkata:
Ketika turun ayat ini; “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan imannya dengan kezaliman..” (al-an’am (6):82), hal ini sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya: “Ya rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat zalimterhadap dirinya? Beliau menjawab: “Kezaliman di sini bukanlah seperti yang kalian pahami. Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan hamba yang saleh (luqman), sesungguhnya mempersekutukan  (Allah) adalah kezaliman yang besar (luqman (31):13). Kezaliman sesungguhnya di sini adalah syirik.”
Demikian juga Rasulullah menjelaskan kepada mereka apa yang ia kehendaki ketika diperlukan. Dari Uqbah bin Amir, ia berkata: “saya pernah mendengar Rasulullah mengatakan di atas mimbar ketika membaca ayat: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (al-anfal (8):60). Ketahuilah, kekuatan di sini adalah memanah.”7
Dari Anas, ia berkata: Rasulullah berkata: “al-kautsar adalah sungai yang diberikan Tuhan kepadaku di surga.”8
3.      Pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al-qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatupun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, maka mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Ini mengingat mereka adalah orang-orang  arab asli yang sangat menguasai bahasa arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek kebalagahan yang ada di adalamnya.
Di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan qur’an adalah empat khlifah, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin ‘As, dan Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada mereka dan kepada sahabat lain di berbagai tempat tafsir bil ma’tsur yang tentu saja berbeda-beda derajat kesahihan dan kedhaifannya dilihat dari sudut sanad (mata rantai periwayatan).
Pada masa ini tidak ada sedikitpun tafsir dibukukan, sebab pembukuan baru dilakukan pada abad kedua. Di samping itu tafsir hanya merupakan cabang dari hadits, dan belum mempunyai bentuk yang teratur. Ia meriwayatkan secara bertebaran mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sistimatika ayat-ayat qur’an dan surah-surat di samping juga tidak mencakup keseluruhannya.
Tafsir Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat banyak yang dikenal dalam lapangan tafsir, maka sebagai tokoh tabi’in yang menjadi murid dan belajar kepada mereka pun terkenal di bidang tafsir. Dalam hal ini sumber tafsir, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Berkata Ustaz Muhammad Husai az-Zahabi:
”Dalam memahami kitabullah, para mufassir dari kalangan tabi’in berpegang pada apa yang ada dalam qur’an itu sendiri, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang bberasal Rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran mereka sendiri, keterangan yang diterima tabi’in dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka, dan ijtihad serta pertimbangan nalar mereka terhadap kitabullah sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.”
Pada uraian di muka telah dikemukakan, tafsir yang dinukilkan dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap di saat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya mereka pun menambahkan ke dalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Setelah itu muncullah generasi sesudah tabi’in. generasi inipun berusaha menyempunakan tafsir qur’an secara terus menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa arab dan cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya qur’an yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian lainnya.11
Penaklukan Islam semakin luas. Hal ini mendorong tokoh-tokoh sahabat berpindah ke daerah-daerah taklukan dan masing-masing mereka membawa ilmu. Dari tangan mereka inilah para tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya tumbuhlah berbagai mazhab dan perguruan tafsir.
Di Mekah, misalnya, berdiri perguruan Ibn Abbas. Di antara muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan Ata bin Abi Rabah. Mereka ini semuanya dari golongan maula (sahaya yang telah dibebaskan). Dalam hal periwayatan tafsir dari Ibn Abbas, mereka tidaklah setingkat; ada yang sedikit dan ada pula yang banyak, sebagaimana para ulama pun berbeda pendapat mengenai kadar kepercayaan dan kredibilitas mereka. Dan yang mempunyai kelebihan di antara mereka tetapi mendapat sorotan adalah Ikrimah. Para ulama berbeda pandangan di sekitar penilaian terhadap kredibilitasnya meskipun mereka mengakui keilmuan dan keutamaannya.
Di Madinah, Ubai bin Ka’ab lebih terkenal di bidang tafsir dari orang lain. Pendapat-pendapat tentang tafsir banyak dinukilkan generasi sesudahnya. Di antara muridnya dari kalangan tabi’in, yang belajar kepadanya secara langsung atau tidak, yang terkenal ialah Zaid bin Aslam, Abu Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-qurazi.
Di Irak berdiri perguruan Ibn Mas’ud yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’yi. Dan banyak pula tabi’in di Irak dikenal dalam bidang tafsir. Yang masyhur di antaranya ialah Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamazani, Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Merekalah mufassir-mufassir terkenal dari kalangan tabi’in diberbagai wilayah Islam, dan dari mereka pulalah tabi’it tabi’in (generasi setelah tabi’in) belajar. Mereka telah menciptakan untuk kita warisan ilmiah yang abadi.
Ibn Taimiyah berkata: “syu’bah bin Hajjaj dan lainnya berpendapat, “Pendapat para tabi’in itu bukan hujjah.” Maka bagaimana pula pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Maksudnya, pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat dengan mereka. Inila pendapat yang benar. Namun jika mereka sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan hujjah. Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat maka pendapat sebagaian mreka tidak menjadi hujjah, baik bagi kalangan sendiri (tabi’in) maupun bagi generasi sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalannya dikembalikan kepada bahasa qur’an, sunnah, keumuman bahasa arab dan pendapat para sahabat tentang hal tersebut.
Pada masa ini tafsir tetap konsisten dengan cara khas, penerimaan dan periwayatan (talaqqi wa talqin). Akan tetapi setelah banyak ahli kitab masuk islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita Israiliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir. Misalnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Di samping itu, pada masa ini, mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat tersebut sebenarnya berdekatan satu sama lain dengan yang lain atau hanya merupakan sinonim semata. Dengan demikian perbedaan itu hanya dari segi redaksional, bukan perbedaan yang saling bertentangan dan kontradiktif.



Tafsir Masa Pembukuan
masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiyah. Dalam hal ini hadits mendapat prioritas utama dan pembukuannya meliputi berbagai bab, sedang tafsir hanya merupakan merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Pada masa ini penulisan tafsir belum dipisahkan secara khusus yang hanya memuat tafsir qur’an, surah demi surah dan ayat demi ayat, dari awal qur’an sampai akhir.
Perhatian ulam terhadap periwayatan tafsir yang dinisbahkan kepada Nabi, sahabat atau tabi’in sangat besar di sampaing perhatian terhadap pengumpulan hadits. Tokoh terkemuka di antara mereka dalam bidang ini ialah Yazid bin Harun as-Sulami (w. 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H) Waki’ bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah al-Basri (w. 205 H), Abburrazzaq bin Hamman (w. 211 H), Adam bin Abu Iyas (w. 220) dan Abd bin Humaid (w. 249 H). Tafsir golongan ini sedikit pun tidak ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka sebagaimana termuat dalam kitab-kitab tafsir bil-ma’tsur.
Sesudah golongan ini datanglah generasi berikutnya yang menulis tafsir secara khusus dan indefenden serta menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri dan terpisah dari hadits. Qur’an mereka tafsirkan secara sistematis sesuai dengan tertib mushaf. Di antara mereka adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir at-Tabari (w. 310 H), Abu Bakar bin al-Munzir an-Naisaburi (w. 310 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Abusy Syaikh bin Hibban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H), dan Abu Bakar bin Mardawaih.
Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah, sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan terkadang disertai pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan penyimpulan (istinbat) sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan kata (I’rab) jika diperlukan, sebagaimana dilakukan Ibn jarir at-Tabari.
Kemudian muncul sejumlah mufassir yang (aktifitasnya) tidak lebih dari batas-batas tafsir bil ma’tsur, tetapi dengan meringkas sanad-sanad dan menghimpun berbagai pendapat tanpa menyebut pemiliknya. Karena itu persoalan menjadi kabur dan riwayat-riwayat yang bercampur dengan yang tidak shahih.
Ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat tyerus meningkat, masalah-masalah “kalam” semakin berkobar, fanatisme mazhab menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional bercampur baur dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya mendukung mazhab masing-masing. Ini semua menyebabkan tafsir ternoda polusi udara tidak sehat tersebut. Sehingga para mufassir dalam menafsirkan qur’an berpegang pada pemahaman pribadi da mengarah ke berbagai kecendrungan. Pada diri mereka melekat istilah-istilah ilmiah, akidah mazhabi dan pengetahuan falsafi. Masing-masing mufasir memenuhi tafsirnya hanya dengan ilmu yang paling dikuasainya tanpa memperhatikan ilmu-ilmu yang lain. Ahli ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirnya kata-kata pujangga dan filosof, seperti fakhruddin ar-Razi. Ahli fikih hanya membahas soal-soal fkih, seperti al-Jassas dan al-Qurtubi. Sejarawan hanya mementingkan kisah dan berita-berita, seperti as-Sa’labi dan al-Khazin. Demikian pula golongan ahli bid’ah berupaya menta’wilkan Kalamullah menurut selera mazhabnya yang rusak itu seperti, ar-Rummani, al-Jubai, al-Qadi abdul Jabbar dan Zamakhsyari dari kaum Mu’tazilah, Mala Muhsin al-Kasyi dari golongan syi’ah imamiyah al-Isna Asyriyah dan golongan ahli tasawuf hanya mengemukakan makna-makna isyari (tersirat) seperti Ibn Arabi.
Di samping tafsir dengan corak tersebut juga banyak tafsir yang menitikberatkan pada pembahasannya ilmu nahwu, saraf dan balaghah. Demikianlah, kitab-kitab tafsir menjadi kitab-kitab yang di dalamnya bercampur baur antara debu dengan samin, yang berguna dengan yang berbahaya, dan yang baik dengan yang buruk. Masing-masing golongan menafsirkan ayat-ayat qur’an dengan penafsiran yang tidak dapat diterima oleh ayat itu sendiri demi mendukung kepentingan mazhabnya atau menolak pihak lawan, sehingga tafsir kehilangan fungsi utamanya sebagai sarana petunjuk, pembimbing dan pengetahuan mengenai hukum agama. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi menang atas tafsir bil-ma’tsur.
Pada masa-masa selanjutnya penulisan tafsir mengikuti pola di atas melalui upaya golongan muta’akhkhirin yang mengambil begitu saja penafsiran golongan mutaqaddimin, tetapi dengan cara meringkasnya di satu saat dan memberinya komentar di saat lain, keadaan demikian berlanjut hingga sampai upaya penyingkapan asas-asas kehidupan social, prinsip-prinsip tasyri’ dan teori-teori ilmu pengetahuan dari kandungan qur’an sebagaimana terlihat dalam tafsir al-Jawahir, al-Manar dan az-Zilal.


Referensi :
1.      Kitab at-Tafsir wal mufassirun, karya Muhammad Husain az-Zahabi
2.      Tafsir at-Tabari, jilid 1
3.      Al-Itqan, jilid 2, karya az-Zarkasyi
4.      Ibn Katsir, jilid 1
5.      Muqaddimah fi Usulit Tafsir, karya Ibnu Taimiyah
6.      Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Karya Manna’ Khalil al-Qattan

Link untuk download Sejarah Perkembangan Tafsir:
http://www.ziddu.com/download/15136036/SEJARAHTAFSIRDANPERKEMBANGANNYA.docx.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ZIKIR VERSI TAREKAT

1. Enam tingkatan dalam persiapan zikir, I. Berniat Dalam niat itu diucapkan : "Ilaahi anta maqshuudii wa ridhaka mathlubi". (Ya Allah, Engkaulah yang aku maksud dan keridhaan-Mulah yang aku cari). II. Duduk Tarekat. Yaitu duduk seperti duduk tahiyat terakhir dalam sholat, kepala ditundukkan ke sisi kiri. III. Rabithatu Mursyid (rasa pertalian dgn Nabi Muhammad saw). 1. Mengucapkan: "Assalmu alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wabarakatuh". Pada tingkat ini seolah-olah Nabi Muhammad saw hadir di depan kita bersalaman. 2. Kemudian mengucapkan: "Assalamu 'alaina wa 'ala ibadishshalihin". Mengucapkan salam atas diri dan hamba-hamba Allah swt yg sholeh. IV. Bertobat. A. Membaca Istighfar tujuh kali Diniatkan supaya diampunkan oleh Allah swt dosa kita, yaitu: 1. Mata, 2. Telinga, 3. Hidung, 4. Mulut, 5. Tangan, 6. Kaki, dan 7. Syahwat. B. Membaca Istighfar tujuh kali untuk diampunkan dosa bathin, yait

TAKHRIJ HADITS TENTANG MENDATANGI DUKUN

TAKHRIJ HADITS TENTANG MENDATANGI DUKUN Penelitian  takhrij dilakukan dengan menggunakan metode takhrij al-hadits bi al-lafzh dengan menggunakan program CD Al-Maktabah al-Syamilah Versi 3.28 dengan kata kunci يَأْتُونَ الْكُهَّان . Menurut hasil pencarian, potongan hadits tesebut terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud, juz 1, hlm. 349; Musnad Ahmad , juz 39, hlm. 184, 185 dan 186; Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz 8, hlm. 138; Mu’jam al-Kabir li al-Thabrani , juz 14, hlm. 326 dan 327. Berikut ini dikemukakan secara lengkap teks hadits tersebut serta jalur-jalur sanadnya:       سنن أبي داود (ج 1\ ص 349) باب تَشْمِيتِ الْعَاطِسِ فِى الصَّلاَةِ. رقم : 931 حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى ح وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ - الْمَعْنَى - عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ حَدَّثَنِى يَحْيَى بْنُ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ هِلاَلِ بْنِ أَبِى مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِىِّ قَالَ صَ

KISAH SINGA DAN GAJAH

Di sebuah hutan terdapat raja hutan (singa) yang merasa dirinya hebat, dan untuk melegalisasikan kehebatannya, maka si singa bertanya kepada sebagian penghuni hutan. Bertanyalah si singa kepada seekor gorila. Singa: “Hai gorila, siapakah yang paling gagah di hutan ini?” Gorila: “Anda tuanku Baginda.” Banggalah si singa mendengar itu. Kemudian ia bertemu dengan seekor banteng. Singa: “Hai banteng, siapakah yang paling gagah dan hebat di hutan ini?” Banteng: “Sudah tentu Anda Baginda Raja hutan.” Mendengar jawaban-jawaban dari sebagian hewan yang ia temui, merasa sombonglah si singa. Kemudian ia berjalan kembali dengan PDnya, dan di tengah jalan ia bertemu dengan seekor gajah. Singa: “Hai gajah,Kau adalah hewan dengan hidung,telinga,dan badan terbesar di hutan ini,mungkin otakmu juga sebesar tubuhmu,,aku mau tanya, siapakah yang paling gagah dan perkasa di hutan ini?” akan Tetapi gajah tidak menjawab, dan di luar dugaan singa, gajah langsung menghajar dan menginja