Tulisan Kang Jalal ini saya angkat dan saya persembahkan untuk menyikapi kejadian yang akhir-akhir ini marak dibicarakan, yaitu tentang kejujuran seorang anak SD yang bernama Alif, ia dan keluarganya diusir oleh warga dan tetangganya yang selama ini hidup bersama dengan mereka, sungguh tragis, hanya karena kejujurannya mengungkap contek massal yang terjadi di sekolahnya. Ironis memang, bahwa di Negeri yang di huni oleh 80 persen lebih umat islam ternyata untuk berbuat jujur sangatlah mahal harganya. “Ya Allah, ampunilah kami, kami mohon agar Engkau tetap menyayangi kami meskipun Engkau tahu bahwa kami telah melampaui batas…!!” Amiien Ya Mujibas Sailin..
Ketika Mar’ie Muhammad mengucapkan kata perpisahan, ia meminta maaf, seperti biasa. Tetapi kali ini, Mar’ie menambah kata klise. Selain meminta maaf atas ucapan, tindakan, gerak-geriknya selam jadi menteri, ia juga meminta maaf atas tutup mulutnya (sambil meletakkan ibu jari di mulutnya. Ia mohon maaf bukan saja untuk apa yang ia ucapkan, tetapi juga apa yang ia bungkamkan.
Ajaib, anda bisa berdosa karena ucapan anda. Tetapi apakah anda berdosa karena diam, bungkam atau tidak bicara? Bukankah diam berarti pengendalian diri? Selama ini kita diajari untuk diam dan memandang diam sebagai amal shaleh yang utama. Kita mungkin merujuk kepada al-Ghazali yang menyebut keburukan bicara dan keutamaan diam. Diam adalah tanda orang yang memperoleh hikmat (kebijaksanaan).
Tiba-tiba Mar’ie mengingatkan kita akan diam yang dosa dan untuk itu kita harus meminta maaf. Yang mohon maaf karena yang diam itu ada orang yang mengisi saat-saat terakhir jabatannya dengan kesibukan memberi keterangan. Rupanya, banyak yang ia katakan; tetapi lebih banyak lagi yang ia diamkan. Dan Mr Clean minta maaf untuk keduanya. Sebagaimana tidak semua berbicara berdosa, tidak semua diam berpahala. Tidak semua diam emas. Ada juga yang sampah dan menyembunyikan kebusukan. Untuk sementara, kita dapat menyebut empat diam yang dosa.
Pertama, anda diam ketika kemungkaran dilakukan terang-terangan di depan anda. Nabi saw menyebut salah satu laknat Allah adalah suami yang diam melihat istrinya berbuat maksiat (maksud Nabi saw tentu saja meliputi juga istri yang diam melihat suaminya berbuat maksiat). Alqur’an menyebut laknat yang ditimpakan kepada Bani Israil melalui lisan Dawud dan Isa a.s karena mereka diam ketika terjadi kemungkaran di antara mereka : “Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan mungkar yang mereka buat” (QS 5:78-79). Salah satu kemungkaran yang dibiarkan Bani Israil waktu itu adalah kezaliman dan penindasan. Ali bin Abi Thalib menegaskan, kezaliman tak pernah berlangsung tanpa kerjasama antara yang menzalimi dan yang dizalimi. Dengan diam, orang yang tertindas mendukung pelestarian penindasan. Diamnya seluruh bangsa atas penindasan penguasa adalah tonggak utama kezaliman. Ali bin Husayn, cucu Ali berdoa; “Tuhanku, ampunilah aku bila di sampingku ada orang yang dizalimi dan aku diam.” Diam disini dapat berarti izin, seperti diamnya seorang perempuan ketika dipinang, atu diamnya aparat hukum ketika seorang yang berkuasa melakukan pelanggaran. Mengizinkan kezaliman sama besar dosanya dengan melakukan kezaliman itu sendiri.
Kedua, diam itu dosa jika berkenaan dengan informasi yang diperlukan masyarakat. Rasulullah saw besabda, “Jika seorang alim (pemilik informasi) ditanya, lalu ia (diam) menyembunyikan informasi itu, ia akan dibelenggu dengan belenggu api neraka.” Berdosalah seorang berilmu yang diam, tidak mengajarkan ilmunya, seorang yang tahu jalan yang tidak mau memberikan petunjuk, seorang yang melihat kebusukan dan tidak melaporkannya. pada tahun 80-an, Challenger, pesawat ruang angkasa AS, meledak pada saat peluncuran dan membunuh semua krunya. Penyebabnya diduga salah satu bagian pesawat, O ring, meleleh dalam temperature tertentu. Para insyinyur sudah lama mengetahuinya, tetapi mereka tidak melaporkannya karena takut dikecam oleh pimpinannya. Mereka tutup mulut. Diam mereka itu dosa. Diamnya menyelamatkan mereka tetapi mencelakakan orang banyak. Ketika para ulama, cendekiawan, dan orang-orang pintar diam melihat kerusakan Titanic negeri ini demi kepentingan sesaat, mereka ikut bertanggungjawab jika kapal ini tenggelam.
Ketiga, diam yang dosa adalah tidak mau berbicara selama tidak berkaitan dengan keuntungan dirinya. “Tahukah kalian,” kata Jalaluddin Rumi kepada para pengikutnya, “mengapa Alqur’an menyebut: …… sesungguhnya suara yang paling buruk adalah suara keledai?” (QS 31:19). Dahulu, ketika semua makhluk diciptakan, mereka diberi kemampuan mengeluarkan suara. Ketika suara mereka keluar pertama kalinya, semua makhluk memuji dan mengagungkan Tuhan, kecuali keledai. Keledai mau bersuara jika lapar atau ingin memuaskan nafsunya. “Banyak orang seperti keledai. Dunia boleh bergejolak, hutan terbakar, kemarau panjang, banyak orang kelaparan. Mereka diam. Masyarakat boleh resah, jutaan orang kehilangan pekerjaan, jutaan orang hidup dalam kemelaratan. Mereka diam. Begitu mereka dihadapkan pada persoalan gaji dan tunjangan mereka sendiri, merekapun angkat bicara. Segera setelah tuntutan gaji mereka dipenuhi, mereka sunyi kembali. Ada juga orang yang bersuara keras, vocal dan kritis. Dimana-mana ia menjadi singa mimbar. Ia dikenal sebagai pengikut garis keras. Tiba-tiba suaranya hilang. Rupanya ia kini sudah menduduki jabatan yang basah di tengah-tengah orang yang dahulu dikecamnya. Rupanya, suara kerasnya itu hanya suara keledai. Suara yang keluar karena lapar.
Keempat, diam itu dosa, ketika anda tidak mengakui kesalahan yang anda lakukan. Anda melakukan kesalahan yang amat-amat merugikan masyarakat. Orang banyak meminta pertanggungjawaban anda. Anda menjadi lautan yang isinya tidak terlihat. Anda menjadi patung yang kaku, tanpa ekspresi. Begitu anda menemukan kambing hitam, anda berteriak dengan suara yang mengalahkan halilintar.
Kita tidak tahu mengapa Mar’ie minta maaf untuk tutup mulutnya. Apakah karena ia pernah diam menyaksikan kezaliamn atau karena informasi yang tidak berani ia sampaikan? Tetapi saya yakin, Mar’ie tidak diam karena sudah dipenuhi kebutuhan makannya. Suara Mar’ie bukan suara keledai. Juga, Mar’ie tidak diam karena menyembunyikan kesalahannya. Ia terkenal sebagai orang bersih. Kita pasti memaafkan Mar’ie atas diamnya. Kita maklum. Terima kasih, Pak Mar’ie. Semoga Tuhan selalu memberkatimu.
Komentar
Posting Komentar