BAB 2
Asal-Usul al-Quran
Derivasi dan Sinonim
Kitab suci kaum Muslimin, yang berisi
kumpulan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih
23 tahun, secara populer dirujuk dengan nama “al-Qur’ân” ( وeٹشغa ). Sebagian besar sarjana Muslim
memandang nama tersebut secara sederhana merupakan kata benda bentukan (mashdar)
dari kata kerja (fi‘l) qara’a ( cٹس ),
“membaca,” dan dengan demikian al-qur’ân (وcٹشغa ) bermakna “bacaan” atau “yang
dibaca” (maqru’). [1] Dalam manuskrip al-Quran beraksara kufi yang
awal, kata ini ditulis tanpa menggunakan hamzah – yakni al-qurân – dan hal ini telah menyebabkan sejumlah kecil
sarjana Muslim memandang bahwa terma itu diturunkan dari akar kata qarana (
وٹس ), “menggabungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain” atau “mengumpulkan.” Dengan demikian, al-qurân ( وaٹشغa ) berarti “kumpulan” atau
“gabungan.”[2] Tetapi,
pandangan minoritas ini harus diberi catatan bahwa penghilangan hamzah
merupakan suatu karakteristik dialek Makkah atau Hijazi,[3]
dan karakteristik tulisan al-Quran dalam aksara kufi yang awal. Di samping itu,
sebagaimana akan ditunjukkan di bawah, terma qur’ân
bertalian erat dengan akar kata qara’a dalam penggunaan al-Quran
sendiri.
Para sarjana Barat yang belakangan pada
umumnya menerima pandangan Friedrich Schwally bahwa kata qur’ân merupakan derivasi (isytiqâq) dari bahasa Siria atau Ibrani: qeryânâ, qiryânî (“lectio,”
“bacaan” atau “yang dibaca”), yang digunakan dalam liturgi Kristen. [4]
Kemungkinan terjadinya pinjaman dari bahasa Semit lainnya dalam kasus ini bisa
saja dibenarkan, mengingat kontak-kontak yang dilakukan orang-orang Arab dengan
dunia di luarnya.[5] Lewat
kontak-kontak semacam itu, berbagai kata non-Arab telah dimasukkan ke dalam
bahasa Arab atau “diarabkan.” Tetapi, sebagaimana akan ditunjukan di bawah,
terma qur’ân – dalam kaitannya dengan
kitab suci kaum Muslimin – pada prinsipnya berasal dari penggunaan al-Quran
sendiri yang didasarkan pada bentuk mashdar fu‘lân
dari akar kata qara’a.
Kata kerja qara’a ( cٹس ) dan berbagai bentuk
konjugasinya (tashrîf) muncul 17 kali di dalam al-Quran. Kata kerja ini,
dengan rujukan kepada pembacaan wahyu (al-Quran) oleh Muhammad, muncul
dalam beberapa kesempatan (16:98; 17:45,106 cf. 7:204; 84:21).[6]
Tetapi, dalam konteks lainnya (75:18; 87:6), disebutkan bahwa Tuhanlah yang
membacakan wahyu kepada Muhammad. Dalam 73:20, terdapat dua kali perintah
membacakan bagian-bagian termudah al-Quran, yang ditujukan kepada
pengikut-pengikut Muhammad ketika itu. Sementara dalam 26:198 f., dikatakan
bahwa jika al-Quran diturunkan kepada seorang non-Arab (a‘jam) lalu ia
bacakan kepada orang-orang kafir (Makkah), maka orang-orang tersebut tidak akan
mempercayainya. Jadi, dalam keseluruhan konteks yang telah dikemukakan, bisa
dilihat pertalian erat antara akar kata qara’a dengan al-Quran, yang
membuktikan bahwa terma al-qur’ân memang
diturunkan dari akar kata tersebut.
Kemunculan kata kerja qara’a –
dengan makna “membaca” – dalam konteks-konteks al-Quran lainnya tidak dikaitkan
dengan qur’ân, tetapi dengan kitâb. Dalam 17:93, Muhammad ditantang orang-orang
kafir untuk mendatangkan dari “langit” sebuah kitab yang dapat mereka “baca”
sebagai bukti kerasulannya. Dalam tiga bagian al-Quran lainnya (17:14,71; dan
69:19), kata kerja tersebut dikaitkan dengan “pembacaan” kitab rekaman
perbuatan manusia di Hari Penghabisan. Konteks terakhir (10: 94) merujuk kepada
orang-orang tertentu yang sezaman dengan Nabi – barangkali menunjuk kepada
orang-orang Yahudi dan Kristen – sebagai “orang-orang yang membaca kitab
sebelum kamu.” Jadi, dalam konteks apapun,
kata kerja qara’a digunakan al-Quran dalam pengertian “membaca,”
baik dikaitkan dengan qur’ân ataupun kitâb.
Kata qur’ân,
baik dengan atau tanpa kata sandang tertentu (’adât
al-ta‘rîf, yakni al-), muncul sekitar 70 kali di dalam al-Quran
dengan pengertian yang beragam. Dalam 75:17-18, kata ini digunakan untuk
merujuk wahyu-wahyu individual yang disampaikan satu-per-satu kepada Nabi,[7]
atau sebagai suatu istilah umum untuk wahyu Ilahi yang diturunkan bagian demi
bagian.[8]
Sementara pada sebagian konteks lainnya, al-qur’ân
– terkadang tanpa artikel penentu (al) – disebut sebagai suatu versi
berbahasa Arab dari al-kitâb yang ada di
Luh Mahfuz.[9] Kata ini
juga merujuk kepada sekumpulan wahyu Ilahi yang diperintahkan untuk dibaca.[10] Tetapi,
penggunaan terma al-qur’ân yang paling
dekat dengan pengertian yang dipahami dewasa ini – yakni sebagai kitab suci
kaum Muslimin – terdapat di dalam suatu konteks (9:111), di mana kata ini
disebut secara bergandengan dengan dua kitab suci lain (Tawrat dan Injil) dalam suatu konstruksi (tarkîb)
yang memberi kesan tentang tiga kitab suci yang paralel.
Sebagai alternatif untuk kata al-qur’ân, kitab suci kaum Muslimin juga lazim dirujuk
dengan terma al-kitâb (lbnطغa ). Kata ini
muncul di dalam al-Quran sebanyak 255 kali dalam bentuk tunggal dan 6 kali
dalam bentuk jamak (kutub). Penggunaan kata kitâb yang paling sering di dalam al-Quran adalah dalam
kaitannya dengan wahyu Tuhan kepada para nabi.
Jadi, kepada para nabi sebelum Muhammad telah diturunkan kitâb (2:213; 3:81; dll.). Kitâb telah diturunkan Tuhan kepada anak keturunan Nuh dan
Ibrahim (57:26; 4:54; 6:84-89; 29:27), kepada Bani Israel (40:53; 45:16; dll.),
kepada Musa (2:53,87; 6:154; 11:110; 41:45; 17:2; 23:49; 25:35; 37:117; 28:43;
32:23; dll.), kepada Yahya (19:12) dan kepada Isa (3:48; 5:110; dll.).
Sementara kepada Muhammad sendiri juga diturunkan kitâb yang mengkonfirmasi kitab-kitab wahyu sebelumnya (3:43;
2:89; 3:7; 4:105; 5:48; 6:92; 16:64; 46:12,30; dll.).
Makna khusus yang baru dikemukakan ini –
yakni sebagai wahyu Tuhan yang diturunkan kepada para nabi – mesti dipisahkan
dari makna kata kitâb lainnya yang
digunakan di dalam al-Quran. Kata ini secara sederhana bisa berarti “sesuatu yang
tertulis” atau “sepucuk surat” (24:33; 27:28 f.). Dalam kaitannya dengan Hari
Akhirat, kata kitâb bisa bermakna “rekaman tertulis” perbuatan manusia
(17:71; 69:19-25; 84:7,10; 18:49; 39:69; dll.) yang dipegang malaikat pengawas
manusia (82:10-12), dan akan dibentangkan terbuka di Hari Penghisaban (81:10).
Kata kitâb juga secara khusus dikaitkan dengan pengetahuan Tuhan
(6:38,59; 10:61; 11:6; 22:70; 27:74 f.; 34:3; dll.), atau kejadian-kejadian
yang telah ditetapkan Tuhan sebelumnya (17:58; 35:11; 57:22; dll.). Orang-orang
yang meninggal dikatakan menetap dalam kitâb Tuhan hingga Hari Berbangkit (30:56).
Dua istilah
lain – yakni sûrah ( ٌ‰ىچ ) dan âyah
( ٍيe ) – mesti
dikemukakan di sini dalam rangka melengkapkan pengenalan dan pemahaman kita
mengenai asal-usul al-Quran. Kedua kata tersebut kini telah menjadi
istilah-istilah teknis yang digunakan untuk merujuk bagian-bagian tertentu di
dalam tubuh al-Quran. Sûrah merupakan nama yang digunakan untuk merujuk
“bab” al-Quran yang seluruhnya berjumlah 114 – menurut perhitungan mushaf
utsmani yang disepakati. Sementara âyah digunakan untuk merujuk bagian yang lebih kecil dari
surat. Jumlah ayat sangat bervariasi di dalam ke-114 surat dan tidak terdapat
kesepakatan di kalangan sarjana Muslim mengenai penghitungan jumlah
keseluruhannya.
Kata sûrah
muncul sembilan kali di dalam al-Quran dalam bentuk tunggal dan satu kali
dalam bentuk jamak (suwar). [11] Penggunaannya di dalam
al-Quran merujuk kepada suatu unit wahyu yang “diturunkan” Tuhan
(9:64,86,124,127; 24:1; 47:20), bukan dalam pengertian “surat” yang dipahami
dewasa ini. Secara kontekstual, penggunaan kata sûrah sebagai suatu unit
wahyu memiliki kemiripan dengan beberapa penggunaan kata âyah, qur’an
dan kitâb di dalam al-Quran. Musuh-musuh Nabi ditantang mendatangkan
“suatu sûrah yang semisalnya” (2:23; 10:38) atau “sepuluh suwar
yang semisalnya” (11:13 cf. 28:49, di mana tantangannya adalah mendatangkan
suatu kitâb dari Tuhan). Jadi, terlihat bahwa makna umum kata sûrah
yang bisa disimpulkan di sini adalah unit wahyu terpisah yang diturunkan kepada Nabi dari waktu ke waktu. Tetapi,
al-Quran tidak memberi indikasi apapun tentang panjang pendeknya unit wahyu
tersebut.
Istilah
berikutnya, âyah (jamak: âyât), muncul sekitar 400 kali dalam
al-Quran, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Penggunaan kata ini di dalam
al-Quran dapat dikelompokkan ke dalam empat konteks (siyâq). Dalam konteks pertama,
kata âyah merujuk kepada fenomena kealaman – termasuk manusia – yang
disebut sebagai “tanda-tanda” (âyât) kemahakuasaan dan karunia Tuhan
(45:3-4; 41:37,39; 42:29,32; 2:28; 10:4; 22:66; 30:40,46; 16:14; 36:73; dll.).
Dalam konteks
kedua, kata âyah diterapkan kepada peristiwa-peristiwa atau
obyek-obyek luar biasa yang dikaitkan dengan tugas seorang utusan Tuhan dan
cenderung mengkonfirmasi pesan ketuhanan yang dibawanya (43:46-48; 40:78;
17:59; 20:17-24; 27:12-14;
7:130-136; 7:73; 3:49; 15:73-75; 29:24; 54:15; dll.). Seirama dengan ini,
oposan-oposan Nabi Muhammad juga menuntutnya mempertunjukkan suatu “tanda”
(2:118; 6:37; 10:20; 13:7; 20:133; 21:5; 29:50), yang tentu saja tidak merujuk
kepada “ayat-ayat” al-Quran, tetapi kepada mukjizat. Sebagaimana disebutkan
dalam 40:78, penciptaan “tanda-tanda” merupakan hak privilese eksklusif Tuhan
dan tidak seorang rasul pun yang diberi kekuasaan untuk menciptakannya atas
kehendak pribadi. Seandainya suatu “tanda” dari jenis mukjizat ini dibawa
Muhammad kepada mereka, maka mereka – seperti ditegaskan dalam 30:58 – tetap
tidak akan beriman. Jadi, sehubungan dengan Muhammad, al-Quran pada faktanya
menolak bahwa ia memiliki mukjizat dalam pengertian supranatural (mâ
fawqa al-fithrah). Namun, dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya, beberapa keberhasilan
eksternal Nabi dirujuk sebagai “tanda,” seperti janji perolehan pampasan perang
yang berlimpah (48:20) dan kemenangan dalam Perang Badr (3:13). Bahkan,
mayoritas sarjana Muslim memandang bahwa al-Quran itu sendiri adalah mukjizat
terbesar Nabi (cf. 11:12-13; 6:33-35; dll.).[12]
Dalam konteks
ketiga, kata âyah merujuk kepada “tanda-tanda” yang dibacakan oleh
rasul-rasul yang diutus Tuhan (39: 71; 6:130 cf. 67:8; 40:50), atau dalam
kebanyakan kasus dibacakan oleh Muhammad sendiri (31:7; 45:25; 46:7; 62:2;
65:11; dll.). Pembacaan “tanda-tanda” ini menambah keyakinan kaum beriman,
tetapi para penentang Nabi mengeritiknya sebagai “dongeng-dongeng masa silam” (asâthîr al-awwalîn, 6:25; 8:31; 16:24;
23:83; 25:5; 27:68; 46:17; 68:15; 83:13) – di dalam al-Quran, terma asâthîr al-awwalîn merujuk kepada kisah
pengazaban umat-umat terdahulu (misalnya 8:31 dan 68:15) dan kebangkitan
kembali pada Hari Pengadilan (misalnya 23:83; 27:68; 46:17).
Dalam konteks
terakhir – yakni konteks keempat – kata âyah disebut sebagai
bagian al-qur’ân atau kitâb atau sûrah (10:1; 11:1; 13:1;
15:1; 24:1; 26:2; 27:1; 28:2; 31:2; dll.), yang diturunkan Tuhan (2:99,202;
3:108; 22:16; 24:34; dll.). Dengan demikian, kata âyah dalam konteks ini
memiliki makna unit dasar wahyu terkecil, selaras dengan pemahaman kita dewasa
ini tentangnya. Tetapi, sebagaimana
dengan sûrah, al-Quran juga tidak memberi indikasi tentang panjang
pendeknya unit-unit wahyu tersebut.
Jika hadits dimasukkan ke dalam
pertimbangan untuk melihat panjang pendeknya unit-unit wahyu yang diterima
Nabi, maka jawaban yang diperoleh sangat beragam. Terdapat berita yang
mengabarkan bahwa Muhammad menerima wahyu al-Quran secara ayat per ayat atau
huruf per huruf, kecuali surat 19 dan 12
yang turun sekaligus.[13] Menurut pandangan lain,
Nabi menerima satu atau dua ayat,[14] satu hingga lima ayat
atau lebih, lima hingga sepuluh ayat, dan lain-lain.[15] Sekalipun tidak ada
kejelasan dari al-Quran dan hadits tentang panjang pendeknya unit wahyu yang
diterima Nabi, gagasan tentang unit wahyu barangkali bisa dibangun dengan
mencermati konteks literer al-Quran sendiri – baik dalam bentuk peralihan
akhiran rima serta peralihan gagasan dalam suatu surat – dan mengeksploitasi
perbendaharaan klasik Islam, semisal riwayat-riwayat asbâb al-nuzûl dan lainnya. Langkah
semacam ini tentunya akan sangat membantu dalam upaya menyusun aransemen
kronologis unit-unit wahyu yang diterima Nabi.
Istilah
teknis lainnya yang digunakan di dalam al-Quran untuk merujuk wahyu yang
diturunkan kepada Muhammad akan dibahas secara singkat berikut ini.[16] Terdapat tiga kata benda
(ism) dari kata kerja dzakara ( ٹׇ ), “mengingat” atau “menyebut,” yang digunakan untuk wahyu
dalam pengertian “peringatan.” Jadi kata dzikr ( ٹׇ ) terdapat
antara lain dalam 7: 63,69; 12:104; 15:6,9; 16:44; 38:37; 68:52; dan 81:27.
Kata dzikrâ ( ôٹׇ ) ditemukan
antara lain dalam 6:69,90; 11:114,120; dan 74: 31. Sementara kata tadzkirah ( ٌٹ׈m ) terdapat
antara lain dalam 69:48; 73:19; dan 76:29. Sepanjang ketiga kata benda ini
diterapkan kepada pesan yang diwahyukan atau suatu bagian darinya, maka
penekanannya adalah pada aspek “peringatan” yang dikandungnya. Dalam beberapa
bagian al-Quran, Muhammad diperintahkan untuk memberi peringatan kepada manusia
(50:45; 51:55; 52:29; dll.), dan dalam 88:21 ia sendiri disebut sebagai seorang
pemberi peringatan (mudzakkir).
Di
sebelas tempat di dalam al-Quran, wahyu
yang diturunkan kepada Muhammad juga dirujuk sebagai tanzîl ( فيŒنm ), “yang
diturunkan.” Dalam bagian awal surat-surat 32, 39, 40, 45 dan 46, kata
tanzîl dikaitkan dengan kata kitâb dalam konstruksi tanzîl
al-kitâb. Sementara dalam surat 41 disebutkan: “Hâ-Mîm ( لy ) suatu tanzîl dari Yang Maha Pengasih … suatu kitâb….”
Dalam konstruksi semacam ini, tanzîl bisa bermakna “apa-apa yang
diturunkan” atau “suatu pesan yang diwahyukan,” sebagaimana bisa dilihat dalam
26:192; 56:80; dan 69:43. Dengan demikian, jika terma ini dipandang sebagai nama
alternatif untuk al-Quran atau bagiannya, maka ia memberi penekanan terhadap
karakter kewahyuan al-Quran atau bagiannya.
Nama
alternatif lain yang digunakan untuk al-Quran, menurut mayoritas sarjana
Muslim, adalah furqân ( وbسٹد ). Para
mufassir Muslim berupaya mengaitkan istilah ini dengan kata kerja faraqa,
“diskriminasi, memisahkan, membedakan,” dan menjelaskannya memiliki makna
teologis “pembeda antara yang hak dan batil.” Namun, makna semacam ini
barangkali tidak dapat ditemukan dalam penggunaan kata furqân oleh al-Quran. Dalam sejumlah
konteks di mana kata furqân dikaitkan dengan sesuatu yang
diturunkan Tuhan kepada Muhammad (8:29,41; 2:185; 3:3f.; 25:1), terlihat bahwa
kata tersebut sangat mungkin bermakna “pertolongan” atau “salvasi”[17] – yang bisa disinonimkan
dengan nashr – mengingat signifikansi kemenangan dalam Perang Badr, yang
merupakan konsteks sebagian ayat-ayat tersebut, diperoleh berkat pertolongan
Tuhan. Makna semacam ini bisa diterapkan terhadap dua konteks al-Quran lainnya
(2:53 dan 21:48) yang menyebutkan pemberian furqân kepada Musa. Pemberian furqân di sini mungkin merujuk kepada
pertolongan Tuhan ketika menyelamatkan orang-orang Israel keluar dari Mesir.[18] Dengan demikian, sejauh furqân dipandang sebagai suatu bagian
al-Quran, maka hal ini terletak pada aspeknya yang mengekspresikan signifikansi
kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Badr atas pertolongan Tuhan.
Terma
terakhir yang relevan disinggung di sini adalah hikmah ( ٍàطy ), “kebijaksanaan” atau sophia. Kata ini di dalam
al-Quran tidak hanya diasosiasikan dengan âyah dan kitâb (2:129, 151; 3:164; 62:2), tetapi dalam 2:231 dan 4:113,
misalnya, terdapat rujukan kepada penurunannya. Dalam 33:34 disebutkan bahwa
âyah dan hikmah
dibacakan di rumah istri-istri Nabi. Sangat mungkin bahwa hikmah
merujuk kepada aturan-aturan kemasyarakatan yang diwahyukan Tuhan di dalam
al-Quran, karena – mengingat pertalian eratnya dengan kata kitâb, dan
derivasinya dari akar kata hakama – dalam 4:105 Muhammad
diperintahkan untuk mengadili (tahkum) manusia berdasarkan
kitâb yang diturunkan kepadanya. Sejumlah mufassir Muslim berupaya
menafsirkan kata hikmah dengan tindakan ekstra-quranik (Sunnah)
Nabi, tetapi makna semacam ini tidak cocok diterapkan terhadap 33:34 yang
dirujuk di atas.
Uraian yang
telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan bahwa baik dari segi derivasi (isytiqâq) ataupun sinonim (murâdif) terma al-Quran,
kesemuanya menggagaskan suatu konsepsi yang padu dan kohesif tentang karakter
kewahyuan al-Quran. Jadi, dalam nama alternatif apa pun yang dinisbatkan
al-Quran terhadap dirinya, kesemuanya kembali kepada gagasan tentang asal-usul
ilahiahnya, bahwa ia bersumber dari Allah, Tuhan semesta alam.
Tentang Sumber-sumber al-Quran
Kaum Muslimin pada umumnya meyakini bahwa
al-Quran bersumber dari Allah, dan al-Quran sendiri – seperti ditunjukkan di
atas – juga mengkonfirmasinya. Keyakinan tentang sumber ilahiah wahyu-wahyu
yang diterima Muhammad merupakan keyakinan standar dalam sistem teologi Islam.
Tanpa keyakinan semacam itu, tidak seorang pun yang dapat mengklaim dirinya
sebagai Muslim, bahkan dalam suatu pengertian nominal. Tetapi, keyakinan
tersebut telah mendapat tantangan serius ketika diproklamasikan pertama kali
oleh al-Quran dan berlanjut hingga dewasa ini di kalangan tertentu pengamat Islam
non-Muslim.
Pengakuan Muhammad bahwa ia merupakan
penerima wahyu dari Tuhan semesta alam untuk disampaikan kepada seluruh umat
manusia mendapat tantangan keras dari orang Arab yang sezaman dengannya.
Al-Quran sendiri tidak menyembunyikan adanya oposisi yang serius terhadap Nabi,
tetapi justeru merekam rentetan peristiwa tersebut tanpa memutarbalikkan
pandangan-pandangan negatif para oposan kontemporer Nabi mengenai asal-usul
genetik atau sumber wahyu yang diterimanya – termasuk ejekan dan celaan musuh-musuh
Muhammad – berikut bantahan terhadap miskonsepsi mereka.
Dalam dua bagian al-Quran (52:29 dan
69:42), para penentang Nabi memandangnya sebagai kâhin
(“tukang tenung”) dan wahyu-wahyu yang disampaikannya sebagai “perkataan tukang
tenung.” Demikian pula, dalam beberapa bagian al-Quran (21:5; 37:36; 52:30 cf.
69:41) ia dituduh sebagai syâ‘ir
(“penyair”), atau di tempat lain (15:6; 68:51; 7:184; 37:36; 44:14; 23:70;
34:8; 51:52) sebagai majnûn (“kerasukan jin atau berada di bawah
pengaruhnya”).[19] Sejumlah
bagian al-Quran lainnya menginformasikan bahwa Muhammad dianggap para
penentangnya sebagai sâhir
(“tukang sihir,” 10:2; 38:4; 51:52) atau mashûr (“korban sihir,”
17:47; 25:8), dan wahyu-wahyu yang diterimanya sebagai sihr
(“sihir,” 6:7; 11:7; 21:3; 34:43; 37:15; 43:30; 46:7; 52:15; 54:2; 74:2).
Berbagai gagasan para penentang Nabi di
atas secara eksplisit mengungkapkan bahwa sumber inspirasi al-Quran berasal
dari ruh-ruh jahat atau kekuatan-kekuatan setaniah, bukan dari Allah. Dalam
konsepsi pagan Arab, baik tukang tenung, penyair ataupun penyihir, semuanya
dibantu untuk mengetahui persoalan gaib oleh jin atau setan.[20]
Terhadap konsepsi ini, al-Quran mengemukakan bahwa jin-jin telah mencapai
langit yang ternyata dijaga ketat dan penuh dengan bintang-bintang penyambar,
serta dari tempat tersembunyi mereka berupaya menguping “berita-berita langit.”
Tetapi, setelah pengutusan Muhammad, tak
satu pun di antara mereka yang bisa berbuat demikian (72:8-9). Hal senada juga
dikatakan berulangkali oleh al-Quran sehubungan dengan setan-setan yang secara
sembunyi-sembunyi berusaha mencuri berita langit, tetapi dihalau dengan
sambaran bintang (15:16-18; 67:5; dll.). Jadi, bagi al-Quran, berita-berita
langit yang disampaikan Muhammad, tidaklah berasal dari inspirasi setaniah
atau jin, karena sejak pengutusannya, baik jin maupun setan tidak lagi bisa
mendekati “langit.”
Berbagai tuduhan yang dilayangkan para
penentang al-Quran kepada Muhammad tentang sumber-sumber setaniah wahyunya –
sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai konteks al-Quran di atas – pada
hakekatnya dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan mereka kepada pekabaran yang
didakwahkannya tentang azab Tuhan yang akan menimpa mereka, seperti tercermin
dalam kisah pengazaban umat-umat terdahulu, atau akan menimpa mereka kelak di
Hari Berbangkit. Dalam bab lalu telah ditunjukkan bahwa dakwah Nabi semacam ini
merupakan gagasan yang nonsen bagi orang-orang pagan Arab, karena dalam weltanschauung
mereka eksistensi satu-satunya yang dikenal adalah kehidupan di dunia ini, dan
yang dapat membinasakannya hanyalah masa (dahr).
Selain respon tentang sumber setaniah
al-Quran, dalam berbagai kesempatan kitab suci ini juga membantah tuduhan para
oposan Nabi. Sebagian besar konteks ayat-ayat al-Quran yang dirujuk di atas
memuat bantahan terhadap tuduhan tersebut. Dalam 69:40-43, misalnya,
disebutkan: “Sungguh ia (al-Quran) merupakan perkataan rasul yang mulia, bukan
perkataan penyair … dan bukan pula perkataan tukang tenung…. Suatu tanzîl dari
Tuhan semesta alam.” Demikian pula, dalam 36:69 dinyatakan: “ Kami tidak
mengajarkannya syair, dan (syair itu) tidak layak baginya.” Di tempat lain
(7:184 cf. 81:22), al-Quran menegaskan: “Teman mereka itu (Muhammad) tidaklah
kerasukan jin; ia hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas.” Tentang
konsepsi al-Quran sebagai sihir, kitab suci ini mem-bantahnya: “Apakah (pekabaran al-Quran) ini sihir atau apakah
kalian buta?”(52:15). Sementara tentang sumber-sumber setaniah wahyu yang
diterima Nabi, al-Quran memberi respon: “Dan ia (al-Quran) bukanlah perkataan
setan yang terkutuk” (81:25), “Setan-setan tidaklah membawanya (al-Quran)
turun; mereka tidak patut dan tidak kuasa berbuat demikian. Sesungguhnya mereka dihalangi untuk mendengarkannya
(al-Quran)” (26:210-212). Bagi al-Quran, setan-setan justeru memberi inspirasi
kepada pendusta yang banyak berbuat dosa: “Inginkah engkau Aku kabarkan kepada
siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak
dosanya” (26:221-222). Jadi, dalam berbagai sanggahan al-Quran ini selalu ditegaskan
bahwa Allah-lah yang merupakan sumber inspirasi wahyu Muhammad.
Di samping gagasan-gagasan di atas, para
oposan kontemporer Nabi juga menuduhnya membuat-buat atau mengada-adakan
al-Quran (10:38; 11:13; 32:3; 46:8; 25:4; 34:8,43; 21:5; 16:101). Sehubungan
dengan gagasan tentang al-Quran sebagai rekayasa imajinasi kreatif Muhammad,
Nabi diperintahkan menjawab: “Jika aku (Muhammad) mengada-adakannya, maka kamu
tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk menghalangi aku (Muhammad) dari
(azab) Allah” (46:8). Di bagian lainnya (16: 102), al-Quran merespon: “Ruh
Kudus telah menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu dengan benar, untuk
meneguhkan orang-orang yang beriman dan sebagai petunjuk serta kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri.” Dalam responnya yang lebih keras, kitab
suci ini bahkan menantang para oposan Nabi untuk membuat perkataan (hadîts)
semisal wahyu yang diterima Nabi (52:34), atau suatu surat (10:38; 2:23), atau
sepuluh surat (11:13), atau suatu kitab semisal al-Quran (17:88; 28:49).[21]
Aspek tantangan (tahaddî) yang
disebutkan terakhir di atas, telah dikembangkan sedemikian rupa di dalam ‘ulûm
al-qur’ân untuk menopang doktrin i‘jâz al-qur’ân dari
segi kualitas bahasanya. Di sini, ditekankan bahwa ketidakmampuan manusia untuk
menandingi bahasa al-Quran merupakan salah satu bukti kemukjizatan kitab suci
tersebut. Tetapi, lantaran penekanan yang
berlebihan terhadap doktrin ini,
ayat-ayat tantangan di atas telah dikemukakan dalam urutan kronologis
pewahyuan terbalik – yakni tahapan pertama adalah tantangan mendatangkan suatu
kitab semisal al-Quran (17:88; 28:49), tahapan kedua adalah tantangan
mendatangkan sepuluh surat semisal al-Quran (11:13), dan tahapan ketiga adalah
tantangan mendatangkan satu surat semisal al-Quran (10:38).[22]
Merupakan hal yang logis jika tantangan
semacam ini diajukan selaras dengan perkembangan kuantitas wahyu yang ada di
tangan Nabi dari waktu ke waktu. Jadi, ketika kepada Nabi baru diturunkan
beberapa surat, oposan-oposannya ditantang untuk mendatangkan perkataan atau
sebuah surat yang semisal itu. Ketika belasan surat telah diwahyukan kepada
Nabi, mereka ditantang untuk mendatangkan sepuluh surat semisal itu. Dan ketika
wahyu-wahyu al-Quran dalam perbendaharaan Nabi telah mengambil bentuk seperti kitâb,
maka para oposan Muhammad ditantang untuk mendatangkan yang seperti itu.
Disamping gagasan tentang sumber-sumber
setaniah al-Quran di atas, Para penentang Nabi juga menuduhnya memperoleh
pengetahuan wahyu lewat transmisi manusiawi (6:105; 16:103; 44:14; 25:4). Pengetahuan
wahyu yang diperolehnya adalah
“dongeng-dongeng masa silam” (asâthîr
al-awwalîn) yang telah disalinnya dan didiktekan kepadanya tiap pagi dan
petang (25:5). Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa para oposan Nabi
memandangnya memperoleh inspirasi qurani dari sumber-sumber ahli kitab – yakni
kaum Yahudi dan Kristen.[23]
Tetapi, Al-Quran menyanggah pandangan ini dengan menegaskan bahwa Muhammad
tidak pernah membaca suatu kitab suci pun dan tidak pernah pula menulisnya;
karena jika seandainya terjadi demikian, para penentang Nabi akan memiliki
argumen yang kuat untuk meragukannya (29:48). Demikian pula, dugaan bahwa yang
telah mengajarkan al-Quran kepada Muhammad adalah orang asing (a‘jamî),
ditolak dengan mengemukakan bahwa al-Quran yang diwahyukan kepada Muhammad itu
dalam bahasa Arab yang jelas, yang tentunya berbeda dari tutur kata a‘jamî
(16:103). Sementara yang disebut-sebut
para penentang Nabi sebagai asâthîr
al-awwalîn, ditegaskan al-Quran bersumber dari Tuhan: “ Ia (asâthîr al-awwalîn) diturunkan oleh yang mengetahui
rahasia langit dan bumi, (Allah) yang maha pengampun lagi maha penyayang”
(25:5-6).
Salah satu bagian al-Quran yang secara
ringkas mengungkapkan gagasan-gagasan para oposan Nabi sehubungan dengan
sumber-sumber atau asal-usul genetik wahyu yang diterimanya, berikut respon
al-Quran terhadapnya, adalah 25:4-9
berikut ini:
Orang-orang kafir (penentang Muhammad) itu berkata:
“(pekabaran al-Quran) ini tidak lain hanya suatu kebohongan yang direkayasanya,
dan dia tentunya dibantu oleh kaum lain.” Sungguh mereka telah berbuat zalim
dan berdusta. Dan mereka berkata: “Inilah dongeng-dongeng masa silam yang telah
disalinnya untuk dirinya dan didiktekan kepadanya tiap pagi dan petang.”
Katakanlah (hai Muhammad): “Ia diturunkan oleh yang mengetahui rahasia langit
dan bumi, (Allah) yang maha pengampun lagi maha penyayang.” Dan mereka berkata:
“mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar? Mengapa tidak
diturunkan malaikat kepadanya agar memberi peringatan bersamanya? Dan (mengapa)
tidak diberikan kepadanya harta kekayaan atau kebun yang hasilnya dapat dia
nikmati?” Dan orang-orang yang zalim itu berkata: “Kalian hanya mengikuti
seorang lelaki yang terkena sihir.” Lihatlah bagaimana mereka telah membuat
perumpamaan-perumpamaan tentang kamu (Muhammad). Mereka telah tersesat dan
tidak dapat menemukan jalan (yang benar).
Jadi, tanpa pemutarbalikan fakta, al-Quran
telah merekam rentetan kejadian sehubungan dengan oposisi dan sudut-sudut
pandang orang yang semasa dengan Nabi mengenai asal-usul atau sumber inspirasi
wahyu yang diterimanya. Serempak dengan itu, al-Quran juga merespon atau
membantah berbagai tuduhan dan miskonsepsi para oposan kontemporer Nabi.
Sebagaimana terlihat, respon spesifik al-Quran terhadap berbagai gagasan dan tuduhan para penentang
Muhammad memang berbeda untuk setiap kasusnya. Tetapi, dalam berbagai jawaban
tersebut, kitab suci ini selalu menekankan asal-usul ilahiahnya: Wahyu yang
diterima Muhammad itu bersumber dari Tuhan semesta alam.
Berbagai gagasan para oposan kontemporer
Nabi tentang asal-usul atau sumber al-Quran terlihat memiliki kemiripan dengan
konsepsi yang dikembangkan di Barat sejak abad pertengahan hingga dewasa ini.
Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, konsepsi yang diajukan sarjana Barat
terlihat lebih ekstensif dan tidak jarang berbau apologetik. Pada abad
pertengahan di Barat, Muhammad digagaskan sebagai penipu, pseudo-propheta,
tukang sihir, serta ajaran al-Quran yang didakwahkannya itu tidak lain dari
suatu bentuk Kristen yang sesat dan penuh bidah.[24]
Gagasan-gagasan Barat abad pertengahan di
atas, yang lebih merupakan mitos dan fiksi imajinatif, memiliki pengaruh kuat
di kalangan sarjana Barat pada masa-masa selanjutnya, dan terlihat sulit
dienyahkan dari benak masyarakat Barat hingga dewasa ini. Tetapi, konsepsi abad
pertengahan itu secara sederhana bisa diabaikan karena tidak ditopang dan
dilandasi oleh penelitian ilmiah yang serius. Kepentingan utama yang ada di
balik penggagasannya lebih bersifat apologetik, karena difokuskan pada
pembelaan keyakinan kristiani serta penyemaian rasa percaya diri di kalangan
umat Kristen. Gagasan ini secara reflektif mengungkapkan bahwa walaupun umat
Islam – musuh bebuyutan Kristen dalam serangkaian perang salib ketika itu –
secara politik lebih superior dibandingkan umat Kristen, secara religius
kaum anti-Kristus itu
– salah satu istilah yang
dilabelkan kepada umat Islam – memeluk agama yang lebih inferior dari
agama Kristen.
Gagasan-gagasan Barat abad pertengahan itu
tentu saja tidak dapat disejajarkan dengan gagasan-gagasan Barat modern jika
dilihat pada tataran saintifik dan sofistikasinya. Karya Barat modern yang
berupaya melacak sumber-sumber al-Quran bisa dikatakan bermula pada 1833 dengan
publikasi karya Abraham Geiger, Was hat Mohammed aus dem Judentum
aufgenommen?[25]
Sebagaimana tercermin dari judulnya – “Apa yang telah Diadopsi Muhammad dari
Agama Yahudi?” – karya ini memusatkan perhatian pada anasir Yudeo di dalam
al-Quran. Dalam penelitiannya, Geiger sampai kepada kesimpulan bahwa seluruh
ajaran Muhammad yang tertuang di dalam al-Quran sejak sebermula telah
menunjukkan sendiri asal-usul Yahudinya secara transparan: Tidak hanya sebagian
besar kisah para nabi, tetapi berbagai ajaran dan aturan al-Quran pada faktanya
juga bersumber dari tradisi Yahudi.[26]
Namun, selama hampir setengah abad setelah publikasi karya Geiger, tidak
terlihat teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian ini. Baru pada 1878,
H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan publikasinya, Juedische Elemente
im Koran (“Anasir Yahudi dalam al-Quran”), yang mengkonfirmasi lebih
jauh temuan-temuan pendahulunya.
Setelah kemunculan kedua karya di atas,
sejumlah besar sarjana Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan
asal-usul genetik al-Quran. Terjadi semacam peperangan akademik antara
sarjana-sarjana yang memandang al-Quran tidak lebih dari tiruan rentan tradisi
Yahudi dan sarjana-sarjana yang menganggap agama Kristen sebagai sumber
utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berupaya keras membuktikan bahwa asal-usul
genetik al-Quran secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi dan bahwa
Muhammad merupakan murid seorang Yahudi tertentu. Karya-karya kesarjanaan
Yahudi jenis ini antara lain ditulis oleh J. Horovitz, Jewish Proper Names
and Derivatives in the Koran (“Nama Diri Yahudi dan Derivasinya dalam
al-Quran,” 1925, dicetak-ulang, 1964), C.C. Torey, The Jewish Foundation of
Islam (“Fondasi Yahudi Agama Islam,” 1933, dicetak-ulang, 1967), dan
Abraham I. Katsch, Judaism and the Koran (“Agama Yahudi dan al-Quran,”
1962).[27]
Pencetakan-ulang karya-karya kesarjanaan Yahudi itu memperlihatkan secara
gamblang pengaruh gagasan lama yang masih melekat di dunia akademik Barat.
Tetapi, kajian-kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik kulminasi yang
tragis dengan terbitnya karya J. Wansbrough, Quranic Studies: Sources and
Methods of Scriptural Interpretation (“Kajian-kajian al-Quran: Sumber dan
Metode Tafsir Kitab Suci,” l977). Dalam buku ini, Wansbrough melangkah lebih
jauh dengan menegaskan bahwa al-Quran merupakan hasil “konspirasi” antara Muhammad
dan pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang secara sepenuhnya
berada di bawah pengaruh Yahudi.[28]
Sementara para sarjana Kristen juga
melakukan upaya senada dan berusaha membuktikan bahwa al-Quran itu tidak lebih
dari gema sumbang tradisi kristiani dan bahwa Muhammad hanyalah seorang
pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh agama Kristen. Karya
kesarjanaan Kristen modern yang awal tentang sumber-sumber kristiani al-Quran
ditulis Karl Friedrich Gerock, Versuch einer Darstellung der Christologie
des Korans (“Upaya Pengungkapan Kristologi al-Quran,” terbit pertama kali
pada 1839).
Setelah suatu tenggang waktu yang cukup
lama, muncul karya-karya kesarjanaan Kristen lainnya tentang topik ini, seperti
yang disusun oleh Manneval, La Christologie du Koran (“Kristologi
al-Quran,”1887), Tor Andrae, Der Ursprung des Islams und das Christentum (“Asal-usul
Islam dan Agama Kristen,” 1926), dan J. Henninger, Spuren christlicher
Glaubenswahrheiten im Koran (“Jejak Kebenaran Kepercayaan Kristen dalam
al-Quran,” 1951). Tetapi, salah satu karya kesarjanaan Kristen paling menonjol
dan berpengaruh dalam kategori ini ditulis oleh Richard Bell, The Origin of
Islam in its Christian Environment (“Asal-usul Islam dalam Lingkungan
Kristennya,” 1926).
Di samping karya-karya yang
menitikberatkan asal-usul al-Quran dalam salah satu dari kedua tradisi
keagamaan semit, yakni Yahudi dan Kristen, terdapat juga karya-karya
kesarjanaan Barat lainnya yang menekankan pengaruh kedua tradisi keagamaan
tersebut secara serempak terhadap kitab suci kaum Muslimin. Karya-karya
kategori terakhir ini antara lain ditulis oleh W. Rudolph, Die Abhaengigkeit
des Qorans von Judentum und Christentum (“Ketergantungan al-Quran pada
Agama Jahudi dan Kristen,” 1922), dan D. Masson, Le Coran et la Revelation
Judeo-Chretienne (“Al-Quran dan Wahyu Yahudi-Kristen,” dua jilid, 1958).
Sementara sejumlah sarjana Barat lain, seperti W.M. Watt dan H.A.R. Gibb,
memperluas gagasan terakhir ini dengan menegaskan bahwa latar belakang
kelahiran Islam atau al-Quran adalah milieu Arab, walaupun banyak unsur-unsur
Yudeo-Kristiani yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.[29]
Gagasan-gagasan yang berkembang di
kalangan sarjana Barat modern tentang asal-usul atau sumber-sumber al-Quran di
atas, sebenarnya dipijakkan pada asumsi tentang difusi agama Yahudi dan Kristen
pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam. Tetapi, asumsi semacam ini
tampaknya tidak mendapat pembenaran dari informasi-informasi historis yang
terdapat di dalam al-Quran sendiri, jika kitab suci ini dipandang – dan sudah semestinya dijadikan – sebagai
sumber sejarah yang otoritatif. Uraian-uraian dalam bab lalu justeru
menunjukkan bahwa pengaruh kedua tradisi keagamaan tersebut terhadap milieu intelektual
Arab terlihat tidak begitu meyakinkan.[30]
Memang benar bahwa ajaran-ajaran kedua tradisi itu telah cukup dikenal di
kalangan orang-orang Arab. Al-Quran sendiri bahkan mengemukakan adanya upaya
dari orang-orang Yahudi dan Kristen dalam skala besar-besaran ataupun
kecil-kecilan untuk menarik orang-orang Arab ke dalam agamanya masing-masing.
Tetapi, upaya ini tidak membuahkan hasil yang baik lantaran implikasi politik
kedua agama tersebut, dan – lebih dari itu – orang-orang Arab terlihat lebih
setia mengikuti tradisi “bapak-bapak kami.”
Kemiripan ajaran al-Quran dengan tradisi
Yudeo-Kristiani juga dijadikan sebagai basis oleh para sarjana Barat untuk
teori mereka bahwa sumber inspirasi al-Quran adalah Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru – Tawrat dan Injil dalam istilah al-Quran. Tetapi, kaum
Muslimin barangkali akan menisbatkan kemiripan dalam ketiga tradisi agama
Ibrahim ini kepada kesamaan sumber kitab suci masing-masing agama tersebut.
Menurut keyakinan Islam, seluruh kitab suci – bahkan di luar ketiga tradisi
keagamaan Semit itu – bersumber dari Allah, dan rasul yang menyampaikan kitab
suci itu diutus oleh-Nya. Al-Quran memang menyebutkan bahwa para nabi diutus
untuk menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa yang berbeda pada masa-masa yang
berbeda, namun risalah yang mereka sampaikan adalah universal dan identik.
Semua risalah tersebut terpancar dari sumber tunggal: umm al-kitâb (“induk
segala kitab,” 43:4; 13:39) atau kitâb
maknûn (“kitab yang tersembunyi,” 56:78) atau lauh mahfûzh
(“luh yang terpelihara,” 85:22), yang merupakan esensi Pengetahuan Tuhan. Dari
esensi kitab primordial inilah wahyu-wahyu diturunkan kepada para utusan Tuhan.
Tawrat (2:53,87; 3:3,65; 5:44; 6:91; dll.) dan Zabur (4:163; 17:55) – merujuk
kepada Perjanjian Lama – serta Injil (3:3,48,65; 5:46; 57:27; dll.), semuanya bersumber
dari Allah. Karena semua risalah Tuhan itu universal dan identik, maka manusia
mesti mengimani seluruhnya. Di dalam al-Quran, di samping disebutkan kewajiban
untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan Kristen, Muhammad juga
diperintahkan untuk mendeklarasikan: “Aku beriman kepada seluruh kitab yang
diturunkan Allah” (42:15 cf. 2:285; 4:136; 2:177). Karena itu, agama Allah
tidak dapat dipecah-pecah. Demikian juga dengan kenabian: Al-Quran mengharuskan
keimanan kepada nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa diskriminasi (2:136,285;
3:84; 4:152; dll.). Bagi al-Quran, “tidak ada satu umat pun yang tidak pernah
didatangi seorang pemberi peringatan” (35:24 cf. 13:7). Jadi, berbagai
kemiripan dalam ajaran agama-agama bukanlah disebabkan agama yang satu mengadopsi
ajaran agama lain, tetapi karena tiap-tiap agama tersebut berasal dari satu
sumber: Tuhan semesta alam.
Sekalipun uraian di atas mungkin bagi
sementara kalangan dipandang tidak memuaslegakan dan lebih bersifat dogmatis,
tetapi hanya jawaban semacam itulah yang barangkali bisa dikemukakan jika
dikaitkan dengan perspektif al-Quran tentangnya. Di kalangan sarjana Barat
sendiri pun masalah pelacakan sumber-sumber al-Quran masih tetap merupakan
bidang garap yang kontroversial. Kajian-kajian semacam ini, misalnya, mendapat
justifikasi dari W.M. Watt. Ia mengemukakan dua alasan penting tentang
relevansinya: (i) kajian tentang sumber-sumber al-Quran tidak akan
menghilangkan gagasan-gagasan yang sumbernya ditemukan dan juga tidak akan
mengurangi nilai kebenaran serta validitas kitab suci tersebut; dan (ii)
orang-orang yang menerima doktrin bahwa al-Quran merupakan verbum dei (kalâm Allâh) yang
qadîm bahkan dapat mengkaji “sumber-sumber” dalam artian pengaruh-pengaruh
eksternal terhadap pemikiran orang-orang Arab pada masa Muhammad. “Jika kedua
butir ini diterima, akan terlihat bahwa kajian tentang sumber-sumber dan
pengaruh – di samping merupakan hal yang sudah semestinya – memiliki tingkatan
interes yang moderat.”[31]
Meskipun karya-karya tentang asal-usul
genetik al-Quran yang ditulis para sarjana Barat belakangan ini terlihat lebih
serius ketimbang karya-karya sebelumnya, dan sekalipun ada sejumlah sarjana
yang menjustifikasi dan membela mati-matian kepentingan studi-studi semacam
itu, upaya rekonstruksi elemen-elemen asing al-Quran juga mendapat kecaman
keras dari kalangan sarjana Barat sendiri. Franz Rosenthal, misalnya,
mengemukakan bahwa meskipun kajian-kajian semacam itu berhasil menemukan bukti
yang meyakinkan mengenai pengaruh asing terhadap formasi spiritual dan
intelektual Muhammad, upaya-upaya tersebut “tidak mungkin menjelaskan secara
memuaskan keberhasilan Nabi dalam menciptakan sesuatu dan mentransformasikannya
ke dalam suatu kekuatan abadi yang mempengaruhi seluruh umat manusia ….”[32]
Lebih jauh, Rosenthal bahkan menilai bahwa kajian-kajian semacam ini hanya
menyentuh kulit luar dan tidak pernah mencapai intinya.[33]
Bahwa kajian tentang asal-usul genetik
al-Quran serta berbagai pendekatan yang digunakan di dalamnya memiliki
kepentingan historis tertentu, merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah.
Akan tetapi, merupakan suatu fakta yang tidak dapat ditolak bahwa studi-studi
semacam ini hanya memiliki manfaat yang sangat terbatas dalam kaitannya dengan
pemahaman al-Quran dan gagasan-gagasannya. Sebaliknya, telaah-telaah semacam
ini bahkan cenderung mengaburkan dan mendistorsi kandungan kitab suci itu.
Lebih jauh, asumsi yang mendasari kajian-kajian tersebut adalah praduga abad
pertengahan bahwa Muhammad adalah “pengarang” al-Quran. Apabila kitab suci itu merupakan
rekayasa yang sadar dari imajinasi kreatif Nabi, maka sumber-sumbernya secara
pasti dapat dilacak dalam milieunya. Prasangka semacam ini, seperti telah
disinggung di atas, justeru disangkal dengan tegas oleh al-Quran sendiri ketika
menolak dakwaan-dakwaan senada yang diajukan oposan kontemporer Nabi.
Barangkali inilah sebabnya mengapa Seyyed Hossein Nasr – sehubungan dengan
prasangka Barat mengenai asal-usul genetik al-Quran – menyatakan keheranannya:
“Pandangan semacam itu (yakni tentang asal-usul non-ilahiah al-Quran – pen.)
wajar dipertahankan oleh orang yang menolak secara sepenuhnya seluruh wahyu,
tetapi adalah aneh mendengar pandangan-pandangan tersebut dikemukakan para
penulis yang sering menerima Kristen dan Yahudi sebagai kebenaran yang diwahyukan.”[34]
Wahyu Ilahi dan Nabi
Uraian-uraian tentang derivasi, sinonim
dan sumber-sumber al-Quran di atas dengan jelas memperlihatkan bagaimana
konsepsi kitab suci itu mengenai asal-usul dirinya. Wahyu-wahyu qurani yang
diterima Nabi, menurut gagasan ini, bersumber dari Allah. Wahyu-wahyu tersebut,
sebagaimana dengan wahyu-wahyu lain yang diterima nabi-nabi sebelum Muhammad,
terpancar dari “Luh yang Terpelihara” (lauh mahfûzh,
85:22), yang hanya dapat disentuh oleh yang disucikan (56:79).
Luh ini juga
disebut sebagai “Kitab yang
Tersembunyi” (kitâbmaknûn, 56:78), atau
“Induk Segala Kitab” (umm al-kitâb,
13:39; 43:4), sebagaimana lazimnya ditafsirkan demikian di kalangan sarjana
Muslim. Dari esensi kitab primordial inilah Jibril datang dan menyampaikan
wahyu ilahi kepada Nabi. Pernyataan sederhana ini mencakup permasalahan luas
tentang wahyu Ilahi dan Nabi yang akan
didiskusikan berikut ini.
Kata wahyu (wahy, ïyë ) beserta kata bentukan lain
darinya merupakan kata-kata yang frekuensi penggunaannya paling banyak di dalam
al-Quran. Kata-kata ini telah menjadi istilah-istilah teknis dalam terminologi
Islam, khususnya untuk merujuk komunikasi pesan Ilahi kepada para nabi.[35]
Di dalam al-Quran sendiri, penggunaan kata wahy dan kata-kata
bentukannya tidak hanya dibatasi bagi para nabi, tetapi juga digunakan secara
umum untuk melukiskan bentuk komunikasi yang dijalin antara sesama manusia atau
antara Tuhan dengan makhluk-Nya – termasuk para nabi. Jadi kata awhâ ( َyëa ) digunakan dalam pengertian “memberi isyarat” atau “menunjukkan” guna
menggambarkan komunikasi yang dilakukan Zakariya – setelah menjadi bisu –
kepada kaumnya (19:11). Dalam 6:112, dikatakan bahwa setan di kalangan jin dan
manusia saling “membisikkan” atau “memberi tahu secara sembunyi-sembunyi” (yûhî
ba‘dluhum ba‘dlan) gagasan-gagasan
muluk (cf. 6:121). Penerima wahyu,
bahkan dari Tuhan, tidak selalu seorang nabi. Kepada malaikat, Tuhan mewahyukan (yûhî,
“memerintahkan”) agar meneguhkan pendirian orang-orang beriman (8:12); dan
kepada ibu Nabi Musa, Tuhan mewahyukan (awhâ, “memberi ilham”) agar menyusui
anaknya (28:7). Bahkan, kepada lebah pun Tuhan mewahyukan (awhaynâ, “memberi
ilham”) untuk membuat sarangnya di bukit-bukit dan pohon-pohon serta
rumah-rumah yang dibuat manusia (16:68). Pada Hari Penghabisan, bumi akan
mengeluarkan beban beratnya sebab Tuhan telah “memerintahkan” (awhâ) kepadanya
untuk melakukan hal tersebut (99:1-5). Demikian pula, Tuhan “memerintahkan” (awhâ) kepada setiap
lapis langit tugas-tugas khususnya.
Dalam sejumlah bagian al-Quran, kata-kata
senada juga digunakan untuk merujuk komunikasi pesan ilahi kepada para nabi
sebelum Muhammad (12:109; 16:43; 21:7,25; dll.): seperti kepada Nuh (23:27;
11:36-37; dll.), Musa (7:160; 20:13,77; 26:52,63; dll.), Yusuf (12:15), dan lain-lain.
Pesan yang dikomunikasikan, dalam kebanyakan kasus, berupa perintah untuk
melakukan sesuatu. Jadi, kepada Nuh, misalnya, “diperintahkan” membuat bahtera
berdasarkan “wahyu”. Begitu juga, kepada Musa “diperintahkan” untuk melakukan
eksodus di malam hari, memukul laut dan batu karang dengan tongkatnya.
Terkadang, yang diwahyukan kepada para nabi adalah doktrin: “Katakanlah:
‘Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang esa’”
(18:110; 21:108; 41:6; dll.).
Tetapi, obyek utama wahyu di dalam
al-Quran adalah Muhammad. Dalam 13:30 disebutkan bahwa ia diutus untuk
membacakan apa-apa yang “diwahyukan” kepadanya; bahwa petunjuk yang
diperolehnya disebabkan oleh apa-apa yang “diwahyukan” kepadanya (34:50).
Masyarakat kontemporer Nabi keheranan karena ia menerima wahyu untuk memberi
peringatan dan kabar gembira (10:2); tetapi Muhammad diperintahkan mengatakan:
“Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku
tidak pula mengetahui yang gaib. Aku juga tidak mengatakan kepadamu bahwa aku
ini malaikat. Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa-apa yang diwahyukan
kepadaku” (6:50).
Bahwa wahyu yang diterima Muhammad
memiliki asal-usul ilahiah, seperti telah ditunjukkan di bagian yang lalu,
selalu ditegaskan oleh al-Quran. Dalam 53:3-4 disebutkan: “Dan tidaklah ia
(Muhammad) berbicara mengikuti hawa nafsunya. Sungguh (ucapannya) itu tidak
lain adalah wahyu yang diwahyukan” (cf. 6:93). Sementara di sejumlah bagian
al-Quran lainnya Muhammad diperintahkan hanya mengikuti apa-apa yang diwahyukan
Tuhannya (6:50,106; 7:203; 10:109; 33:2; 46:9; 43:43; dll.). Ia tidak
mengharamkan makanan apapun – kecuali bangkai, darah, daging babi atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah – karena tidak menemukan larangan
semacam itu eksis di dalam wahyu yang diwahyukan kepadanya (6:145).
Kandungan wahyu yang diterima Muhammad
dilukiskan dengan berbagai cara di dalam al-Quran. Kisah keluarga Imran di
dalam surat 3 diinterupsi oleh suatu ayat (3:44) yang menyatakan: “Itulah
sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad).”
Sementara kisah Yusuf diawali dengan pernyataan: “Kami kisahkan kepadamu
(Muhammad) kisah paling bagus dengan mewahyukan al-Quran ini kepadamu” (12:3).
Demikian pula, Allah mewahyukan kepada Muhammad untuk mengikuti agama Ibrahim
(16:123). Dan pengetahuannya tentang sejumlah jin yang mendengar pembacaan
al-Quran juga dinisbatkan kepada wahyu ilahi (72:1), sebagaimana pengetahuannya
tentang perbantahan di kalangan malaikat pada waktu penciptaan manusia (38:69
ff.).
Berbagai terma lain juga digunakan di
dalam al-Quran untuk menunjukkan kandungan wahyu. Dalam 5:48 disebutkan bahwa
Tuhan telah menurunkan kepada Muhammad al-kitâb
dengan kebenaran (cf. 13:1; 34:6; 22:54; 35:31; 47:2; 6:114; 4:105; 39:2,41;
3:3; 42:17; 32:3; 17:105; dll.), yang mengkonfirmasikan kitab-kitab sebelumnya
dan pelindung atasnya (cf. 6:92; 2:97; 35:31; 46:30; 6:92; 10:37; 12:111;
dll.).[36]
Lebih jauh, kandungan wahyu juga disebut sebagai ‘ilm (“ilmu,” 3:61;
2:120,145; 13:37; 45:17; cf. 30:29), hikmah, (“hikmah,” 17:39;
cf. 2:151,231,269; 3:164; 33:34; dll.), hudâ (“petunjuk,”
45:11,20; 3:138; 7:52,203; 12:111; dll.), syifâ’ (“penawar,” 41:44; 10:57; 17:82), nûr
(“cahaya,” 4:174; 5:15f.; 7:157; 42:52; 64:8), dan lain-lain. Sementara tujuan
pewahyuan al-Quran disebut dalam 6:19, “Dan al-Quran ini diwahyukan kepadaku
agar aku memberi peringatan kepadamu dengannya dan kepada orang-orang yang
sampai kepadanya (al-Quran)” (cf. 42:7; 6:92).
Deskripsi-deskripsi di atas dengan jelas
memperlihatkan betapa luas dan dalamnya kandungan semantik terma wahy
dan awhâ
dalam penggunaan al-Quran. Kata awhâ barangkali memiliki pengertian mendasar “komunikasi
suatu gagasan melalui bisikan yang cepat atau desakan.” [37] Pengertian ini
selaras dengan contoh-contoh yang diberikan di dalam kamus-kamus,[38] di mana ditunjukkan
bahwa kecepatan atau kesekilasan merupakan bagian dari konotasi akar kata
tersebut. Dengan demikian, wahy secara umum dapat bermakna gagasan yang
dibisikkan, yang didesak untuk ditindakkan atau dilakukan.
Namun yang menjadi kunci di sini adalah
bagaimana proses pewahyuan al-Quran kepada Muhammad. Al-Quran hanya
mengemukakan sejumlah kecil petunjuk tentang hal ini. Gambaran paling lengkap
tentang mekanisme wahyu – yang dalam kenyataannya paling sering dijadikan obyek
spekulasi tafsir sejumlah besar sarjana Muslim – terdapat dalam 42: 51-52, yang
dapat dikemukakan sebagai berikut:
“Dan Allah tidak berkata-kata kepada
seorang manusia pun kecuali:
(a) (melalui) wahyu
atau (b)
dari balik tabir
atau (c)
Dia mengutus utusan
yang mewahyukan dengan seizinnya apa-apa
yang Dia kehendaki ….
Dan demikianlah
telah Kami wahyukan kepadamu Ruh dari perintah Kami….”
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu
ditegaskan di sini bahwa permulaan bagian al-Quran di atas menafikan
kemungkinan Tuhan berbicara secara langsung kepada manusia, kecuali lewat
ketiga modus taklîm di atas. Tentang model wahyu pertama (a),
terdapat suatu consensus doctorum di kalangan sarjana Muslim bahwa yang
dimaksudkan dengan wahy di sini sinonim dengan ilhâm, “inspirasi,”[39]
dan biasanya ditafsirkan sebagai “impian yang benar” (ru’yat al-shalihah).
Penafsiran semacam ini bisa disimpulkan dari penuturan al-Quran tentang kisah
penyembelihan Ismail, putera Nabi Ibrahim (39:101-112).[40]
Tentang model wahyu kedua (b), biasanya ditafsirkan sebagai kalam ilahi
dari balik tabir tanpa melalui perantara, seperti dialami Nabi Musa (4:164;
7:143-144; 28:30; cf. 2:253). Sementara model wahyu ketiga (c), yakni
lewat perantaraan utusan spiritual, umumnya ditafsirkan sebagai penyampaian
wahyu Ilahi kepada nabi-nabi melalui perantaraan malaikat Jibril atau Ruh
Kudus. Bentuk pewahyuan terakhir inilah – seperti terlihat dalam bagian akhir
kutipan al-Quran di atas (42:52) – yang dialami Muhammad.
Bahwa Jibril merupakan agen wahyu atau
utusan spiritual yang menyampaikan wahyu Ilahi kepada Muhammad, dikonfirmasi
al-Quran di beberapa tempat lainnya (2:97; 16:102; 26: 192-194; dll.). Bahkan
dalam bagian-bagian al-Quran ini dijelaskan bahwa Jibril menyampaikan wahyu
Ilahi ke dalam hati Nabi. Jadi dalam 26:192-193, misalnya, disebutkan: “Dan
sesungguhnya (al-Quran) ini diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa
turun oleh al-rûh al-amîn, ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang pemberi peringatan.” Dengan demikian, wahyu dan agennya
jelas bersifat spiritual dan internal bagi Muhammad. Hal ini juga dinyatakan dalam
bagian al-Quran lainnya: “Jika Tuhan menghendaki, maka akan Dia tutup mata
hatimu (hai Muhammad), sehingga tidak akan ada lagi wahyu yang datang kepadamu”
(42:24; cf. 17:85-86).
Jibril – agen spiritual penyampai wahyu
Ilahi kepada Muhammad – hanya disebutkan tiga kali di dalam al-Quran (2:97, 98;
66:4), dan keseluruhannya berasal dari periode Madinah. Dari tiga kali
pemunculan tersebut, seperti telah disinggung di atas, hanya satu kali saja
yang bertalian dengan pewahyuan al-Quran (2:97). Pemunculannya yang sangat
belakangan ini telah menimbulkan spekulasi di kalangan sarjana Barat tentang
pengaruh tradisi Yudeo-Kristiani dalam identifikasi tersebut. Gagasan umum yang
dikembangkan di sini bisa diilustrasikan dengan ungkapan W.M. Watt:
Pengalaman Muhammad tentang
pewahyuan telah ditafsirkannya dalam berbagai cara. Pertama kali ia menganggap
bahwa Tuhanlah yang berkata-kata secara langsung kepadanya, sebagaimana
anggapannya bahwa Tuhanlah yang menampakkan dirinya kepadanya dalam
rukyah-rukyahnya. Kemudian, ..., gagasan ini ditolak untuk mendukung ide bahwa
suatu Ruh dihunjamkan ke dalam dirinya. Belakangan, ketika semakin akrab dengan
gagasan-gagasan orang Yahudi dan Kristen, yang darinya ia belajar mengenai
malaikat sebagai utusan Tuhan, Muhammad menganggap bahwa malaikatlah yang
membawa pesan ketuhanan kepadanya. Akhirnya, ia memandang Jibril sebagai
malaikat khusus yang membisikkan pesan-pesan ilahi kepadanya atas nama Tuhan.[41]
Pandangan di atas mencerminkan suatu
kegagalan dalam mengapresiasi perkembangan misi kenabian Muhammad dalam
bentangan historisnya. Identifikasi-identifikasi tentang agen wahyu, dalam
kenyataannya berkembang selaras dengan perkembangan misi tersebut, dan baru
mencapai bentuk finalnya setelah Perang Badr.[42]
Dalam proses perkembangan ini, al-Quran pada mulanya menerima aspek-aspek
tertentu keyakinan atau world-view masyarakat Arab, karena tidak mungkin
mengubahnya dalam seketika. Kepercayaan-kepercayaan pagan Arab itu kemudian
ditransformasikan atau diganti secara gradual dengan unsur-unsur islami, hingga
mencapai bentuk finalnya. Proses perkembangan semacam ini, pada faktanya,
terjadi dalam hampir keseluruhan gagasan keagamaan Islam.[43]
Sebagai utusan spiritual yang menyampaikan
pesan-pesan ilahi kepada para nabi, Jibril lebih sering diidentifikasi di dalam al-Quran
sebagai rûh,[44] serta di beberapa tempat sebagai malâ’ikah (“malikat”),[45] rasûl
karîm (“utusan mulia”),[46] syadîd
al-quwâ (“yang
sangat kuat”, 53:5 cf. 81:20), dzû mirrah (“yang sangat cerdas”, 53:6), dan
lainnya. Dalam kaitannya dengan nabi-nabi pra-Muhammad, meski sebagiannya
terkesan bahwa Tuhan berfirman langsung kepada mereka, tetapi terdapat
pernyataan umum di dalam al-Quran: “Dia menghunjamkan Ruh dari Perintah-Nya
kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya” (40:15 cf. 16:2),
yang darinya dapat disimpulkan bahwa nabi-nabi diberkahi Ruh Tuhan yang
menyampaikan wahyu kepada mereka. Demikian pula, setelah menyempurnakan bentuk
jasmani Adam, Tuhan juga memasukkan Ruh-Nya (15:29; 32:9; 38:72). Sehubungan
dengan Maryam, ibunda Isa al-Masih, dikatakan bahwa telah ditiupkan ke dalam
tubuhnya Ruh Tuhan sehingga ia hamil (19:17; 21:91; 66:12), dan Isa sendiri
dinyatakan telah diperkuat dengan “Ruh Kudus” (2:87,253; 5: 110). Ruh Kudus
inilah yang juga disebut sebagai agen wahyu al-Quran (16:102).[47]
Karakteristik Ruh tersebut, dijelaskan
Fazlur Rahman (w. 1988) sebagai kandungan aktual wahyu, seperti yang dikesankan
dalam 42:52 (cf. 40:15). Tokoh neo-modernis ini menduga bahwa Ruh tersebut
merupakan kekuatan atau fakultas atau keperantaraan yang berkembang di dalam
hati Nabi dan menjadi operasi wahyu yang nyata ketika dibutuhkan – sebagaimana
lazimnya penafsiran yang berkembang di kalangan filosof dan sejumlah modernis
muslim. Menurut Rahman, pada mulanya Ruh itu turun dari “atas.”[48]
Di dalam beberapa bagian al-Quran Ruh disebut berdampingan dengan
malaikat: “Dia menurunkan malaikat-malaikat dengan Ruh dari perintah-Nya kepada
siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya” (16:2; 40:15).[49]
Demikian pula, dalam bagian al-Quran lainnya dikatakan: “Malaikat-malaikat dan
Ruh naik kepada-Nya dalam sehari yang lamanya lima puluh ribu tahun” (70:4).
Dalam 78:38 disebutkan: “Hari ketika Ruh dan malaikat-malaikat berdiri
berbaris-baris.” Dan dalam 97:4 diungkapkan: “Malaikat dan Ruh turun di malam (al-qadr)
itu dengan izin Tuhan mereka.” Dari bagian-bagian al-Quran semacam ini bisa
disimpulkan bahwa Ruh merupakan makhluk lain disamping malaikat. Tetapi,
sebagaimana dikemukakan di atas, Ruh atau Jibril terkadang juga diidentifikasi dalam
al-Quran sebagai malaikat. Karena itu, Ruh ini barangkali bisa dipandang
sebagai bentuk tertinggi malaikat yang secara khusus bertugas sebagai agen
wahyu (cf. 81:20f.).
Di dalam al-Quran, Ruh selalu
diasosiasikan dengan istilah amr (“Perintah”), seperti dalam konstruksi rûh
min amrinâ, rûh
min amrihî, atau rûh min amri rabbî (16:2; 17:85;
40:15; 42:52), “Ruh dari perintah Kami(-Nya, Tuhanku).” Amr biasanya
ditafsirkan sebagai “luh yang terpelihara,” yang di dalam al-Quran juga disebut
sebagai “Kitab yang tersembunyi” atau “Induk segala kitab.”[50]
Dari esensi kitab langit inilah Ruh datang dan masuk ke dalam hati nabi-nabi
kemudian menyampaikan wahyu Allah; atau dari amr itulah Ruh dibawa turun
para malaikat ke dalam hati mereka.
Sehubungan dengan pewahyuan al-Quran,
dikemukakan bahwa ia pertama kali diturunkan pada malam al-qadr atau
malam yang diberkahi Tuhan (97:1 dan 44:3-4). Malam ini, menurut penjelasan bagian al-Quran lainnya
(2:185), terjadi pada salah satu malam di bulan Ramadlan. Sejumlah besar
mufassir berupaya menginterpretasikan malam tersebut dengan merujuk 8:41, yang
mengindikasikan pewahyuan furqân pada
“hari bertemunya dua pasukan” – yakni bertemunya pasukan Islam dengan bala
tentara Quraisy dalam Perang Badr – dan menetapkan tanggal 17 Ramadlan sebagai
yang dimaksud oleh bagian-bagian al-Quran di atas. Tetapi, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, pemberian furqân
dalam Perang Badr lebih merefleksikan “penyelamatan” atau pertolongan Tuhan
berupa penganugerahan kemenangan kepada kaum Muslimin dalam pertempuran yang
tidak seimbang itu. Lebih jauh, beberapa hadits memberi penjelasan lain
tentangnya.[51]
Sebagian hadits mengemukakan laylatu-l-qadr terjadi pada malam ganjil di
bulan Ramadlan, sementara hadits lain menjelaskannya terjadi pada malam ganjil
di pertigaan terakhir bulan tersebut.[52]
Penurunan pertama al-Quran ini
setidak-tidaknya dalam bentuk embrionik dari lauh al-mahfûdz
ke bayt al-‘izzah di langit dunia – atau hati Nabi, sebagaimana
dikemukakan sejumlah pemikir seperti Al-Gazali (w. 1111) dan Syah Wali Allah
al-Dihlawi (w. 1762).[53]
Dari bentuk embrionik ini kemudian berkembang rincian-rincian al-Quran selama
kurang lebih 20 (atau 23 atau 25) tahun,[54]
selaras dengan perkembangan misi kenabian Muhammad. Ibn Abbas (w. 687/8), salah
seorang sahabat Nabi yang memiliki otoritas dalam studi al-Quran, misalnya,
mengemukakan bahwa al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada
laylat al-qadr, setelah itu bagian demi bagiannya diturunkan secara
berangsur-angsur kepada Muhammad dari waktu ke waktu.[55]
Pendapat di atas dipandang paling sahih
dan dipegang mayoritas sarjana Muslim.[56]
Tetapi, terdapat juga pandangan minoritas lainnya yang berkembang di dalam
Islam. Sebagian kecil sarjana Muslim, misalnya, menganggap bahwa al-Quran
diturunkan ke langit dunia dalam 20 (atau 23 atau 25) kali laylatu-l-qadr.
Pada setiap malam tersebut diturunkan wahyu untuk kebutuhan satu tahun, yang
kemudian disampaikan kepada Nabi di sepanjang tahun itu secara
berangsur-angsur. Sementara minoritas sarjana Muslim lainnya memandang bahwa
permulaan turunnya al-Quran adalah pada malam al-qadr. Setelah itu wahyu
disampaikan dalam berbagai kesempatan selama masa kenabian Muhammad secara
berangsur-angsur.[57]
Penurunan gradual al-Quran, seperti
terlihat, ditekankan dalam seluruh pendapat yang berkembang, dan ini memang
sejalan dengan penegasan kitab suci itu sendiri. Bagi al-Quran, suatu pewahyuan
total pada suatu waktu – sekalipun dituntut
para oposan Nabi (25:32) – adalah
mustahil, karena kenyataan sesungguhnya bahwa ia harus turun sebagai petunjuk
bagi kaum Muslimin dari waktu ke waktu, selaras dengan kebutuhan-kebutuhan yang
muncul. Sehubungan dengan ini, al-Quran mengungkapkan: “(Telah Kami turunkan)
sebuah Quran yang Kami bentangkan secara gradual sehingga kamu (Muhammad) dapat
membacakannya kepada manusia secara bertahap, (karena itu) Kami menurunkannya
hanya dalam bagian-bagian” (17:106).[58]
Sehubungan dengan pengalaman kenabian
Muhammad, yang mesti ditekankan di sini adalah apa yang secara mental-spiritual
dilihatnya, karena – seperti telah
disebutkan – wahyu datang kepadanya melalui hati. Hal semacam ini dengan
gamblang ditekankan dalam deskripsi-deskripsi al-Quran tentang rukyah Nabi,
yang lazimnya dikenal sebagai mi‘raj (“kenaikan”) di kalangan umat
Islam. Salah satu penjelasan al-Quran yang cukup rinci tentang hal ini
(53:3-18) menyinggung tentang pengalaman penerimaan wahyu dalam dua kesempatan
berbeda. Dalam salah satu kesempatan disebutkan bahwa Nabi “melihat” agen wahyu
di “ufuk tertinggi,” sementara di lain kesempatan ia melihatnya di sidratu-l-muntahâ. Dalam kedua
peristiwa ini, disamping Nabi “naik,” agen wahyu juga “turun,” dan pengalaman
tersebut – seperti ditunjukkan dalam ungkapan “Hatinya tidak mendustakan
apa-apa yang dilihatnya” – bersifat spiritual, bukan fisik, serta melibatkan
pengembangan-diri Nabi ke ufuk tertinggi (ufuq al-a‘lâ). Hal ini juga
dikonfirmasi dua bagian al-Quran lainnya (17:1; 81:19-24), yang menyinggung
obyek-obyek atau titik-titik
pengalaman terjauh Nabi, yaitu “masjid terjauh” (masjid al-aqshâ)[59] dan “ufuk paling nyata” (ufuq
al-mubîn). Berdasarkan berbagai rujukan al-Quran itu, dapat dikemukakan
bahwa pengalaman kenabian Muhammad – yang lazim dikenal sebagai mi‘raj
– terjadi lebih dari dua kali.
Dalam pengalaman spiritual Muhammad, sebagaimana
telah disinggung, ia secara aktual “melihat” serta “mendengar” gambaran dan
suara agen wahyu. Sejumlah bagian al-Quran bahkan mengindikasikan lebih jauh
bahwa Nabi mampu membedakan antara kalam ilahi yang didengarnya dan
pikiran-pikirannya sendiri. Dalam 75:16-19 (cf. 20:114; 69:40 ff.; 10:15;
7:203; dll.) disinggung bahwa karena kegelisahannya untuk tetap memperoleh
wahyu atau mengharapkan wahyu-wahyu yang berbeda dari “bisikan” agen wahyu,
maka Nabi – seperti manusia-manusia lainnya – dengan sengaja menggerakkan
lidahnya. Namun perbuatan ini dicela Tuhan. Keterangan al-Quran itu secara
logis menunjukkan adanya perbedaan antara wahyu dan kesadaran Nabi dalam
pengalaman spiritualnya.
Al-Quran sendiri secara tegas mengemukakan
bahwa ia diwahyukan secara verbal. Tetapi, di sisi lain, ia juga menekankan
kaitan intimnya dengan kepribadian terdalam – hati dan pikiran – Nabi. Dengan
kata lain, seperti telah disebutkan,
kalam Allah itu lahir di dalam hati dan pikiran Nabi (26:193 f.; 2:97;
42:24), karena itu dapat dikembalikan kepadanya. Jadi, sumber asal proses
kreatif terletak di luar capaian biasa agensi manusia, tetapi proses itu timbul
sebagai bagian integral dari pikiran Nabi. Jadi, ide dan kata lahir di dalam –
dan dapat dikembalikan kepada – pikiran Nabi, sementara sumbernya dari Allah.
Karena itu, sebagaimana disimpulkan Fazlur Rahman, al-Quran itu secara
keseluruhan adalah kalâm Allâh dan dalam pengertian biasa juga merupakan kalâm Muhammad. [60]
Penjelasan psikologis ini dapat dirujukkan
sumbernya dalam pemikiran Syah Wali Allah dan Muhammad Iqbal (w. 1938). Wali
Allah, misalnya, beranggapan bahwa kata-kata, ungkapan-ungkapan dan gaya bahasa
al-Quran telah ada dalam alam pikiran Muhammad sebelum dia diangkat menjadi
nabi. [61]
Sementara Iqbal melanjutkan penjelasan psikologis ini dengan menegaskan bahwa
ide dan kata merupakan suatu entitas organik yang lahir dalam pikiran Nabi
secara serempak. Tetapi, karena asal mula dari kompleksitas perasaan-ide-kata
itu terletak diluar kontrol Nabi dan merupakan fiil kreatif, maka ia harus
dipandang sebagai wahyu dari suatu sumber yang berada di luar diri Nabi. [62]
Namun, penjelasan psikologis yang diajukan
Iqbal di atas menimbulkan persoalan baru, yakni: wahyu al-Quran dengan demikian
tidak ada bedanya dengan bentuk-bentuk kognisi manusia, termasuk mistik.
Persoalan ini kemudian ditangani Fazlur Rahman dalam karya klasiknya, Islam.
Kutipan in extenso berikut menampilkan upaya pembedaan wahyu al-Quran
dari berbagai bentuk pengetahuan kreatif manusia lainnya:
…Elan dasar al-Quran adalah moral, darinya
mengalir penekanan yang tegas terhadap monoteisme maupun keadilan sosial. Hukum
Moral adalah abadi: ia merupakan “Perintah” Tuhan. Manusia tidak dapat
menciptakan atau meniadakan Hukum Moral itu: ia harus menyerahkan diri
kepadanya. Penyerahan diri ini disebut islâm
dan pengejawantahannya dalam kehidupan disebut ‘ibadah atau “pengabdian
kepada Tuhan.” Disebabkan penekanan al-Quran yang tegas terhadap Hukum Moral
inilah sehingga Tuhan al-Quran tampak bagi kebanyakan orang sebagai Tuhan yang
maha adil. Tetapi Hukum Moral dan nilai-nilai spiritual, agar bisa
dilaksanakan, harus diketahui. Adapun dalam hal kekuatan persepsi kognitif,
manusia memiliki perbedaan yang tegas antara satu dengan lainnya hingga ke
taraf yang tidak terbatas. Lebih jauh, persepsi moral dan keagamaan juga sangat
berbeda dari semata-mata persepsi intelektual, karena suatu kualitas
hakiki dari yang pertama (yakni persepsi moral dan keagamaan – pen.) adalah
bahwa bersama-sama dengan persepsi ia membawa suatu rasa “daya tarik” (gravity)
yang istimewa serta menjadikan subyeknya terjelma secara bermakna. Persepsi,
juga persepsi moral, dengan demikian memiliki tingkatan-tingkatan. Variasinya
tidak hanya antara individu-individu yang berbeda, tetapi kehidupan batin
seorang individu juga bervariasi dari waktu ke waktu menurut sudut pandang
ini….
Nah, nabi adalah seseorang yang keseluruhan karakter,
keseluruhan perilaku aktualnya, rata-rata jauh lebih unggul ketimbang manusia
pada umumnya. Ia merupakan seseorang yang ab initio tidak sabar terhadap
manusia dan bahkan terhadap sebagian besar ideal mereka, serta berkehendak
menciptakan kembali sejarah. Karena itu, ortodoksi Islam mengambil kesimpulan
yang secara logis adalah benar bahwa nabi-nabi harus dipandang kebal dari
kesalahan-kesalahan yang serius (doktrin ‘ismah); Muhammad adalah
manusia semacam itu, yang pada faktanya merupakan satu-satunya manusia seperti
itu yang dikenal sejarah…. Tetapi dengan seluruh keistimewaan ini, terdapat
saat-saat di mana ia – sebagaimana biasanya – “melampaui dirinya sendiri” dan
persepsi moral kognitifnya menjadi sedemikian akut dan tajam hingga
kesadarannya menjadi identik dengan Hukum Moral itu sendiri. “Demikianlah, Kami
benar-benar memberi ilham kepadamu dengan suatu Ruh dari Perintah Kami: Kamu
tidak mengetahui apa al-Kitab itu. Tetapi Kami telah jadikan ia suatu cahaya”
(42:52). Tetapi Hukum Moral dan nilai-nilai religius merupakan Perintah Tuhan,
dan meskipun keduanya sama sekali tidak identik dengan Tuhan, namun keduanya
merupakan bagian dari-Nya. Dengan demikian al-Quran itu betul-betul murni
Ilahi…. Ketika persepsi moral Muhammad mencapai titik tertinggi dan menjadi
identik dengan Hukum Moral itu sendiri (sesungguhnya dalam saat-saat semacam
ini perilakunya sendiri berada di bawah kritisisme al-Quran), maka kata-kata
diberikan bersama inspirasi itu sendiri. Dengan demikian al-Quran adalah murni
Kalam Ilahi; tetapi, tentu saja, secara berbarengan berhubungan erat dengan
kepribadian Nabi yang kaitannya tidak dapat dibayangkan secara mekanis seperti
sebuah perekam. Kalam Ilahi itu mengalir melalui hati Nabi.[63]
Penjelasan psikologis tentang pewahyuan
al-Quran di atas mungkin merupakan salah satu penjelasan yang paling dapat
diterima oleh akal pikiran modern. Dalam psikologi analitis atau psikologi
kompleks, yang dirintis Carl Gustav Jung, fenomena wahyu atau pengalaman
kenabian bisa dijelaskan lewat konsep heuristik tentang bawah sadar. Di sini
dipandang bahwa pesan Ilahi datang kepada Nabi dari bawah sadarnya; dan ini
tentunya sejalan dengan pengalaman Nabi tentang pesan yang datang kepadanya
dari luar dirinya, karena bawah sadar berada di luar diri dalam pengertian di
luar akal yang sadar. Jadi, konsep heuristik membuka kemungkinan bahwa Tuhan
dapat bekerja melalui bawah sadar seorang nabi. Lebih jauh, bawah sadar berkait
erat dengan alam sadar dalam pengertian apa yang masuk ke dalam akal pikiran
seseorang dari bawah sadarnya diungkapkan dalam istilah-istidah pandangan
dunianya yang sadar, meski bawah sadar juga akan terlihat memiliki dinamisme
batin yang menjangkau ke depan yang darinya pemikiran baru bisa muncul. Jika
pesan al-Quran diterima akal sadar Nabi dari bawah sadarnya dalam cara semacam
itu, maka hal ini akan bisa menjelaskan mengapa pesan ilahi itu diungkapkan
dalam istilah-istilah mutakhir di kalangan orang-orang Makkah dan pandangan
dunia Arab ketika itu, serta bagaimana pesan tersebut mencerminkan inisiatif
Ilahi.
Dalam sejarah pemikiran Islam, gagasan
tentang hakikat wahyu yang diterima Nabi – apakah dalam bentuk verbal atau
sekedar ide – merupakan salah satu masalah yang telah menimbulkan kontroversi
akut dan berkepanjangan. Sebagian sarjana Muslim memandang bahwa wahyu
disampaikan hanya dalam bentuk ide saja, Nabi kemudian mengungkapkan redaksinya
dengan kata-katanya sendiri dalam bahasa Arab. Sebagian sarjana Muslim lainnya
menegaskan bahwa Allah hanya menyampaikan ide kepada Jibril, lalu Jibril
mengungkapkan gagasan wahyu tersebut ke dalam bahasa Arab yang selanjutnya
disampaikan kepada Nabi. Sementara mayoritas sarjana Muslim berpendapat bahwa
al-Quran itu diwahyukan dalam bentuk lafaz maupun maknanya.[64]
Pendapat pertama dan kedua di atas, secara
sederhana bisa dikesampingkan karena bertentangan dengan gagasan al-Quran
tentang pewahyuan verbal. Sementara pandangan ketiga, hingga taraf tertentu,
sejalan dengan penegasan al-Quran. Tetapi, pada sisi lain, pendapat ini gagal
mengaitkan kepribadian terdalam Nabi dalam proses pewahyuan. Bahkan gambaran
yang ditampilkannya tentang hubungan antara Nabi dan wahyu justeru sangat
bersifat mekanis dan eksternal – yakni wahyu datang kepada Nabi melalui telinga
dan agen wahyu itu bersifat eksternal baginya.[65]
Padahal, seperti ditunjukkan di atas, al-Quran tampaknya menekankan baik
karakter verbal wahyu itu sendiri maupun hubungan intimnya dengan kepribadian
religius Nabi.
Beberapa petunjuk bisa ditemukan di dalam
al-Quran yang menyiratkan bahwa sebagian besar pengalaman kenabian Muhammad itu
terjadi di malam hari, waktu “yang paling kuat kesannya dan paling pantas dalam
pembicaraan,” dibandingkan siang hari, ketika ia disibukkan dengan berbagai
urusan (73:1-7). Berdasarkan konteks bagian al-Quran ini dan beberapa bagian
lainnya (22:1; 76:26; 17:79; 73:20 97:1 cf. 74:1-7), dapat dipastikan bahwa
sejak awal kenabiannya Muhammad sangat sering bangun malam untuk bertahajjud,
disamping berpuasa – suatu exercise yang diakui oleh tokoh psikologi J.
Mueller mampu meningkatkan kemampuan rukyah (visionsvermoegen).[66]
Peristiwa mi‘raj, yang merupakan manifestasi pengalaman kenabian
Muhammad, disebutkan al-Quran terjadi pada malam hari (l7:1). Tentu saja,
pengalaman kenabian tersebut terjadi juga di waktu yang lain, tetapi
frekuensinya mungkin tidak sebanyak di malam hari. Berbeda dengan pandangan
ini, Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 1505) menduga bahwa bagian terbesar al-Quran
diwahyukan di siang hari.[67]
Sebagaimana nabi-nabi terdahulu, Muhammad
juga mesti menghadapi gangguan setan yang terkadang campur tangan dalam
pewahyuan: “Tidak pernah Kami utus seorang rasul atau nabi sebelummu (Muhammad)
melainkan ketika ia berpikir setan memasukkan sesuatu ke dalam pikirannya”
(22:52), tetapi Allah selalu menghapuskan apa-apa yang dimasukkan setan itu
(22:52; cf. 2:106; 16:101) dan mengukuhkan ayat-ayat-Nya (22:52 cf. 11:1; 3:7;
47:20). Oleh karena itu, di beberapa tempat di dalam al-Quran Nabi
diperintahkan untuk mencari perlindungan kepada Allah dari gangguan setan
(7:200; 41:36; 23:97; 17:53; 12: 100; 16:98). Tetapi, upaya ini terkadang tidak
membawa hasil. Kisah termasyhur tentang ayat-ayat setan yang diakui keabsahannya
oleh Muhammad ibn Jarir al-Thabari (w. 922),[68]
sekalipun dengan tegas selalu ditolak mayoritas komentator Muslim, merupakan
suatu indikasi akan campur tangan setan dalam pewahyuan. Kisah ayat-ayat setan
itu sangat cocok dengan konteks kesejarahannya, dan sejumlah bagian al-Quran
(misalnya 17:73-76; 6:57 f.; 4:113; 10:
15 f.; dll.) juga menunjukkan bahwa kejadian semacam itu sangat memungkinkan
ditinjau dari sudut pandang psikologis.
Lebih jauh, bagian-bagian al-Quran lainnya
(2:106; 13:39; 16:101; 87:6 f.) juga mengindikasikan bahwa ayat-ayat tertentu
digantikan oleh ayat-ayat lainnya, tetapi tentu saja hal ini tidaklah
menjustifikasi doktrin nasikh-mansukh yang belakangan berkembang di kalangan
sarjana Muslim. Penggantian-penggantian semacam ini merefleksikan karakteristik
hakiki pewahyuan gradual al-Quran, dan karena itu harus dipahami dalam
bentangan pewahyuan kitab suci tersebut yang secara bertahap mengungkapkan
dirinya dengan mengacu pada kondisi-kondisi sosio-kultural yang dihadapi Nabi. Lebih
jauh, al-Quran memandang bahwa bukan hal yang aneh jika seorang nabi – sebagai
manusia biasa (3:79; 14:11; 18:110; 41:6; 21:34; dll.) – tidak selalu
konsisten, karena hanya dengan demikian ia menjadi panutan atau teladan bagi
umat manusia.[69]
Jadi, dalam gambaran al-Quran, pengalaman
kenabian Muhammad adalah suatu pengalaman yang bersifat spiritual dan internal,
sekalipun dorongan-dorongan ke arah terjadinya pengalaman tersebut bisa saja
bersifat eksternal. Tetapi, gambaran semacam ini jarang ditemukan dalam koleksi
hadits-hadits. Bahkan, sebagian besar gambaran hadits yang dipandang sebagai
mekanisme pewahyuan justeru tidak berkaitan dengan wahyu al-Quran.[70]
Gambaran tentang mekanisme pewahyuan semacam ini bisa ditemukan dalam koleksi
hadits-hadits awal. Menjawab pertanyaan bagaiamana cara pewahyuan kepadanya,
Nabi mengemukakan bahwa terkadang wahyu datang kepadanya laksana gemerincing
lonceng. Sesudah hal itu berlalu, Nabi memahami wahyu yang disampaikan
kepadanya. Di lain kesempatan, malaikat menjelma sebagai seorang lelaki tampan
dan menyampaikan wahyu secara lisan kepadanya.[71]
Belakangan, ketika hadits-hadits dalam
koleksi lainnya dimasukkan ke dalam pertimbangan, mekanisme pewahyuan juga
berkembang menjadi beberapa macam. Dalam karyanya, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
al-Suyuthi, misalnya, mengemukakan
cara-cara pewahyuan sebagai berikut: (i)
wahyu datang laksana gemerincing lonceng; (ii) wahyu dihunjamkan ke
dalam hati Nabi oleh Jibril; (iii) Jibril menyampaikan wahyu dengan merupakan
diri sebagai manusia; dan (iv) wahyu disampaikan oleh Tuhan secara langsung
(tanpa perantara), baik ketika Nabi terjaga – sebagaimana dalam peristiwa
mi‘raj – ataupun dalam impian.[72]
Sarjana-sarjana Muslim modern, yang
mendapat informasi lebih banyak dari sejarah keagamaan Islam, merekam mekanisme
pewahyuan secara lebih ekstensif dan bervariasi. Hasbi Ash-Shiddieqy (w. 1975),
misalnya, setelah menegaskan bahwa Nabi telah mengalami seluruh macam tingkatan
(martabat) pewahyuan, kemudian mengutip pandangan yang menjelaskan tujuh
martabat wahyu yang dialami Nabi: (i) mimpi; (ii) wahyu dicampakkan ke dalam
hati Nabi; (iii) wahyu datang kepada Nabi laksana gemerincing lonceng; (iv)
malaikat yang menyampaikan wahyu menjelmakan dirinya dalam bentuk lelaki tampan
(Dihyah ibn Khalifah); (v) Jibril memperlihatkan dirinya dalam bentuk asli;
(vi) Tuhan berbicara kepada Nabi dari balik tabir, baik dalam keadaan terjaga
ataupun dalam impian; dan (vii) sebelum Jibril menyampaikan wahyu al-Quran,
Israfil – atau Mikail, menurut hadits
lainnya – turun membawa beberapa kalimat wahyu. Ash-Shiddieqy juga menambahkan
sejumlah keterangan lain – yakni wahyu Tuhan kepada Nabi ketika mi‘raj, firman
Tuhan langsung tanpa perantara kepada Nabi, datangnya wahyu seperti dengungan
lebah – untuk melengkapi ketujuh martabat wahyu tersebut.[73]
Gambaran yang dikemukakan ini memang telah cukup lengkap. Tetapi, kita juga
dapat menambahkan, selaras dengan keterangan Thabari, bahwa ketika menyampaikan
wahyu jibril pun pernah menjelma dalam rupa Aisyah (bi-shûrah ‘â’isyah).[74]
Terlihat jelas bahwa sebagian besar cara
penyampaian wahyu kepada Nabi yang diberitakan dalam hadits-hadits, pada
dasarnya merupakan bagian dari upaya untuk menjelaskan bagian-bagian tertentu
al-Quran yang bertalian dengan mekanisme pewahyuan. Sejak masa yang awal, kaum
Muslimin terlihat telah berselisih pendapat tentang masalah apakah Nabi pernah
melihat Tuhan dan menerima langsung – tanpa perantara – wahyu dari-Nya atau
tidak. Aisyah, salah satu istri Nabi, misalnya, dengan tegas menyangkali kemungkinan
semacam itu.[75]
Sekalipun demikian, sudut pandang yang mengkonfirmasi kemungkinan Muhammad
melihat Tuhan dan menerima wahyu secara langsung dari-Nya tetap bertahan di
dalam hadits-hadits. Sebagian lagi berupaya melunakkan sudut pandang terakhir
ini dengan menegaskan bahwa Nabi telah melihat Tuhan dengan hatinya (bi-qalbihi
atau bi-fu’adihi).[76]
Tetapi, dari sudut pandang al-Quran yang ketat, seperti telah dikemukakan di
atas, kemungkinan ru’yatu-llâh ataupun
pewahyuan langsung dari Tuhan adalah negatif.
Demikian pula, gagasan-gagasan yang
dibangun tentang mekanisme wahyu berdasarkan
sejumlah hadits yang
menggambarkan wahyu datang “melalui mata atau telinga”, dapat dikatakan bertentangan
secara diametral dengan gagasan al-Quran yang menekankan proses pewahyuan
internal. Fazlur Rahman menilai hadits-hadits semacam ini sebagai “fiksi-fiksi
belakangan” dan pada umumnya baru diakui serta diterima jauh belakangan, atau
direkayasa ketika ajaran-ajaran dogmatis Islam tengah dalam proses pembentukan.[77]
Serangkaian gejala fisik yang menyertai
pengalaman kenabian Muhammad, sebagaimana disaksikan sahabat-sahabat-nya, juga
banyak diungkapkan dalam hadits-hadits. Gejala-gejala tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut: (i) keringat terlihat mengucur di dahi Nabi ketika
menerima wahyu, bahkan pada hari yang bertemperatur dingin; (ii) Nabi menutup
kepalanya, kulitnya bersemu merah, mendengkur seperti tertidur, atau
bergemeletuk seperti unta muda, dan setelah beberapa saat ia pulih dari keadaan
tersebut; (iii) wajah Nabi memucat kelabu; (iv) Nabi berada dalam keadaan tidak
sadar diri (subath); (v) paha Zayd ibn Tsabit yang tertimpa paha Nabi
ketika datangnya wahyu terasa dibebani beban yang berat sehingga seakan-akan
hendak patah, demikian pula unta yang ditumpangi Nabi ketika datangnya wahyu
terlihat tidak dapat menahan bebannya, sehingga Nabi harus turun dari
punggungnya; dan lain-lain.[78]
Gejala-gejala fisik yang dialami Muhammad
dalam momen-momen kenabiannya itu telah menimbulkan sejumlah spekulasi di
kalangan sarjana Barat. Pada abad pertengahan, gejala-gejala fisik tersebut
biasanya dikaitkan dengan penyakit epilepsi;[79]
dan teori tentang penyakit ayan ini belakangan diperluas para sarjana Barat
modern. Gustav Weil merupakan sarjana Barat modern pertama yang berupaya membuktikan
secara ilmiah bahwa Nabi menderita sejenis epilepsi.[80]
Teori ini kemudian dielaborasi oleh Aloys Sprenger dengan menambahkan bahwa
Nabi juga menderita histeria.[81]
Namun, dalam karya monumentalnya tentang sejarah al-Quran, Geschichte des
Qorans,[82] Theodor
Noeldeke secara keras menolak dugaan atau teori bahwa Muhammad menderita
epilepsi. Ia bahkan menegaskan realitas inspirasi kenabian Muhammad. Sekalipun
demikian, Noeldeke masih mengemukakan anggapan bahwa Nabi mengalami gangguan
emosi yang tidak terkendali, yang membuatnya yakin bahwa ia berada di bawah
pengaruh Ilahi.[83]
Teori-teori fantastik para sarjana Barat
tentang gejala-gejala fisik yang menyertai pengalaman kenabian Muhammad,
sebagaimana dikemukakan di atas, tentu saja mendapat tanggapan balik yang keras
dari sarjana-sarjana Muslim modern. Fazlur Rahman, misalnya, mengemukakan:
Bila diteliti secara saksama, teori tentang penyakit
epilepsi (ayan) itu menghadapi sanggahan yang – menurut kami – akan
memporak-porandakannya. Pertama, kondisi ini baru timbul ketika Muhammad
memulai karir kenabiannya pada usia sekitar empat puluh tahun; tidak ada jejak
ayan itu dalam kehidupannya yang awal. Kedua, hadits menjelaskan bahwa
kondisi tersebut hanya terjadi berbarengan dengan pengalaman penerimaan wahyu
dan tidak pernah terjadi secara terpisah. Sungguh, ini merupakan suatu jenis
penyakit ayan yang aneh, yang selalu kambuh di saat turunnya
prinsip-prinsip hidayah bagi suatu gerakan yang sedemikian kuat dan kreatifnya
seperti gerakan Nabi, dan tidak pernah kambuh di waktu lain. Tentu saja Kami
tidak menolak kemungkinan seseorang diserang epilepsi dan secara berbarengan
diberkahi dengan pengalaman-pengalaman spiritual; tetapi masalahnya adalah
gangguan epilepsi paling tidak sesekali harus bisa terjadi secara terpisah
dari pengalaman spiritual, sekalipun pengalaman spiritual itu tidak bisa
terjadi tanpa gangguan penyakit ayan. Terakhir, hampir tidak bisa
dipercaya bahwa suatu penyakit yang jelas terlihat seperti penyakit ayan ini
tidak mampu diidentifikasi secara jelas
dan pasti oleh masyarakat yang berpengalaman
seperti masyarakat Makkah atau Madinah.[84]
Sekalipun sanggahan Rahman di atas
diungkapkan dengan gaya yang sangat apologetik, tiga alasan yang dikemukakannya
untuk menolak fantasi-fantasi liar yang berkembang di kalangan sarjana Barat
mengenai serangkaian gejala fisik yang menyertai momen-momen kenabian Muhammad
adalah alasan-alasan yang logis dan dijustifikasi oleh kenyataan historis.
Bahkan, keberatan terhadap teori-teori imajinatif Barat juga telah muncul di
kalangan sarjana Barat sendiri. Merevisi pandangan-pandangan negatif terhadap
Nabi yang diajukan para pendahulunya – Weil, Sprenger, Noeldeke, dan lainnya –
W. M. Watt menegaskan bahwa para sarjana tersebut terlalu memusatkan
perhatiannya pada hadits-hadits tertentu ketimbang pada al-Quran. Selanjutnya
ia mengemukakan:
“Terlalu sedikit perhatian
yang dicurahkan pada kenyataan bahwa Muhammad … adalah seorang yang sehat
jasmani dan rohaninya ditinjau dari berbagai segi. Adalah tidak masuk akal jika
seorang penderita epilepsi atau histeria, atau bahkan gangguan emosi yang tidak
terkendali, dapat menjadi pemimpin ekspedisi-ekspedisi militer yang aktif, atau
pemandu yang kalem dan berpandangan luas dari suatu negara-kota serta suatu
masyarakat keagamaan yang sedang tumbuh dan berkembang …. Dalam masalah-masalah
semacam ini, prinsip yang semestinya dipegang sejarawan adalah bertumpu
terutama pada data al-Quran dan hanya menerima hadits sepanjang selaras dengan
hasil kajian terhadap al-Quran. Walaupun demikian, al-Quran … tidak menyebut
sesuatupun yang mendukung keyakinan tentang sejumlah penyakit yang diderita
Muhammad.”[85]
Lebih jauh, Watt menuduh bahwa
pandangan-pandangan pendahulunya itu merupakan pengungkapan kembali mitos-mitos
abad pertengahan. Pada titik ini ia memberi nasehat kepada rekan-rekan Baratnya
bahwa “konsepsi-konsepsi abad pertengahan itu sudah semestinya dikesampingkan,”[86]
dan selanjutnya menganjurkan kepada mereka bahwa “Muhammad harus dipandang
sebagai seorang yang tulus serta telah mengemukakan secara jujur pesan-pesan
yang diyakininya berasal dari Tuhan.”[87]
Anjuran
Watt di atas sudah semestinya ditanggapi secara positif dan serius oleh
rekan-rekan Baratnya; kalau tidak, maka orientalisme tentunya akan tetap berada
dalam status quo, dan usaha untuk membangun basis dialog antar agama –
yang menjadi ciri abad ini dan secara gigih dikampanyekan kalangan tertentu
orientalis – tentunya akan merupakan upaya yang sia-sia tanpa adanya pengakuan
yang mendasar dan tulus atas realitas inspirasi Ilahi yang diterima Muhammad.
[1] Untuk berbagai istilah linguistik yang digunakan
dalam tulisan ini, lihat Muhammad Ali al-Khuli, A Dictionary of Theoretical
Linguistics, (Beirut: Librairie du Liban, 1982).
[2] Lihat Muhammad Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
(Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, tt.), i, p. 278; Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
(Dar al-Fikr, tt.), i, p. 87; Noeldeke, et.al., Geschichte, i, pp. 31 f. catatan no.
6.
[3] Dengan demikian, besar kemungkinannya bahwa Nabi
sendiri membaca terma ini sebagai qurân,
mengingat asal-usul etnisnya.
[4] Noeldeke, et.al., Geschichte, i, pp. 33 f.; SEI,
p. 1063; The Encyclopaedia of Islam, 2nd Ed., (EI2),
(Leiden: E.J. Brill, 1960- ), v, p. 400; Watt, Bell’s Introduction, pp. 136 f.; dll.
[5] Cf. Subhi al-Shalih, Mabâhits
fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut - Libanon: Dar
al-‘ilm li-l-malâyîn, 1988), p. 20.
[6] Dalam 96:1,3, terdapat dua kali perintah membaca yang
ditujukan kepada Muhammad, akan tetapi kaitannya dengan al-Quran tidak dapat
dipastikan.
[7] Lihat juga
10:15 f.; 12:3; 72:1; dll.
[8] Lihat misalnya 17:106; 20:2; 76:23; 25:32; dll.
[9] Lihat 43:2-4; 12:1 f.; 41:2 f.; 56:77-80; 85:21 f.
[10] Lihat 27:92 cf. 16:98; 17:45; 7:204; 84:21; 73:20.
[11] Asal-usul kata sûrah diperdebatkan di kalangan
sarjana Barat, sekalipun terdapat kesepahaman bahwa kata tersebut tidak berasal
dari bahasa Arab. Noeldeke memandangnya berasal dari bahasa Ibrani, syûra
(“jajaran,” “deretan”); sementara Bell menganggapnya berasal dari bahasa
Suryani (Siriak), surthâ atau shurtâ, sûrtâ, “tulisan,” “teks kitab suci” atau “kitab suci”. Lihat
Noeldeke, et.al., Geschichte, i, p. 30 f.; Bell, Origin,
p. 52; Lihat juga Horovitz, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran,
(Hildesheim: Georg Olms, 1964), p. 211 f.; Arthur Jeffery, The Foreign
Vocabulary of the Qur’an, (Baroda: Oriental Institute, 1938), pp. 180-182.
[12] Dalam ‘ulûm al-Qur’ân
ada suatu pokok bahasan tentang i‘jâz
al-Qur’ân. Namun dalam kebanyakan kasus,
penekanan “keunikan” al-Quran ini lebih dititikberatkan pada kualitas bahasa,
bukan pada kandungannya.
[13] Lihat Bukhari, Shahîh, (Maktabah
Dahlan: tt.), Kitâb al-Tafsîr, surat 9 pada bagian akhir.
[14] Ibid. surat 2:18 f.
[15] Lihat Suyuthi, Itqân,
i, pp. 44.
[16] Abu al-Ma‘ali Uzaizi ibn Abd al-Malik mengemukakan
sejumlah 55 nama untuk al-Quran. Lihat Suyuthi, Itqân,
i, p. 51.
[17] Makna semacam ini juga terlihat pada gelar al-farûq
yang dianugerahkan orang-orang Kristen berbahasa Siria kepada Umar ibn
Khaththab. Kata ini tentunya tidak mungkin terambil dari akar kata faraqa (“memisahkan,”
“diskriminasi,” atau “membedakan”), tetapi dari kata bahasa Suryani, pârôqâ, yang bermakna “pembebas,” “penyelamat” atau
“penolong”, karena Umar telah menyelamatkan orang-orang tersebut dari tirani.
Lihat A.A.A. Fyzee, A Modern Approach to Islam, (London: Asia Pub.
House, 1963), p. 98.
[18] Cf. Watt, Medina, p. 12.
[19] Makna semacam ini merupakan makna awal kata majnûn.
Tetapi sejak abad ke-7 kata ini telah dipahami bermakna “gila”, seperti dalam
pemahaman sekarang. Lihat Watt, Bell’s Introduction, p. 78.
[20] Cf. Ibid., p. 77; Rahman, Major Themes,
pp. 93-94, lihat juga, SEI, art. “kâhin,”
“sihr,” pp. 206-208,545-547.
[21] Tidak ada aransemen kronologi al-Quran yang bisa
dijadikan sandaran untuk sekuensi ayat-ayat tantangan ini. Kronologi Mesir,
misalnya, menempatkan keseluruhan ayat ini dalam periode pewahyuan Makkiyah.
52:34, ditempatkan pada urutan ke-55, 10:38 pada urutan ke-51, 11:13 pada
urutan ke-52, dan 28:49 pada urutan ke 49. Sementara Aransemen Noeldeke
menempatkan keseluruhan ayat tersebut pada periode Makkah akhir, tetapi dengan
sekuensi yang lebih berbeda lagi. Sekuensi kronologis ayat-ayat tantangan ini
terlihat lebih logis dalam uraian di atas.
[22] Lihat Misalnya Mana‘ al-Qaththan, Mabâhits fî ‘Ulum al-Qur’ân,
(Mansyurat al-‘Ashr al-hadits, tt.), p.259; dll.
[23] Lihat Paret, Konkordanz, komentar untuk 6:105,
p. 149.
[24] Uraian yang lebih rinci tentang gagasan abad
pertengahan Barat mengenai asal-usul al-Quran atau mengenai Islam pada umumnya
bisa disimak dalam N. Daniel, Islam and the West: The Making of an Image
(Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1962), passim; Lihat juga R.W.
Southern, Western Views of Islam in
the Middle Ages, (Cambridge, Massachuset: Harvard Univ. Press, 1962), passim;
Hartmut Bobzin, “A Treasury of Heresies,” The Qur’an as Text, pp.157-175; dll.
[25] Karya ini terbit pertama kali di Bonn pada 1833,
dicetak-ulang di Leipzig pada 1902 dan 1969.
[26] Lihat Noeldeke,et.al., Geschichte, i, p. 6.
[27] Karya Katsch bermula dari disertasi yang ditulisnya
pada 1943. Edisi yang digunakan di sini adalah
terbitan New York: A.S. Barnes
and Co., 1962.
[28] J. Wansbrough, Quranic Studies; Sources and
Methods of Scriptural Interpretation, (Oxford: Oxford Univ. Press, 1977);
lihat juga Taufik Adnan Amal, “Al-Quran di Mata Barat: Kajian Baru John
Wansbrough,” Ulumul Quran, vol. 1, No. 4, (1990), pp. 37-46. Lihat juga
pp. ... di bawah.
[29] Watt, Mecca,
pp. 1-29; H.A.R. Gibb, “Pre-Islamic Monotheism in Arabia,” Harvard
Theological Review, vol. 55, (1962), pp. 269-280.
[30] Lihat pp. … di atas.
[31] Watt, Bell’s Introduction, pp. 184 f.
[32] Lihat Pengantar Rosenthal untuk cetakan-ulang karya
C.C. Torey, Jewish Foundation, p.
xvii.
[33] Ibid., p. v-xxiii. Lihat juga A. Jeffery, “The
Qur’an as Scripture,” The Muslim World, vol. 40, (1950), p. 157, untuk
pandangan senada.
[34] Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam,
(London: George Allen & Unwin, 1975), p. 43.
[35] Dalam teologi tradisional Islam, istilah wahyu
biasanya dibedakan dari ilham, kasysyaf, fihrasat, dan lainnya. Wahyu merupakan
bentuk komunikasi ilahi dengan para nabi, sementara istilah lainnya menunjuk
kepada bentuk komunikasi ilahi dengan makhluk yang non-nabi.
[36] Tentang kitâb
sebagai kandungan wahyu, lihat juga 31:1 ff.; 27:1f.; 7:52; 42:52; dll.
[37] Watt, Bell’s Introduction, p. 21.
[38] Lihat misalnya Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab,
(Dar al-Mishriyah, tt.), s.v.
[39] Lihat misalnya Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari,
al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa ‘uyûn al-aqâwîl wujûh al-ta’wîl, (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1966),
surat 42:51.
[40] Lihat lebih jauh al-Qaththan, Mâbahits, pp. 37 f.
[41] Watt, Bell’s Introduction, p. 23.
[42] Lihat lebih jauh, Taufik Adnan Amal & Samsu Rizal
Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual,
(Bandung: Mizan, 1989), pp. 45-48, tentang perkembangan konsep malaikat utusan
Tuhan bagi para nabi.
[43] Perkembangan senada bahkan terjadi dalam gagasan
al-Quran tentang Tuhan. Lihat, ibid., pp. 52-56.
[44] Lihat lebih jauh al-Baqi, Mu’jam, entri
“r-w-h.” Frekuensi pemunculan
identifikasi ini paling banyak di dalam al-Quran.
[45] Lihat 3:39,42; cf. 19:17 untuk kisah senada, tetapi
disini diidentifikasi sebagai rûh yang menjelma dalam rupa manusia (basyar
sawiy)
[46] Lihat 81:19; 69:40; dalam 42:51 diidentifikasi
sebagai rasûl.
[47] Rahman, Major Themes, pp. 95 f.
[48] Ibid., p. 97.
[49] Cf. 97:4, yang menyebutkan malaikat-malaikat dan Ruh
turun di malam al-qadr.
[50] Lihat misalnya Rahman, MajorThemes, pp. 98,104
cf. Paret, Konkordanz, p. 25. untuk 2:109, yang menafsirkan amr sebagai
sejenis hipostase kosmologis dalam pengertian logos atau memra.
[51] Lihat A.J. Wensinck, Concordance et indices de la
tradition musulmane, 8 vols., (Leiden: E.J. Brill, 1933-88), q.v.
[52] Ibid., q.v.
[53] Lihat Rahman, Major Themes, p. 97; lihat juga
artikel F. Rahman, “Devine Revelation and the Prophet,” Hamdard Islamicus,
vol. 1 (1978), p. 67.
[54] Perbedaan penghitungan masa pewahyuan al-Quran ini
disebabkan perbedaan penetapan lamanya Nabi tinggal di Makkah setelah diangkat
menjadi rasul. Sebagian menghitung 10 tahun, sebagian 13 tahun, dan sebagian
lagi 15 tahun. Sementara tentang lamanya Nabi bermukim di Madinah, disepakati
bahwa ia berdiam di sana selama 10 tahun.
[55] Lihat Abu Thahir ibn Ya‘qub al-Firuzabadi, Tanwîr
al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs,
(Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, tt.), p.
86.
[56] Zarkasyi, Burhân,
i, p. 228.
[57] Zarkasyi, ibid. Lihat juga Suyuthi, Itqân, i, p. 41.
[58] Lihat juga 76:23 yang senada dengan ini.
[59] Sebagian mufassir menafsirkan masjid al-aqshâ sebagai tempat
peribadatan yang terletak di Yerusalem, berdasarkan sejumlah hadits (Lihat Wensinck, Concordance,
q.v). Tetapi keterangan semacam ini bukan satu-satunya yang ditemukan
dalam koleksi-koleksi hadits tentang mi‘raj. Hadits-hadits lainnya memberi
keterangan bahwa perjalanan spiritual Nabi tersebut bermula dari Makkah, tanpa
menyebut perjalanan ke Yerusalem [Lihat misalnya Bukhari,Shahîh,
Kitâb al-Shalât,
bâb kayfa furidlat al-shalât ...; Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarir al-Thabari,
Jâmi‘ al-Bayân
‘an Ta’wîl أy al-Qur’ân,
eds. Mahmud Muhammad Syakir & Ahmad Muhammad Syakir, (Kairo:Dar
al-Ma‘arif, 1966), surat 15:3; dll.]. Di
sisi lain terdapat suatu masalah rumit di sini: Bagaimana mungkin suatu tempat
peribadatan di Yerusalem diidentifikasi sebagai masjid al-aqshâ, sementara di
lain tempat di dalam al-Quran (30:3) Yerusalem (Palestina) diidentifikasi
sebagai adnâ al-ardl (negeri terdekat)? Lebih jauh, Thabari
tampaknya tidak memasukkan versi hadits tentang perjelanan Nabi ke Yerusalem,
tetapi menuturkan perjalanan spiritual Nabi ke langit dunia tanpa menyinggung
Yerusalem (Lihat Thabari, Tarikh, i, 1157 ff.). Barangkali ini merupakan
indikasi penolakan sejarawan agung tersebut terhadap versi perjalanan ke
Yerusalem. Ungkapan masjid al-aqshâ ini
barangkali merujuk kepada tempat ibadat para malaikat di langit (cf.
7:206; 21:l9f; 41:38; 39:75; 40:7; 42:5; 2:30; dll.).
[60] Rahman, Islam, pp. 30-32, “Divine Revelation,”
p. 66 ff.
[61] Lihat Rahman, “Divine Revelation”, ibid., p. 67.
[62] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of
Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), pp. 20 ff.
[63] Fazlur Rahman, Islam, 2nd edition,
(Chicago & London: The Univ. of Chicago Press, 1979), p. 32-33; lihat juga
karyanya, Major Themes, pp.
96-100.
[64] Lihat Zarkasyi, Burhân,
i, pp. 229 f.
[65] Lihat p. … di bawah.
[66] Lihat Noeldeke, et.al., Geschichte, i, p. 26.
[67] Suyuthi, Itqân,
i, p. 21.
[68] Thabari, Târîkh,
ii, pp. 419 ff; Tafsîr, surat 53:19 ff.
[69] F. Rahman, MajorThemes, p. 89.
[70] Cf. Suyuthi, Itqân,
i, pp. 45 ff.
[71] Lihat misalnya Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj
al-Qusyairi al-Naysaburi, Shahîh , Kitâb al-Fadlâ’il, bâb 23; Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Sawrah
al-Tirmidzi, al-Jâmi‘ al-Shahîh,
(Sunan), (Maktabah Dahlan, tt.), Manâqib, bâb mâ jâ’a kayfa kâna
yanzilu al-wahy ‘alâ al-nabî s.aw.; dll.
[72] Suyuthi, Itqân,
i, pp. 45 f.
[73] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu al-Quran/ Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), pp. 33 f.
[74] Thabari, Târîkh,
i, 1262.
[75] Lihat Bukhari, Shahîh , Kitâb al-Tafsir, surat 53, Tirmidzi, Sunan,
abwâb al-tafsîr, surat 53; dll.
[76] Bukhari, Ibid., Kitâb
al-Tafsîr, surat 53:11, Tirmidzi,
ibid., abwâb al-Tafsîr, surat 53:11.
[77] Rahman, Islam, pp. 13-14, 31-32; juga Major
Themes, p. 97.
[78] Tentang berbagai hadits dalam kumpulan-kumpulan hadits
termasyhur di kalangan kaum Muslimin – yakni Kutub al-Sittah – tentang
gejala fisik yang menyertai pengalaman kenabian Muhammad ini, telusuri lebih
jauh dalam A.J. Wensinck, A Handbook
of Early Muhammadan Tradition, (Leiden: E.J. Brill, 1927), pp. 162 f.
[79] Lihat Daniel, Islam and The West , pp. 27-28, passim.
[80] Lihat Noeldeke, et.al., Geschichte, i,
p. 24.
[81] Lihat Watt, Bell’s Introduction, p. 17.
[82] Karya Noeldeke, Geschichte des Qorans, terbit
pertama kali di Goettingen pada 1860.
[83] Ibid., p. 17; cf. Noeldeke, et.al., Geschichte,
i, pp. 1-5.
[84] Rahman, Islam, p. 13.
[85] Watt, Bell’s Introduction, p. 18.
[86] Ibid.
[87] Ibid.
Komentar
Posting Komentar