Langsung ke konten utama

Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an Bag. 2

BAB 2
Asal-Usul al-Quran
oleh Taufiq Adnan Amal

Derivasi dan Sinonim
Kitab suci kaum Muslimin, yang berisi kumpulan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih 23 tahun, secara populer dirujuk dengan nama “al-Qur’ân” ( وeٹشغa ). Sebagian besar sarjana Muslim memandang nama tersebut secara sederhana merupakan kata benda bentukan (mashdar) dari kata kerja (fi‘l) qara’a ( cٹس ), “membaca,” dan dengan demikian al-qur’ân (وcٹشغa ) bermakna “bacaan” atau “yang dibaca” (maqru’). [1]  Dalam manuskrip al-Quran beraksara kufi yang awal, kata ini ditulis tanpa menggunakan hamzah – yakni al-qurân – dan hal ini telah menyebabkan sejumlah kecil sarjana Muslim memandang bahwa terma itu diturunkan dari akar kata qarana ( وٹس ), “menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain” atau “mengumpulkan.” Dengan demikian, al-qurân ( وaٹشغa ) berarti “kumpulan” atau “gabungan.”[2] Tetapi, pandangan minoritas ini harus diberi catatan bahwa penghilangan hamzah merupakan suatu karakteristik dialek Makkah atau Hijazi,[3] dan karakteristik tulisan al-Quran dalam aksara kufi yang awal. Di samping itu, sebagaimana akan ditunjukkan di bawah, terma qur’ân bertalian erat dengan akar kata qara’a dalam penggunaan al-Quran sendiri.
Para sarjana Barat yang belakangan pada umumnya menerima pandangan Friedrich Schwally bahwa kata qur’ân merupakan derivasi (isytiqâq) dari bahasa Siria atau Ibrani: qeryânâ, qiryâ (“lectio,” “bacaan” atau “yang dibaca”), yang digunakan dalam liturgi Kristen. [4] Kemungkinan terjadinya pinjaman dari bahasa Semit lainnya dalam kasus ini bisa saja dibenarkan, mengingat kontak-kontak yang dilakukan orang-orang Arab dengan dunia di luarnya.[5] Lewat kontak-kontak semacam itu, berbagai kata non-Arab telah dimasukkan ke dalam bahasa Arab atau “diarabkan.” Tetapi, sebagaimana akan ditunjukan di bawah, terma qur’ân – dalam kaitannya dengan kitab suci kaum Muslimin – pada prinsipnya berasal dari penggunaan al-Quran sendiri yang didasarkan pada bentuk mashdar fu‘lân dari akar kata qara’a.
Kata kerja qara’a ( cٹس ) dan berbagai bentuk konjugasinya (tashrîf) muncul 17 kali di dalam al-Quran. Kata kerja ini, dengan rujukan kepada pembacaan wahyu (al-Quran) oleh Muhammad, muncul dalam beberapa kesempatan (16:98; 17:45,106 cf. 7:204; 84:21).[6] Tetapi, dalam konteks lainnya (75:18; 87:6), disebutkan bahwa Tuhanlah yang membacakan wahyu kepada Muhammad. Dalam 73:20, terdapat dua kali perintah membacakan bagian-bagian termudah al-Quran, yang ditujukan kepada pengikut-pengikut Muhammad ketika itu. Sementara dalam 26:198 f., dikatakan bahwa jika al-Quran diturunkan kepada seorang non-Arab (a‘jam) lalu ia bacakan kepada orang-orang kafir (Makkah), maka orang-orang tersebut tidak akan mempercayainya. Jadi, dalam keseluruhan konteks yang telah dikemukakan, bisa dilihat pertalian erat antara akar kata qara’a dengan al-Quran, yang membuktikan bahwa terma al-qur’ân memang diturunkan dari akar kata tersebut.
Kemunculan kata kerja qara’a – dengan makna “membaca” – dalam konteks-konteks al-Quran lainnya tidak dikaitkan dengan qur’ân, tetapi dengan kitâb. Dalam 17:93, Muhammad ditantang orang-orang kafir untuk mendatangkan dari “langit” sebuah kitab yang dapat mereka “baca” sebagai bukti kerasulannya. Dalam tiga bagian al-Quran lainnya (17:14,71; dan 69:19), kata kerja tersebut dikaitkan dengan “pembacaan” kitab rekaman perbuatan manusia di Hari Penghabisan. Konteks terakhir (10: 94) merujuk kepada orang-orang tertentu yang sezaman dengan Nabi – barangkali menunjuk kepada orang-orang Yahudi dan Kristen – sebagai “orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu.” Jadi, dalam konteks apapun,  kata kerja qara’a digunakan al-Quran dalam pengertian “membaca,” baik dikaitkan dengan qur’ân ataupun kitâb.
Kata qur’ân, baik dengan atau tanpa kata sandang tertentu (’adât al-ta‘rîf, yakni al-), muncul sekitar 70 kali di dalam al-Quran dengan pengertian yang beragam. Dalam 75:17-18, kata ini digunakan untuk merujuk wahyu-wahyu individual yang disampaikan satu-per-satu kepada Nabi,[7] atau sebagai suatu istilah umum untuk wahyu Ilahi yang diturunkan bagian demi bagian.[8] Sementara pada sebagian konteks lainnya, al-qur’ân – terkadang tanpa artikel penentu (al) – disebut sebagai suatu versi berbahasa Arab dari al-kitâb yang ada di Luh Mahfuz.[9] Kata ini juga merujuk kepada sekumpulan wahyu Ilahi yang diperintahkan untuk dibaca.[10] Tetapi, penggunaan terma al-qur’ân yang paling dekat dengan pengertian yang dipahami dewasa ini – yakni sebagai kitab suci kaum Muslimin – terdapat di dalam suatu konteks (9:111), di mana kata ini disebut secara bergandengan dengan dua kitab suci lain  (Tawrat dan Injil) dalam suatu konstruksi (tarkîb) yang memberi kesan tentang tiga kitab suci yang paralel.
Sebagai alternatif untuk kata al-qur’ân, kitab suci kaum Muslimin juga lazim dirujuk dengan terma al-kitâb (lbnطغa ). Kata ini muncul di dalam al-Quran sebanyak 255 kali dalam bentuk tunggal dan 6 kali dalam bentuk jamak (kutub). Penggunaan kata kitâb yang paling sering di dalam al-Quran adalah dalam kaitannya dengan wahyu Tuhan kepada para nabi.  Jadi, kepada para nabi sebelum Muhammad telah diturunkan kitâb (2:213; 3:81; dll.). Kitâb telah diturunkan Tuhan kepada anak keturunan Nuh dan Ibrahim (57:26; 4:54; 6:84-89; 29:27), kepada Bani Israel (40:53; 45:16; dll.), kepada Musa (2:53,87; 6:154; 11:110; 41:45; 17:2; 23:49; 25:35; 37:117; 28:43; 32:23; dll.), kepada Yahya (19:12) dan kepada Isa (3:48; 5:110; dll.). Sementara kepada Muhammad sendiri juga diturunkan kitâb yang mengkonfirmasi kitab-kitab wahyu sebelumnya (3:43; 2:89; 3:7; 4:105; 5:48; 6:92; 16:64; 46:12,30; dll.).
Makna khusus yang baru dikemukakan ini – yakni sebagai wahyu Tuhan yang diturunkan kepada para nabi – mesti dipisahkan dari makna kata kitâb lainnya yang digunakan di dalam al-Quran. Kata ini secara sederhana bisa berarti “sesuatu yang tertulis” atau “sepucuk surat” (24:33; 27:28 f.). Dalam kaitannya dengan Hari Akhirat, kata kitâb bisa bermakna “rekaman tertulis” perbuatan manusia (17:71; 69:19-25; 84:7,10; 18:49; 39:69; dll.) yang dipegang malaikat pengawas manusia (82:10-12), dan akan dibentangkan terbuka di Hari Penghisaban (81:10). Kata kitâb juga secara khusus dikaitkan dengan pengetahuan Tuhan (6:38,59; 10:61; 11:6; 22:70; 27:74 f.; 34:3; dll.), atau kejadian-kejadian yang telah ditetapkan Tuhan sebelumnya (17:58; 35:11; 57:22; dll.). Orang-orang yang meninggal dikatakan menetap dalam kitâb Tuhan hingga Hari Berbangkit (30:56).
Dua istilah lain – yakni sûrah ( ٌىچ ) dan âyah ( ٍيe ) – mesti dikemukakan di sini dalam rangka melengkapkan pengenalan dan pemahaman kita mengenai asal-usul al-Quran. Kedua kata tersebut kini telah menjadi istilah-istilah teknis yang digunakan untuk merujuk bagian-bagian tertentu di dalam tubuh al-Quran. Sûrah merupakan nama yang digunakan untuk merujuk “bab” al-Quran yang seluruhnya berjumlah 114 – menurut perhitungan mushaf utsmani yang disepakati. Sementara âyah digunakan untuk merujuk bagian yang lebih kecil dari surat. Jumlah ayat sangat bervariasi di dalam ke-114 surat dan tidak terdapat kesepakatan di kalangan sarjana Muslim mengenai penghitungan jumlah keseluruhannya.
Kata sûrah muncul sembilan kali di dalam al-Quran dalam bentuk tunggal dan satu kali dalam bentuk jamak (suwar). [11] Penggunaannya di dalam al-Quran merujuk kepada suatu unit wahyu yang “diturunkan” Tuhan (9:64,86,124,127; 24:1; 47:20), bukan dalam pengertian “surat” yang dipahami dewasa ini. Secara kontekstual, penggunaan kata sûrah sebagai suatu unit wahyu memiliki kemiripan dengan beberapa penggunaan kata âyah, qur’an dan kitâb di dalam al-Quran. Musuh-musuh Nabi ditantang mendatangkan “suatu sûrah yang semisalnya” (2:23; 10:38) atau “sepuluh suwar yang semisalnya” (11:13 cf. 28:49, di mana tantangannya adalah mendatangkan suatu kitâb dari Tuhan). Jadi, terlihat bahwa makna umum kata sûrah yang bisa disimpulkan di sini adalah unit wahyu terpisah yang diturunkan  kepada Nabi dari waktu ke waktu. Tetapi, al-Quran tidak memberi indikasi apapun tentang panjang pendeknya unit wahyu tersebut.
Istilah berikutnya, âyah (jamak: âyât), muncul sekitar 400 kali dalam al-Quran, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak. Penggunaan kata ini di dalam al-Quran dapat dikelompokkan ke dalam empat konteks (siyâq). Dalam konteks pertama, kata âyah merujuk kepada fenomena kealaman – termasuk manusia – yang disebut sebagai “tanda-tanda” (âyât) kemahakuasaan dan karunia Tuhan (45:3-4; 41:37,39; 42:29,32; 2:28; 10:4; 22:66; 30:40,46; 16:14; 36:73; dll.).
Dalam konteks kedua, kata âyah diterapkan kepada peristiwa-peristiwa atau obyek-obyek luar biasa yang dikaitkan dengan tugas seorang utusan Tuhan dan cenderung mengkonfirmasi pesan ketuhanan yang dibawanya (43:46-48;  40:78;  17:59;  20:17-24; 27:12-14; 7:130-136;  7:73;  3:49; 15:73-75;  29:24; 54:15; dll.). Seirama dengan ini, oposan-oposan Nabi Muhammad juga menuntutnya mempertunjukkan suatu “tanda” (2:118; 6:37; 10:20; 13:7; 20:133; 21:5; 29:50), yang tentu saja tidak merujuk kepada “ayat-ayat” al-Quran, tetapi kepada mukjizat. Sebagaimana disebutkan dalam 40:78, penciptaan “tanda-tanda” merupakan hak privilese eksklusif Tuhan dan tidak seorang rasul pun yang diberi kekuasaan untuk menciptakannya atas kehendak pribadi. Seandainya suatu “tanda” dari jenis mukjizat ini dibawa Muhammad kepada mereka, maka mereka – seperti ditegaskan dalam 30:58 – tetap tidak akan beriman. Jadi, sehubungan dengan Muhammad, al-Quran pada faktanya menolak bahwa ia memiliki mukjizat dalam pengertian supranatural (mâ fawqa al-fithrah). Namun, dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya, beberapa keberhasilan eksternal Nabi dirujuk sebagai “tanda,” seperti janji perolehan pampasan perang yang berlimpah (48:20) dan kemenangan dalam Perang Badr (3:13). Bahkan, mayoritas sarjana Muslim memandang bahwa al-Quran itu sendiri adalah mukjizat terbesar Nabi (cf. 11:12-13; 6:33-35; dll.).[12]
Dalam konteks ketiga, kata âyah merujuk kepada “tanda-tanda” yang dibacakan oleh rasul-rasul yang diutus Tuhan (39: 71; 6:130 cf. 67:8; 40:50), atau dalam kebanyakan kasus dibacakan oleh Muhammad sendiri (31:7; 45:25; 46:7; 62:2; 65:11; dll.). Pembacaan “tanda-tanda” ini menambah keyakinan kaum beriman, tetapi para penentang Nabi mengeritiknya sebagai “dongeng-dongeng masa silam” (asâthîr al-awwalîn, 6:25; 8:31; 16:24; 23:83; 25:5; 27:68; 46:17; 68:15; 83:13) – di dalam al-Quran, terma asâthîr al-awwalîn merujuk kepada kisah pengazaban umat-umat terdahulu (misalnya 8:31 dan 68:15) dan kebangkitan kembali pada Hari Pengadilan (misalnya 23:83; 27:68; 46:17).
Dalam konteks terakhir – yakni konteks keempat – kata âyah disebut sebagai bagian al-qur’ân atau kitâb atau sûrah (10:1; 11:1; 13:1; 15:1; 24:1; 26:2; 27:1; 28:2; 31:2; dll.), yang diturunkan Tuhan (2:99,202; 3:108; 22:16; 24:34; dll.). Dengan demikian, kata âyah dalam konteks ini memiliki makna unit dasar wahyu terkecil, selaras dengan pemahaman kita dewasa ini tentangnya. Tetapi, sebagaimana dengan sûrah, al-Quran juga tidak memberi indikasi tentang panjang pendeknya unit-unit wahyu tersebut.
Jika hadits dimasukkan ke dalam pertimbangan untuk melihat panjang pendeknya unit-unit wahyu yang diterima Nabi, maka jawaban yang diperoleh sangat beragam. Terdapat berita yang mengabarkan bahwa Muhammad menerima wahyu al-Quran secara ayat per ayat atau huruf per huruf,  kecuali surat 19 dan 12 yang turun sekaligus.[13] Menurut pandangan lain, Nabi menerima satu atau dua ayat,[14] satu hingga lima ayat atau lebih, lima hingga sepuluh ayat, dan lain-lain.[15] Sekalipun tidak ada kejelasan dari al-Quran dan hadits tentang panjang pendeknya unit wahyu yang diterima Nabi, gagasan tentang unit wahyu barangkali bisa dibangun dengan mencermati konteks literer al-Quran sendiri – baik dalam bentuk peralihan akhiran rima serta peralihan gagasan dalam suatu surat – dan mengeksploitasi perbendaharaan klasik Islam, semisal riwayat-riwayat asbâb al-nuzûl dan lainnya. Langkah semacam ini tentunya akan sangat membantu dalam upaya menyusun aransemen kronologis unit-unit wahyu yang diterima Nabi. 
Istilah teknis lainnya yang digunakan di dalam al-Quran untuk merujuk wahyu yang diturunkan kepada Muhammad akan dibahas secara singkat berikut ini.[16] Terdapat tiga kata benda (ism) dari kata kerja dzakara ( ٹ× ), “mengingat” atau “menyebut,” yang digunakan untuk wahyu dalam pengertian “peringatan.” Jadi kata dzikr ( ٹ× ) terdapat antara lain dalam 7: 63,69; 12:104; 15:6,9; 16:44; 38:37; 68:52; dan 81:27. Kata dzikrâ ( ôٹ× ) ditemukan antara lain dalam 6:69,90; 11:114,120; dan 74: 31. Sementara kata tadzkirah ( ٌٹ׈m ) terdapat antara lain dalam 69:48; 73:19; dan 76:29. Sepanjang ketiga kata benda ini diterapkan kepada pesan yang diwahyukan atau suatu bagian darinya, maka penekanannya adalah pada aspek “peringatan” yang dikandungnya. Dalam beberapa bagian al-Quran, Muhammad diperintahkan untuk memberi peringatan kepada manusia (50:45; 51:55; 52:29; dll.), dan dalam 88:21 ia sendiri disebut sebagai seorang pemberi peringatan (mudzakkir).
Di sebelas  tempat di dalam al-Quran, wahyu yang diturunkan kepada Muhammad juga dirujuk sebagai tanzîl ( فيŒنm ), “yang diturunkan.” Dalam bagian awal surat-surat 32, 39, 40, 45 dan 46, kata tanzîl dikaitkan dengan kata kitâb dalam konstruksi tanzîl al-kitâb. Sementara dalam surat 41 disebutkan: “Hâ-Mîm ( لy ) suatu tanzîl dari Yang Maha Pengasih … suatu kitâb….” Dalam konstruksi semacam ini, tanzîl bisa bermakna “apa-apa yang diturunkan” atau “suatu pesan yang diwahyukan,” sebagaimana bisa dilihat dalam 26:192; 56:80; dan 69:43. Dengan demikian, jika terma ini dipandang sebagai nama alternatif untuk al-Quran atau bagiannya, maka ia memberi penekanan terhadap karakter kewahyuan al-Quran atau bagiannya.
Nama alternatif lain yang digunakan untuk al-Quran, menurut mayoritas sarjana Muslim, adalah furqân ( وbسٹد ). Para mufassir Muslim berupaya mengaitkan istilah ini dengan kata kerja faraqa, “diskriminasi, memisahkan, membedakan,” dan menjelaskannya memiliki makna teologis “pembeda antara yang hak dan batil.” Namun, makna semacam ini barangkali tidak dapat ditemukan dalam penggunaan kata furqân oleh al-Quran. Dalam sejumlah konteks di mana kata furqân dikaitkan dengan sesuatu yang diturunkan Tuhan kepada Muhammad (8:29,41; 2:185; 3:3f.; 25:1), terlihat bahwa kata tersebut sangat mungkin bermakna “pertolongan” atau “salvasi”[17] – yang bisa disinonimkan dengan nashr – mengingat signifikansi kemenangan dalam Perang Badr, yang merupakan konsteks sebagian ayat-ayat tersebut, diperoleh berkat pertolongan Tuhan. Makna semacam ini bisa diterapkan terhadap dua konteks al-Quran lainnya (2:53 dan 21:48) yang menyebutkan pemberian furqân kepada Musa. Pemberian furqân di sini mungkin merujuk kepada pertolongan Tuhan ketika menyelamatkan orang-orang Israel keluar dari Mesir.[18] Dengan demikian, sejauh furqân dipandang sebagai suatu bagian al-Quran, maka hal ini terletak pada aspeknya yang mengekspresikan signifikansi kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Badr atas pertolongan Tuhan.
Terma terakhir yang relevan disinggung di sini adalah hikmah ( ٍàطy ), “kebijaksanaan” atau sophia. Kata ini di dalam al-Quran tidak hanya diasosiasikan dengan âyah dan kitâb (2:129, 151; 3:164; 62:2), tetapi dalam 2:231 dan 4:113, misalnya, terdapat rujukan kepada penurunannya. Dalam 33:34 disebutkan bahwa âyah dan hikmah dibacakan di rumah istri-istri Nabi. Sangat mungkin bahwa hikmah merujuk kepada aturan-aturan kemasyarakatan yang diwahyukan Tuhan di dalam al-Quran, karena – mengingat pertalian eratnya dengan kata kitâb, dan derivasinya dari akar kata hakama – dalam 4:105 Muhammad diperintahkan untuk mengadili (tahkum) manusia berdasarkan kitâb yang diturunkan kepadanya. Sejumlah mufassir Muslim berupaya menafsirkan kata hikmah dengan tindakan ekstra-quranik (Sunnah) Nabi, tetapi makna semacam ini tidak cocok diterapkan terhadap 33:34 yang dirujuk di atas.
Uraian yang telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan bahwa baik dari segi derivasi (isytiqâq) ataupun sinonim (murâdif) terma al-Quran, kesemuanya menggagaskan suatu konsepsi yang padu dan kohesif tentang karakter kewahyuan al-Quran. Jadi, dalam nama alternatif apa pun yang dinisbatkan al-Quran terhadap dirinya, kesemuanya kembali kepada gagasan tentang asal-usul ilahiahnya, bahwa ia bersumber dari Allah, Tuhan semesta alam.

Tentang Sumber-sumber al-Quran
Kaum Muslimin pada umumnya meyakini bahwa al-Quran bersumber dari Allah, dan al-Quran sendiri – seperti ditunjukkan di atas – juga mengkonfirmasinya. Keyakinan tentang sumber ilahiah wahyu-wahyu yang diterima Muhammad merupakan keyakinan standar dalam sistem teologi Islam. Tanpa keyakinan semacam itu, tidak seorang pun yang dapat mengklaim dirinya sebagai Muslim, bahkan dalam suatu pengertian nominal. Tetapi, keyakinan tersebut telah mendapat tantangan serius ketika diproklamasikan pertama kali oleh al-Quran dan berlanjut hingga dewasa ini di kalangan tertentu pengamat Islam non-Muslim.
Pengakuan Muhammad bahwa ia merupakan penerima wahyu dari Tuhan semesta alam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia mendapat tantangan keras dari orang Arab yang sezaman dengannya. Al-Quran sendiri tidak menyembunyikan adanya oposisi yang serius terhadap Nabi, tetapi justeru merekam rentetan peristiwa tersebut tanpa memutarbalikkan pandangan-pandangan negatif para oposan kontemporer Nabi mengenai asal-usul genetik atau sumber wahyu yang diterimanya – termasuk ejekan dan celaan musuh-musuh Muhammad – berikut bantahan terhadap miskonsepsi mereka.
Dalam dua bagian al-Quran (52:29 dan 69:42), para penentang Nabi memandangnya sebagai kâhin (“tukang tenung”) dan wahyu-wahyu yang disampaikannya sebagai “perkataan tukang tenung.” Demikian pula, dalam beberapa bagian al-Quran (21:5; 37:36; 52:30 cf. 69:41)  ia dituduh sebagai syâ‘ir (“penyair”), atau di tempat lain (15:6; 68:51; 7:184; 37:36; 44:14; 23:70; 34:8; 51:52) sebagai majnûn (“kerasukan jin atau berada di bawah pengaruhnya”).[19] Sejumlah bagian al-Quran lainnya menginformasikan bahwa Muhammad dianggap para penentangnya sebagai sâhir (“tukang sihir,” 10:2; 38:4; 51:52) atau mashûr (“korban sihir,” 17:47; 25:8), dan wahyu-wahyu yang diterimanya sebagai sihr (“sihir,” 6:7; 11:7; 21:3; 34:43; 37:15; 43:30; 46:7; 52:15; 54:2; 74:2).
Berbagai gagasan para penentang Nabi di atas secara eksplisit mengungkapkan bahwa sumber inspirasi al-Quran berasal dari ruh-ruh jahat atau kekuatan-kekuatan setaniah, bukan dari Allah. Dalam konsepsi pagan Arab, baik tukang tenung, penyair ataupun penyihir, semuanya dibantu untuk mengetahui persoalan gaib oleh jin atau setan.[20] Terhadap konsepsi ini, al-Quran mengemukakan bahwa jin-jin telah mencapai langit yang ternyata dijaga ketat dan penuh dengan bintang-bintang penyambar, serta dari tempat tersembunyi mereka berupaya menguping “berita-berita langit.” Tetapi, setelah pengutusan  Muhammad, tak satu pun di antara mereka yang bisa berbuat demikian (72:8-9). Hal senada juga dikatakan berulangkali oleh al-Quran sehubungan dengan setan-setan yang secara sembunyi-sembunyi berusaha mencuri berita langit, tetapi dihalau dengan sambaran bintang (15:16-18; 67:5; dll.). Jadi, bagi al-Quran, berita-berita langit yang  disampaikan  Muhammad, tidaklah berasal dari inspirasi setaniah atau jin, karena sejak pengutusannya, baik jin maupun setan tidak lagi bisa mendekati “langit.”
Berbagai tuduhan yang dilayangkan para penentang al-Quran kepada Muhammad tentang sumber-sumber setaniah wahyunya – sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai konteks al-Quran di atas – pada hakekatnya dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan mereka kepada pekabaran yang didakwahkannya tentang azab Tuhan yang akan menimpa mereka, seperti tercermin dalam kisah pengazaban umat-umat terdahulu, atau akan menimpa mereka kelak di Hari Berbangkit. Dalam bab lalu telah ditunjukkan bahwa dakwah Nabi semacam ini merupakan gagasan yang nonsen bagi orang-orang pagan Arab, karena dalam weltanschauung mereka eksistensi satu-satunya yang dikenal adalah kehidupan di dunia ini, dan yang dapat membinasakannya hanyalah masa (dahr).
Selain respon tentang sumber setaniah al-Quran, dalam berbagai kesempatan kitab suci ini juga membantah tuduhan para oposan Nabi. Sebagian besar konteks ayat-ayat al-Quran yang dirujuk di atas memuat bantahan terhadap tuduhan tersebut. Dalam 69:40-43, misalnya, disebutkan: “Sungguh ia (al-Quran) merupakan perkataan rasul yang mulia, bukan perkataan penyair … dan bukan pula perkataan tukang tenung…. Suatu tanzîl dari Tuhan semesta alam.” Demikian pula, dalam 36:69 dinyatakan: “ Kami tidak mengajarkannya syair, dan (syair itu) tidak layak baginya.” Di tempat lain (7:184 cf. 81:22), al-Quran menegaskan: “Teman mereka itu (Muhammad) tidaklah kerasukan jin; ia hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas.” Tentang konsepsi al-Quran sebagai sihir, kitab suci ini mem-bantahnya: “Apakah  (pekabaran al-Quran) ini sihir atau apakah kalian buta?”(52:15). Sementara tentang sumber-sumber setaniah wahyu yang diterima Nabi, al-Quran memberi respon: “Dan ia (al-Quran) bukanlah perkataan setan yang terkutuk” (81:25), “Setan-setan tidaklah membawanya (al-Quran) turun; mereka tidak patut dan tidak kuasa berbuat demikian. Sesungguhnya mereka dihalangi untuk mendengarkannya (al-Quran)” (26:210-212). Bagi al-Quran, setan-setan justeru memberi inspirasi kepada pendusta yang banyak berbuat dosa: “Inginkah engkau Aku kabarkan kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosanya” (26:221-222). Jadi, dalam berbagai sanggahan al-Quran ini selalu ditegaskan bahwa Allah-lah yang merupakan sumber inspirasi wahyu Muhammad.
Di samping gagasan-gagasan di atas, para oposan kontemporer Nabi juga menuduhnya membuat-buat atau mengada-adakan al-Quran (10:38; 11:13; 32:3; 46:8; 25:4; 34:8,43; 21:5; 16:101). Sehubungan dengan gagasan tentang al-Quran sebagai rekayasa imajinasi kreatif Muhammad, Nabi diperintahkan menjawab: “Jika aku (Muhammad) mengada-adakannya, maka kamu tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk menghalangi aku (Muhammad) dari (azab) Allah” (46:8). Di bagian lainnya (16: 102), al-Quran merespon: “Ruh Kudus telah menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan orang-orang yang beriman dan sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” Dalam responnya yang lebih keras, kitab suci ini bahkan menantang para oposan Nabi untuk membuat perkataan (hadîts) semisal wahyu yang diterima Nabi (52:34), atau suatu surat (10:38; 2:23), atau sepuluh surat (11:13), atau suatu kitab semisal al-Quran (17:88; 28:49).[21]
Aspek tantangan (tahaddî) yang disebutkan terakhir di atas, telah dikembangkan sedemikian rupa di dalam ‘ulûm al-qur’ân untuk menopang doktrin i‘jâz al-qur’ân dari segi kualitas bahasanya. Di sini, ditekankan bahwa ketidakmampuan manusia untuk menandingi bahasa al-Quran merupakan salah satu bukti kemukjizatan kitab suci tersebut. Tetapi, lantaran penekanan yang  berlebihan terhadap doktrin ini,  ayat-ayat tantangan di atas telah dikemukakan dalam urutan kronologis pewahyuan terbalik – yakni tahapan pertama adalah tantangan mendatangkan suatu kitab semisal al-Quran (17:88; 28:49), tahapan kedua adalah tantangan mendatangkan sepuluh surat semisal al-Quran (11:13), dan tahapan ketiga adalah tantangan mendatangkan satu surat semisal al-Quran (10:38).[22]
Merupakan hal yang logis jika tantangan semacam ini diajukan selaras dengan perkembangan kuantitas wahyu yang ada di tangan Nabi dari waktu ke waktu. Jadi, ketika kepada Nabi baru diturunkan beberapa surat, oposan-oposannya ditantang untuk mendatangkan perkataan atau sebuah surat yang semisal itu. Ketika belasan surat telah diwahyukan kepada Nabi, mereka ditantang untuk mendatangkan sepuluh surat semisal itu. Dan ketika wahyu-wahyu al-Quran dalam perbendaharaan Nabi telah mengambil bentuk seperti kitâb, maka para oposan Muhammad ditantang untuk mendatangkan yang seperti itu.
Disamping gagasan tentang sumber-sumber setaniah al-Quran di atas, Para penentang Nabi juga menuduhnya memperoleh pengetahuan wahyu lewat transmisi manusiawi (6:105; 16:103; 44:14; 25:4). Pengetahuan wahyu yang diperolehnya  adalah “dongeng-dongeng masa silam” (asâthîr al-awwalîn) yang telah disalinnya dan didiktekan kepadanya tiap pagi dan petang (25:5). Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa para oposan Nabi memandangnya memperoleh inspirasi qurani dari sumber-sumber ahli kitab – yakni kaum Yahudi dan Kristen.[23] Tetapi, Al-Quran menyanggah pandangan ini dengan menegaskan bahwa Muhammad tidak pernah membaca suatu kitab suci pun dan tidak pernah pula menulisnya; karena jika seandainya terjadi demikian, para penentang Nabi akan memiliki argumen yang kuat untuk meragukannya (29:48). Demikian pula, dugaan bahwa yang telah mengajarkan al-Quran kepada Muhammad adalah orang asing (a‘jamî), ditolak dengan mengemukakan bahwa al-Quran yang diwahyukan kepada Muhammad itu dalam bahasa Arab yang jelas, yang tentunya berbeda dari tutur kata a‘jamî (16:103).  Sementara yang disebut-sebut para penentang Nabi sebagai asâthîr al-awwalîn, ditegaskan al-Quran bersumber dari Tuhan: “ Ia (asâthîr al-awwalîn) diturunkan oleh yang mengetahui rahasia langit dan bumi, (Allah) yang maha pengampun lagi maha penyayang” (25:5-6).
Salah satu bagian al-Quran yang secara ringkas mengungkapkan gagasan-gagasan para oposan Nabi sehubungan dengan sumber-sumber atau asal-usul genetik wahyu yang diterimanya, berikut respon al-Quran terhadapnya, adalah  25:4-9 berikut ini:
Orang-orang kafir (penentang Muhammad) itu berkata: “(pekabaran al-Quran) ini tidak lain hanya suatu kebohongan yang direkayasanya, dan dia tentunya dibantu oleh kaum lain.” Sungguh mereka telah berbuat zalim dan berdusta. Dan mereka berkata: “Inilah dongeng-dongeng masa silam yang telah disalinnya untuk dirinya dan didiktekan kepadanya tiap pagi dan petang.” Katakanlah (hai Muhammad): “Ia diturunkan oleh yang mengetahui rahasia langit dan bumi, (Allah) yang maha pengampun lagi maha penyayang.” Dan mereka berkata: “mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar? Mengapa tidak diturunkan malaikat kepadanya agar memberi peringatan bersamanya? Dan (mengapa) tidak diberikan kepadanya harta kekayaan atau kebun yang hasilnya dapat dia nikmati?” Dan orang-orang yang zalim itu berkata: “Kalian hanya mengikuti seorang lelaki yang terkena sihir.” Lihatlah bagaimana mereka telah membuat perumpamaan-perumpamaan tentang kamu (Muhammad). Mereka telah tersesat dan tidak dapat menemukan jalan (yang benar).
Jadi, tanpa pemutarbalikan fakta, al-Quran telah merekam rentetan kejadian sehubungan dengan oposisi dan sudut-sudut pandang orang yang semasa dengan Nabi mengenai asal-usul atau sumber inspirasi wahyu yang diterimanya. Serempak dengan itu, al-Quran juga merespon atau membantah berbagai tuduhan dan miskonsepsi para oposan kontemporer Nabi. Sebagaimana terlihat, respon spesifik al-Quran terhadap  berbagai gagasan dan tuduhan para penentang Muhammad memang berbeda untuk setiap kasusnya. Tetapi, dalam berbagai jawaban tersebut, kitab suci ini selalu menekankan asal-usul ilahiahnya: Wahyu yang diterima Muhammad itu bersumber dari Tuhan semesta alam.
Berbagai gagasan para oposan kontemporer Nabi tentang asal-usul atau sumber al-Quran terlihat memiliki kemiripan dengan konsepsi yang dikembangkan di Barat sejak abad pertengahan hingga dewasa ini. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, konsepsi yang diajukan sarjana Barat terlihat lebih ekstensif dan tidak jarang berbau apologetik. Pada abad pertengahan di Barat, Muhammad digagaskan sebagai penipu, pseudo-propheta, tukang sihir, serta ajaran al-Quran yang didakwahkannya itu tidak lain dari suatu bentuk Kristen yang sesat dan penuh bidah.[24]
Gagasan-gagasan Barat abad pertengahan di atas, yang lebih merupakan mitos dan fiksi imajinatif, memiliki pengaruh kuat di kalangan sarjana Barat pada masa-masa selanjutnya, dan terlihat sulit dienyahkan dari benak masyarakat Barat hingga dewasa ini. Tetapi, konsepsi abad pertengahan itu secara sederhana bisa diabaikan karena tidak ditopang dan dilandasi oleh penelitian ilmiah yang serius. Kepentingan utama yang ada di balik penggagasannya lebih bersifat apologetik, karena difokuskan pada pembelaan keyakinan kristiani serta penyemaian rasa percaya diri di kalangan umat Kristen. Gagasan ini secara reflektif mengungkapkan bahwa walaupun umat Islam – musuh bebuyutan Kristen dalam serangkaian perang salib ketika itu – secara politik lebih superior dibandingkan umat Kristen, secara religius kaum  anti-Kristus  itu  –  salah satu istilah yang dilabelkan  kepada umat Islam  – memeluk agama yang lebih inferior dari agama Kristen.
Gagasan-gagasan Barat abad pertengahan itu tentu saja tidak dapat disejajarkan dengan gagasan-gagasan Barat modern jika dilihat pada tataran saintifik dan sofistikasinya. Karya Barat modern yang berupaya melacak sumber-sumber al-Quran bisa dikatakan bermula pada 1833 dengan publikasi karya Abraham Geiger, Was hat Mohammed aus dem Judentum aufgenommen?[25] Sebagaimana tercermin dari judulnya – “Apa yang telah Diadopsi Muhammad dari Agama Yahudi?” – karya ini memusatkan perhatian pada anasir Yudeo di dalam al-Quran. Dalam penelitiannya, Geiger sampai kepada kesimpulan bahwa seluruh ajaran Muhammad yang tertuang di dalam al-Quran sejak sebermula telah menunjukkan sendiri asal-usul Yahudinya secara transparan: Tidak hanya sebagian besar kisah para nabi, tetapi berbagai ajaran dan aturan al-Quran pada faktanya juga bersumber dari tradisi Yahudi.[26] Namun, selama hampir setengah abad setelah publikasi karya Geiger, tidak terlihat teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian ini. Baru pada 1878, H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan publikasinya, Juedische Elemente im Koran (“Anasir Yahudi dalam al-Quran”), yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan-temuan pendahulunya.
Setelah kemunculan kedua karya di atas, sejumlah besar sarjana Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-usul genetik al-Quran. Terjadi semacam peperangan akademik antara sarjana-sarjana yang memandang al-Quran tidak lebih dari tiruan rentan tradisi Yahudi dan sarjana-sarjana yang menganggap agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berupaya keras membuktikan bahwa asal-usul genetik al-Quran secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi dan bahwa Muhammad merupakan murid seorang Yahudi tertentu. Karya-karya kesarjanaan Yahudi jenis ini antara lain ditulis oleh J. Horovitz, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran (“Nama Diri Yahudi dan Derivasinya dalam al-Quran,” 1925, dicetak-ulang, 1964), C.C. Torey, The Jewish Foundation of Islam (“Fondasi Yahudi Agama Islam,” 1933, dicetak-ulang, 1967), dan Abraham I. Katsch, Judaism and the Koran (“Agama Yahudi dan al-Quran,” 1962).[27] Pencetakan-ulang karya-karya kesarjanaan Yahudi itu memperlihatkan secara gamblang pengaruh gagasan lama yang masih melekat di dunia akademik Barat. Tetapi, kajian-kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik kulminasi yang tragis dengan terbitnya karya J. Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (“Kajian-kajian al-Quran: Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci,” l977). Dalam buku ini, Wansbrough melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa al-Quran merupakan hasil “konspirasi” antara Muhammad dan pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang secara sepenuhnya berada di bawah pengaruh Yahudi.[28]
Sementara para sarjana Kristen juga melakukan upaya senada dan berusaha membuktikan bahwa al-Quran itu tidak lebih dari gema sumbang tradisi kristiani dan bahwa Muhammad hanyalah seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh agama Kristen. Karya kesarjanaan Kristen modern yang awal tentang sumber-sumber kristiani al-Quran ditulis Karl Friedrich Gerock, Versuch einer Darstellung der Christologie des Korans (“Upaya Pengungkapan Kristologi al-Quran,” terbit pertama kali pada 1839).
Setelah suatu tenggang waktu yang cukup lama, muncul karya-karya kesarjanaan Kristen lainnya tentang topik ini, seperti yang disusun oleh Manneval, La Christologie du Koran (“Kristologi al-Quran,”1887), Tor Andrae, Der Ursprung des Islams und das Christentum (“Asal-usul Islam dan Agama Kristen,” 1926), dan J. Henninger, Spuren christlicher Glaubenswahrheiten im Koran (“Jejak Kebenaran Kepercayaan Kristen dalam al-Quran,” 1951). Tetapi, salah satu karya kesarjanaan Kristen paling menonjol dan berpengaruh dalam kategori ini ditulis oleh Richard Bell, The Origin of Islam in its Christian Environment (“Asal-usul Islam dalam Lingkungan Kristennya,” 1926).
Di samping karya-karya yang menitikberatkan asal-usul al-Quran dalam salah satu dari kedua tradisi keagamaan semit, yakni Yahudi dan Kristen, terdapat juga karya-karya kesarjanaan Barat lainnya yang menekankan pengaruh kedua tradisi keagamaan tersebut secara serempak terhadap kitab suci kaum Muslimin. Karya-karya kategori terakhir ini antara lain ditulis oleh W. Rudolph, Die Abhaengigkeit des Qorans von Judentum und Christentum (“Ketergantungan al-Quran pada Agama Jahudi dan Kristen,” 1922), dan D. Masson, Le Coran et la Revelation Judeo-Chretienne (“Al-Quran dan Wahyu Yahudi-Kristen,” dua jilid, 1958). Sementara sejumlah sarjana Barat lain, seperti W.M. Watt dan H.A.R. Gibb, memperluas gagasan terakhir ini dengan menegaskan bahwa latar belakang kelahiran Islam atau al-Quran adalah milieu Arab, walaupun banyak unsur-unsur Yudeo-Kristiani yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.[29]
Gagasan-gagasan yang berkembang di kalangan sarjana Barat modern tentang asal-usul atau sumber-sumber al-Quran di atas, sebenarnya dipijakkan pada asumsi tentang difusi agama Yahudi dan Kristen pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam. Tetapi, asumsi semacam ini tampaknya tidak mendapat pembenaran dari informasi-informasi historis yang terdapat di dalam al-Quran sendiri, jika kitab suci ini dipandang –  dan sudah semestinya dijadikan – sebagai sumber sejarah yang otoritatif. Uraian-uraian dalam bab lalu justeru menunjukkan bahwa pengaruh kedua tradisi keagamaan tersebut terhadap milieu intelektual Arab terlihat tidak begitu meyakinkan.[30] Memang benar bahwa ajaran-ajaran kedua tradisi itu telah cukup dikenal di kalangan orang-orang Arab. Al-Quran sendiri bahkan mengemukakan adanya upaya dari orang-orang Yahudi dan Kristen dalam skala besar-besaran ataupun kecil-kecilan untuk menarik orang-orang Arab ke dalam agamanya masing-masing. Tetapi, upaya ini tidak membuahkan hasil yang baik lantaran implikasi politik kedua agama tersebut, dan – lebih dari itu – orang-orang Arab terlihat lebih setia mengikuti tradisi “bapak-bapak kami.”
Kemiripan ajaran al-Quran dengan tradisi Yudeo-Kristiani juga dijadikan sebagai basis oleh para sarjana Barat untuk teori mereka bahwa sumber inspirasi al-Quran adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru – Tawrat dan Injil dalam istilah al-Quran. Tetapi, kaum Muslimin barangkali akan menisbatkan kemiripan dalam ketiga tradisi agama Ibrahim ini kepada kesamaan sumber kitab suci masing-masing agama tersebut. Menurut keyakinan Islam, seluruh kitab suci – bahkan di luar ketiga tradisi keagamaan Semit itu – bersumber dari Allah, dan rasul yang menyampaikan kitab suci itu diutus oleh-Nya. Al-Quran memang menyebutkan bahwa para nabi diutus untuk menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa yang berbeda pada masa-masa yang berbeda, namun risalah yang mereka sampaikan adalah universal dan identik. Semua risalah tersebut terpancar dari sumber tunggal: umm al-kitâb  (“induk segala kitab,” 43:4; 13:39) atau kitâb maknûn (“kitab yang tersembunyi,” 56:78) atau lauh mahfûzh (“luh yang terpelihara,” 85:22), yang merupakan esensi Pengetahuan Tuhan. Dari esensi kitab primordial inilah wahyu-wahyu diturunkan kepada para utusan Tuhan. Tawrat (2:53,87; 3:3,65; 5:44; 6:91; dll.) dan Zabur (4:163; 17:55) – merujuk kepada Perjanjian Lama – serta Injil (3:3,48,65; 5:46; 57:27; dll.), semuanya bersumber dari Allah. Karena semua risalah Tuhan itu universal dan identik, maka manusia mesti mengimani seluruhnya. Di dalam al-Quran, di samping disebutkan kewajiban untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan Kristen, Muhammad juga diperintahkan untuk mendeklarasikan: “Aku beriman kepada seluruh kitab yang diturunkan Allah” (42:15 cf. 2:285; 4:136; 2:177). Karena itu, agama Allah tidak dapat dipecah-pecah. Demikian juga dengan kenabian: Al-Quran mengharuskan keimanan kepada nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa diskriminasi (2:136,285; 3:84; 4:152; dll.). Bagi al-Quran, “tidak ada satu umat pun yang tidak pernah didatangi seorang pemberi peringatan” (35:24 cf. 13:7). Jadi, berbagai kemiripan dalam ajaran agama-agama bukanlah disebabkan agama yang satu mengadopsi ajaran agama lain, tetapi karena tiap-tiap agama tersebut berasal dari satu sumber: Tuhan semesta alam.
Sekalipun uraian di atas mungkin bagi sementara kalangan dipandang tidak memuaslegakan dan lebih bersifat dogmatis, tetapi hanya jawaban semacam itulah yang barangkali bisa dikemukakan jika dikaitkan dengan perspektif al-Quran tentangnya. Di kalangan sarjana Barat sendiri pun masalah pelacakan sumber-sumber al-Quran masih tetap merupakan bidang garap yang kontroversial. Kajian-kajian semacam ini, misalnya, mendapat justifikasi dari W.M. Watt. Ia mengemukakan dua alasan penting tentang relevansinya: (i) kajian tentang sumber-sumber al-Quran tidak akan menghilangkan gagasan-gagasan yang sumbernya ditemukan dan juga tidak akan mengurangi nilai kebenaran serta validitas kitab suci tersebut; dan (ii) orang-orang yang menerima doktrin bahwa al-Quran merupakan verbum dei (kalâm Allâh) yang qadîm bahkan dapat mengkaji “sumber-sumber” dalam artian pengaruh-pengaruh eksternal terhadap pemikiran orang-orang Arab pada masa Muhammad. “Jika kedua butir ini diterima, akan terlihat bahwa kajian tentang sumber-sumber dan pengaruh – di samping merupakan hal yang sudah semestinya – memiliki tingkatan interes yang moderat.”[31]
Meskipun karya-karya tentang asal-usul genetik al-Quran yang ditulis para sarjana Barat belakangan ini terlihat lebih serius ketimbang karya-karya sebelumnya, dan sekalipun ada sejumlah sarjana yang menjustifikasi dan membela mati-matian kepentingan studi-studi semacam itu, upaya rekonstruksi elemen-elemen asing al-Quran juga mendapat kecaman keras dari kalangan sarjana Barat sendiri. Franz Rosenthal, misalnya, mengemukakan bahwa meskipun kajian-kajian semacam itu berhasil menemukan bukti yang meyakinkan mengenai pengaruh asing terhadap formasi spiritual dan intelektual Muhammad, upaya-upaya tersebut “tidak mungkin menjelaskan secara memuaskan keberhasilan Nabi dalam menciptakan sesuatu dan mentransformasikannya ke dalam suatu kekuatan abadi yang mempengaruhi seluruh umat manusia ….”[32] Lebih jauh, Rosenthal bahkan menilai bahwa kajian-kajian semacam ini hanya menyentuh kulit luar dan tidak pernah mencapai intinya.[33]
Bahwa kajian tentang asal-usul genetik al-Quran serta berbagai pendekatan yang digunakan di dalamnya memiliki kepentingan historis tertentu, merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah. Akan tetapi, merupakan suatu fakta yang tidak dapat ditolak bahwa studi-studi semacam ini hanya memiliki manfaat yang sangat terbatas dalam kaitannya dengan pemahaman al-Quran dan gagasan-gagasannya. Sebaliknya, telaah-telaah semacam ini bahkan cenderung mengaburkan dan mendistorsi kandungan kitab suci itu. Lebih jauh, asumsi yang mendasari kajian-kajian tersebut adalah praduga abad pertengahan bahwa Muhammad adalah “pengarang” al-Quran. Apabila kitab suci itu merupakan rekayasa yang sadar dari imajinasi kreatif Nabi, maka sumber-sumbernya secara pasti dapat dilacak dalam milieunya. Prasangka semacam ini, seperti telah disinggung di atas, justeru disangkal dengan tegas oleh al-Quran sendiri ketika menolak dakwaan-dakwaan senada yang diajukan oposan kontemporer Nabi. Barangkali inilah sebabnya mengapa Seyyed Hossein Nasr – sehubungan dengan prasangka Barat mengenai asal-usul genetik al-Quran – menyatakan keheranannya: “Pandangan semacam itu (yakni tentang asal-usul non-ilahiah al-Quran – pen.) wajar dipertahankan oleh orang yang menolak secara sepenuhnya seluruh wahyu, tetapi adalah aneh mendengar pandangan-pandangan tersebut dikemukakan para penulis yang sering menerima Kristen dan Yahudi sebagai kebenaran yang diwahyukan.”[34]

Wahyu Ilahi dan Nabi
Uraian-uraian tentang derivasi, sinonim dan sumber-sumber al-Quran di atas dengan jelas memperlihatkan bagaimana konsepsi kitab suci itu mengenai asal-usul dirinya. Wahyu-wahyu qurani yang diterima Nabi, menurut gagasan ini, bersumber dari Allah. Wahyu-wahyu tersebut, sebagaimana dengan wahyu-wahyu lain yang diterima nabi-nabi sebelum Muhammad, terpancar dari “Luh yang Terpelihara” (lauh mahfûzh, 85:22), yang hanya dapat disentuh oleh yang disucikan  (56:79).  Luh  ini  juga  disebut  sebagai “Kitab yang Tersembunyi” (kitâbmaknûn, 56:78), atau “Induk Segala Kitab” (umm al-kitâb, 13:39; 43:4), sebagaimana lazimnya ditafsirkan demikian di kalangan sarjana Muslim. Dari esensi kitab primordial inilah Jibril datang dan menyampaikan wahyu ilahi kepada Nabi. Pernyataan sederhana ini mencakup permasalahan luas tentang wahyu Ilahi dan Nabi  yang akan didiskusikan berikut ini.
Kata wahyu (wahy, ïyë ) beserta kata bentukan lain darinya merupakan kata-kata yang frekuensi penggunaannya paling banyak di dalam al-Quran. Kata-kata ini telah menjadi istilah-istilah teknis dalam terminologi Islam, khususnya untuk merujuk komunikasi pesan Ilahi kepada para nabi.[35] Di dalam al-Quran sendiri, penggunaan kata wahy dan kata-kata bentukannya tidak hanya dibatasi bagi para nabi, tetapi juga digunakan secara umum untuk melukiskan bentuk komunikasi yang dijalin antara sesama manusia atau antara Tuhan dengan makhluk-Nya – termasuk para nabi. Jadi kata awhâ ( َyëa ) digunakan dalam pengertianmemberi isyarat” atau “menunjukkan” guna menggambarkan komunikasi yang dilakukan Zakariya – setelah menjadi bisu – kepada kaumnya (19:11). Dalam 6:112, dikatakan bahwa setan di kalangan jin dan manusia saling “membisikkan” atau “memberi tahu secara sembunyi-sembunyi” (hî ba‘dluhum ba‘dlan)  gagasan-gagasan muluk (cf. 6:121). Penerima wahyu,  bahkan dari Tuhan, tidak selalu seorang nabi.  Kepada malaikat,  Tuhan mewahyukan (hî, “memerintahkan”) agar meneguhkan pendirian orang-orang beriman (8:12); dan kepada ibu Nabi Musa, Tuhan mewahyukan (awhâ, “memberi ilham”) agar menyusui anaknya (28:7). Bahkan, kepada lebah pun Tuhan mewahyukan (awhaynâ, “memberi ilham”) untuk membuat sarangnya di bukit-bukit dan pohon-pohon serta rumah-rumah yang dibuat manusia (16:68). Pada Hari Penghabisan, bumi akan mengeluarkan beban beratnya sebab Tuhan telah “memerintahkan” (awhâ) kepadanya untuk melakukan hal tersebut (99:1-5). Demikian pula, Tuhan “memerintahkan” (awhâ) kepada setiap lapis langit tugas-tugas khususnya.
Dalam sejumlah bagian al-Quran, kata-kata senada juga digunakan untuk merujuk komunikasi pesan ilahi kepada para nabi sebelum Muhammad (12:109; 16:43; 21:7,25; dll.): seperti kepada Nuh (23:27; 11:36-37; dll.), Musa (7:160; 20:13,77; 26:52,63; dll.), Yusuf (12:15), dan lain-lain. Pesan yang dikomunikasikan, dalam kebanyakan kasus, berupa perintah untuk melakukan sesuatu. Jadi, kepada Nuh, misalnya, “diperintahkan” membuat bahtera berdasarkan “wahyu”. Begitu juga, kepada Musa “diperintahkan” untuk melakukan eksodus di malam hari, memukul laut dan batu karang dengan tongkatnya. Terkadang, yang diwahyukan kepada para nabi adalah doktrin: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang esa’” (18:110; 21:108; 41:6; dll.).
Tetapi, obyek utama wahyu di dalam al-Quran adalah Muhammad. Dalam 13:30 disebutkan bahwa ia diutus untuk membacakan apa-apa yang “diwahyukan” kepadanya; bahwa petunjuk yang diperolehnya disebabkan oleh apa-apa yang “diwahyukan” kepadanya (34:50). Masyarakat kontemporer Nabi keheranan karena ia menerima wahyu untuk memberi peringatan dan kabar gembira (10:2); tetapi Muhammad diperintahkan mengatakan: “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak pula mengetahui yang gaib. Aku juga tidak mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa-apa yang diwahyukan kepadaku” (6:50).
Bahwa wahyu yang diterima Muhammad memiliki asal-usul ilahiah, seperti telah ditunjukkan di bagian yang lalu, selalu ditegaskan oleh al-Quran. Dalam 53:3-4 disebutkan: “Dan tidaklah ia (Muhammad) berbicara mengikuti hawa nafsunya. Sungguh (ucapannya) itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan” (cf. 6:93). Sementara di sejumlah bagian al-Quran lainnya Muhammad diperintahkan hanya mengikuti apa-apa yang diwahyukan Tuhannya (6:50,106; 7:203; 10:109; 33:2; 46:9; 43:43; dll.). Ia tidak mengharamkan makanan apapun – kecuali bangkai, darah, daging babi atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah – karena tidak menemukan larangan semacam itu eksis di dalam wahyu yang diwahyukan kepadanya (6:145).
Kandungan wahyu yang diterima Muhammad dilukiskan dengan berbagai cara di dalam al-Quran. Kisah keluarga Imran di dalam surat 3 diinterupsi oleh suatu ayat (3:44) yang menyatakan: “Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad).” Sementara kisah Yusuf diawali dengan pernyataan: “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) kisah paling bagus dengan mewahyukan al-Quran ini kepadamu” (12:3). Demikian pula, Allah mewahyukan kepada Muhammad untuk mengikuti agama Ibrahim (16:123). Dan pengetahuannya tentang sejumlah jin yang mendengar pembacaan al-Quran juga dinisbatkan kepada wahyu ilahi (72:1), sebagaimana pengetahuannya tentang perbantahan di kalangan malaikat pada waktu penciptaan manusia (38:69 ff.).
Berbagai terma lain juga digunakan di dalam al-Quran untuk menunjukkan kandungan wahyu. Dalam 5:48 disebutkan bahwa Tuhan telah menurunkan kepada Muhammad al-kitâb dengan kebenaran (cf. 13:1; 34:6; 22:54; 35:31; 47:2; 6:114; 4:105; 39:2,41; 3:3; 42:17; 32:3; 17:105; dll.), yang mengkonfirmasikan kitab-kitab sebelumnya dan pelindung atasnya (cf. 6:92; 2:97; 35:31; 46:30; 6:92; 10:37; 12:111; dll.).[36] Lebih jauh, kandungan wahyu juga disebut sebagai ‘ilm (“ilmu,” 3:61; 2:120,145; 13:37; 45:17; cf. 30:29), hikmah, (“hikmah,” 17:39; cf. 2:151,231,269; 3:164; 33:34; dll.), hudâ (“petunjuk,” 45:11,20; 3:138; 7:52,203; 12:111; dll.), syifâ (“penawar,” 41:44; 10:57; 17:82), nûr (“cahaya,” 4:174; 5:15f.; 7:157; 42:52; 64:8), dan lain-lain. Sementara tujuan pewahyuan al-Quran disebut dalam 6:19, “Dan al-Quran ini diwahyukan kepadaku agar aku memberi peringatan kepadamu dengannya dan kepada orang-orang yang sampai kepadanya (al-Quran)” (cf. 42:7; 6:92).
Deskripsi-deskripsi di atas dengan jelas memperlihatkan betapa luas dan dalamnya kandungan semantik terma wahy dan awhâ dalam penggunaan al-Quran. Kata awhâ barangkali memiliki pengertian mendasar komunikasi suatu gagasan melalui bisikan yang cepat atau desakan.” [37] Pengertian ini selaras dengan contoh-contoh yang diberikan di dalam kamus-kamus,[38] di mana ditunjukkan bahwa kecepatan atau kesekilasan merupakan bagian dari konotasi akar kata tersebut. Dengan demikian, wahy secara umum dapat bermakna gagasan yang dibisikkan, yang didesak untuk ditindakkan atau dilakukan.
Namun yang menjadi kunci di sini adalah bagaimana proses pewahyuan al-Quran kepada Muhammad. Al-Quran hanya mengemukakan sejumlah kecil petunjuk tentang hal ini. Gambaran paling lengkap tentang mekanisme wahyu – yang dalam kenyataannya paling sering dijadikan obyek spekulasi tafsir sejumlah besar sarjana Muslim – terdapat dalam 42: 51-52, yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
“Dan Allah tidak berkata-kata kepada seorang manusia pun kecuali:
  (a) (melalui) wahyu
atau     (b) dari balik tabir
atau     (c) Dia mengutus utusan
yang mewahyukan dengan seizinnya apa-apa yang Dia kehendaki ….
Dan demikianlah telah Kami wahyukan kepadamu Ruh dari perintah   Kami….”
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditegaskan di sini bahwa permulaan bagian al-Quran di atas menafikan kemungkinan Tuhan berbicara secara langsung kepada manusia, kecuali lewat ketiga modus taklîm di atas. Tentang model wahyu pertama (a), terdapat suatu consensus doctorum di kalangan sarjana Muslim bahwa yang dimaksudkan dengan wahy di sini sinonim dengan ilhâm, “inspirasi,”[39] dan biasanya ditafsirkan sebagai “impian yang benar” (ru’yat al-shalihah). Penafsiran semacam ini bisa disimpulkan dari penuturan al-Quran tentang kisah penyembelihan Ismail, putera Nabi Ibrahim (39:101-112).[40] Tentang model wahyu kedua (b), biasanya ditafsirkan sebagai kalam ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara, seperti dialami Nabi Musa (4:164; 7:143-144; 28:30; cf. 2:253). Sementara model wahyu ketiga (c), yakni lewat perantaraan utusan spiritual, umumnya ditafsirkan sebagai penyampaian wahyu Ilahi kepada nabi-nabi melalui perantaraan malaikat Jibril atau Ruh Kudus. Bentuk pewahyuan terakhir inilah – seperti terlihat dalam bagian akhir kutipan al-Quran di atas (42:52) – yang dialami Muhammad.
Bahwa Jibril merupakan agen wahyu atau utusan spiritual yang menyampaikan wahyu Ilahi kepada Muhammad, dikonfirmasi al-Quran di beberapa tempat lainnya (2:97; 16:102; 26: 192-194; dll.). Bahkan dalam bagian-bagian al-Quran ini dijelaskan bahwa Jibril menyampaikan wahyu Ilahi ke dalam hati Nabi. Jadi dalam 26:192-193, misalnya, disebutkan: “Dan sesungguhnya (al-Quran) ini diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh al-rûh al-amîn, ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang pemberi peringatan.” Dengan demikian, wahyu dan agennya jelas bersifat spiritual dan internal bagi Muhammad. Hal ini juga dinyatakan dalam bagian al-Quran lainnya: “Jika Tuhan menghendaki, maka akan Dia tutup mata hatimu (hai Muhammad), sehingga tidak akan ada lagi wahyu yang datang kepadamu” (42:24; cf. 17:85-86).
Jibril – agen spiritual penyampai wahyu Ilahi kepada Muhammad – hanya disebutkan tiga kali di dalam al-Quran (2:97, 98; 66:4), dan keseluruhannya berasal dari periode Madinah. Dari tiga kali pemunculan tersebut, seperti telah disinggung di atas, hanya satu kali saja yang bertalian dengan pewahyuan al-Quran (2:97). Pemunculannya yang sangat belakangan ini telah menimbulkan spekulasi di kalangan sarjana Barat tentang pengaruh tradisi Yudeo-Kristiani dalam identifikasi tersebut. Gagasan umum yang dikembangkan di sini bisa diilustrasikan dengan ungkapan W.M. Watt:
Pengalaman Muhammad tentang pewahyuan telah ditafsirkannya dalam berbagai cara. Pertama kali ia menganggap bahwa Tuhanlah yang berkata-kata secara langsung kepadanya, sebagaimana anggapannya bahwa Tuhanlah yang menampakkan dirinya kepadanya dalam rukyah-rukyahnya. Kemudian, ..., gagasan ini ditolak untuk mendukung ide bahwa suatu Ruh dihunjamkan ke dalam dirinya. Belakangan, ketika semakin akrab dengan gagasan-gagasan orang Yahudi dan Kristen, yang darinya ia belajar mengenai malaikat sebagai utusan Tuhan, Muhammad menganggap bahwa malaikatlah yang membawa pesan ketuhanan kepadanya. Akhirnya, ia memandang Jibril sebagai malaikat khusus yang membisikkan pesan-pesan ilahi kepadanya atas nama Tuhan.[41]
Pandangan di atas mencerminkan suatu kegagalan dalam mengapresiasi perkembangan misi kenabian Muhammad dalam bentangan historisnya. Identifikasi-identifikasi tentang agen wahyu, dalam kenyataannya berkembang selaras dengan perkembangan misi tersebut, dan baru mencapai bentuk finalnya setelah Perang Badr.[42] Dalam proses perkembangan ini, al-Quran pada mulanya menerima aspek-aspek tertentu keyakinan atau world-view masyarakat Arab, karena tidak mungkin mengubahnya dalam seketika. Kepercayaan-kepercayaan pagan Arab itu kemudian ditransformasikan atau diganti secara gradual dengan unsur-unsur islami, hingga mencapai bentuk finalnya. Proses perkembangan semacam ini, pada faktanya, terjadi dalam hampir keseluruhan gagasan keagamaan Islam.[43]
Sebagai utusan spiritual yang menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada para nabi, Jibril lebih  sering diidentifikasi di dalam al-Quran sebagaih,[44] serta di beberapa tempat sebagai malâ’ikah (“malikat”),[45] rasûl karîm (“utusan mulia”),[46] syadîd al-quwâ (“yang sangat kuat”, 53:5 cf. 81:20), dzû mirrah (“yang sangat cerdas”, 53:6), dan lainnya. Dalam kaitannya dengan nabi-nabi pra-Muhammad, meski sebagiannya terkesan bahwa Tuhan berfirman langsung kepada mereka, tetapi terdapat pernyataan umum di dalam al-Quran: “Dia menghunjamkan Ruh dari Perintah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya” (40:15 cf. 16:2), yang darinya dapat disimpulkan bahwa nabi-nabi diberkahi Ruh Tuhan yang menyampaikan wahyu kepada mereka. Demikian pula, setelah menyempurnakan bentuk jasmani Adam, Tuhan juga memasukkan Ruh-Nya (15:29; 32:9; 38:72). Sehubungan dengan Maryam, ibunda Isa al-Masih, dikatakan bahwa telah ditiupkan ke dalam tubuhnya Ruh Tuhan sehingga ia hamil (19:17; 21:91; 66:12), dan Isa sendiri dinyatakan telah diperkuat dengan “Ruh Kudus” (2:87,253; 5: 110). Ruh Kudus inilah yang juga disebut sebagai agen wahyu al-Quran (16:102).[47]
Karakteristik Ruh tersebut, dijelaskan Fazlur Rahman (w. 1988) sebagai kandungan aktual wahyu, seperti yang dikesankan dalam 42:52 (cf. 40:15). Tokoh neo-modernis ini menduga bahwa Ruh tersebut merupakan kekuatan atau fakultas atau keperantaraan yang berkembang di dalam hati Nabi dan menjadi operasi wahyu yang nyata ketika dibutuhkan – sebagaimana lazimnya penafsiran yang berkembang di kalangan filosof dan sejumlah modernis muslim. Menurut Rahman, pada mulanya Ruh itu turun dari “atas.”[48] Di dalam beberapa bagian al-Quran Ruh disebut berdampingan dengan malaikat: “Dia menurunkan malaikat-malaikat dengan Ruh dari perintah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya” (16:2; 40:15).[49] Demikian pula, dalam bagian al-Quran lainnya dikatakan: “Malaikat-malaikat dan Ruh naik kepada-Nya dalam sehari yang lamanya lima puluh ribu tahun” (70:4). Dalam 78:38 disebutkan: “Hari ketika Ruh dan malaikat-malaikat berdiri berbaris-baris.” Dan dalam 97:4 diungkapkan: “Malaikat dan Ruh turun di malam (al-qadr) itu dengan izin Tuhan mereka.” Dari bagian-bagian al-Quran semacam ini bisa disimpulkan bahwa Ruh merupakan makhluk lain disamping malaikat. Tetapi, sebagaimana dikemukakan di atas, Ruh atau Jibril terkadang juga diidentifikasi dalam al-Quran sebagai malaikat. Karena itu, Ruh ini barangkali bisa dipandang sebagai bentuk tertinggi malaikat yang secara khusus bertugas sebagai agen wahyu (cf. 81:20f.).
Di dalam al-Quran, Ruh selalu diasosiasikan dengan istilah amr (“Perintah”), seperti dalam konstruksi h min amrinâ, rûh min amrihî, atau h min amri rabbî (16:2; 17:85; 40:15; 42:52), “Ruh dari perintah Kami(-Nya, Tuhanku).” Amr biasanya ditafsirkan sebagai “luh yang terpelihara,” yang di dalam al-Quran juga disebut sebagai “Kitab yang tersembunyi” atau “Induk segala kitab.”[50] Dari esensi kitab langit inilah Ruh datang dan masuk ke dalam hati nabi-nabi kemudian menyampaikan wahyu Allah; atau dari amr itulah Ruh dibawa turun para malaikat ke dalam hati mereka.
Sehubungan dengan pewahyuan al-Quran, dikemukakan bahwa ia pertama kali diturunkan pada malam al-qadr atau malam yang diberkahi Tuhan (97:1 dan 44:3-4). Malam ini,  menurut penjelasan bagian al-Quran lainnya (2:185), terjadi pada salah satu malam di bulan Ramadlan. Sejumlah besar mufassir berupaya menginterpretasikan malam tersebut dengan merujuk 8:41, yang mengindikasikan pewahyuan furqân pada “hari bertemunya dua pasukan” – yakni bertemunya pasukan Islam dengan bala tentara Quraisy dalam Perang Badr – dan menetapkan tanggal 17 Ramadlan sebagai yang dimaksud oleh bagian-bagian al-Quran di atas. Tetapi, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pemberian furqân dalam Perang Badr lebih merefleksikan “penyelamatan” atau pertolongan Tuhan berupa penganugerahan kemenangan kepada kaum Muslimin dalam pertempuran yang tidak seimbang itu. Lebih jauh, beberapa hadits memberi penjelasan lain tentangnya.[51] Sebagian hadits mengemukakan laylatu-l-qadr terjadi pada malam ganjil di bulan Ramadlan, sementara hadits lain menjelaskannya terjadi pada malam ganjil di pertigaan terakhir bulan tersebut.[52] 
Penurunan pertama al-Quran ini setidak-tidaknya dalam bentuk embrionik dari lauh al-mahfûdz ke bayt al-‘izzah di langit dunia – atau hati Nabi, sebagaimana dikemukakan sejumlah pemikir seperti Al-Gazali (w. 1111) dan Syah Wali Allah al-Dihlawi (w. 1762).[53] Dari bentuk embrionik ini kemudian berkembang rincian-rincian al-Quran selama kurang lebih 20 (atau 23 atau 25) tahun,[54] selaras dengan perkembangan misi kenabian Muhammad. Ibn Abbas (w. 687/8), salah seorang sahabat Nabi yang memiliki otoritas dalam studi al-Quran, misalnya, mengemukakan bahwa al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada laylat al-qadr, setelah itu bagian demi bagiannya diturunkan secara berangsur-angsur kepada Muhammad dari waktu ke waktu.[55]
Pendapat di atas dipandang paling sahih dan dipegang mayoritas sarjana Muslim.[56] Tetapi, terdapat juga pandangan minoritas lainnya yang berkembang di dalam Islam. Sebagian kecil sarjana Muslim, misalnya, menganggap bahwa al-Quran diturunkan ke langit dunia dalam 20 (atau 23 atau 25) kali laylatu-l-qadr. Pada setiap malam tersebut diturunkan wahyu untuk kebutuhan satu tahun, yang kemudian disampaikan kepada Nabi di sepanjang tahun itu secara berangsur-angsur. Sementara minoritas sarjana Muslim lainnya memandang bahwa permulaan turunnya al-Quran adalah pada malam al-qadr. Setelah itu wahyu disampaikan dalam berbagai kesempatan selama masa kenabian Muhammad secara berangsur-angsur.[57]
Penurunan gradual al-Quran, seperti terlihat, ditekankan dalam seluruh pendapat yang berkembang, dan ini memang sejalan dengan penegasan kitab suci itu sendiri. Bagi al-Quran, suatu pewahyuan total pada suatu waktu – sekalipun dituntut   para oposan Nabi (25:32) –  adalah mustahil, karena kenyataan sesungguhnya bahwa ia harus turun sebagai petunjuk bagi kaum Muslimin dari waktu ke waktu, selaras dengan kebutuhan-kebutuhan yang muncul. Sehubungan dengan ini, al-Quran mengungkapkan: “(Telah Kami turunkan) sebuah Quran yang Kami bentangkan secara gradual sehingga kamu (Muhammad) dapat membacakannya kepada manusia secara bertahap, (karena itu) Kami menurunkannya hanya dalam bagian-bagian” (17:106).[58]
Sehubungan dengan pengalaman kenabian Muhammad, yang mesti ditekankan di sini adalah apa yang secara mental-spiritual dilihatnya, karena –  seperti telah disebutkan – wahyu datang kepadanya melalui hati. Hal semacam ini dengan gamblang ditekankan dalam deskripsi-deskripsi al-Quran tentang rukyah Nabi, yang lazimnya dikenal sebagai mi‘raj (“kenaikan”) di kalangan umat Islam. Salah satu penjelasan al-Quran yang cukup rinci tentang hal ini (53:3-18) menyinggung tentang pengalaman penerimaan wahyu dalam dua kesempatan berbeda. Dalam salah satu kesempatan disebutkan bahwa Nabi “melihat” agen wahyu di “ufuk tertinggi,” sementara di lain kesempatan ia melihatnya di sidratu-l-muntahâ. Dalam kedua peristiwa ini, disamping Nabi “naik,” agen wahyu juga “turun,” dan pengalaman tersebut – seperti ditunjukkan dalam ungkapan “Hatinya tidak mendustakan apa-apa yang dilihatnya” – bersifat spiritual, bukan fisik, serta melibatkan pengembangan-diri Nabi ke ufuk tertinggi (ufuq al-a‘lâ). Hal ini juga dikonfirmasi dua bagian al-Quran lainnya (17:1; 81:19-24), yang menyinggung obyek-obyek atau titik-titik pengalaman terjauh Nabi, yaitu “masjid terjauh” (masjid al-aqshâ)[59] dan “ufuk paling nyata” (ufuq al-mubîn). Berdasarkan berbagai rujukan al-Quran itu, dapat dikemukakan bahwa pengalaman kenabian Muhammad – yang lazim dikenal sebagai mi‘raj –  terjadi lebih dari dua kali.
Dalam pengalaman spiritual Muhammad, sebagaimana telah disinggung, ia secara aktual “melihat” serta “mendengar” gambaran dan suara agen wahyu. Sejumlah bagian al-Quran bahkan mengindikasikan lebih jauh bahwa Nabi mampu membedakan antara kalam ilahi yang didengarnya dan pikiran-pikirannya sendiri. Dalam 75:16-19 (cf. 20:114; 69:40 ff.; 10:15; 7:203; dll.) disinggung bahwa karena kegelisahannya untuk tetap memperoleh wahyu atau mengharapkan wahyu-wahyu yang berbeda dari “bisikan” agen wahyu, maka Nabi – seperti manusia-manusia lainnya – dengan sengaja menggerakkan lidahnya. Namun perbuatan ini dicela Tuhan. Keterangan al-Quran itu secara logis menunjukkan adanya perbedaan antara wahyu dan kesadaran Nabi dalam pengalaman spiritualnya.
Al-Quran sendiri secara tegas mengemukakan bahwa ia diwahyukan secara verbal. Tetapi, di sisi lain, ia juga menekankan kaitan intimnya dengan kepribadian terdalam – hati dan pikiran – Nabi. Dengan kata lain, seperti telah disebutkan,  kalam Allah itu lahir di dalam hati dan pikiran Nabi (26:193 f.; 2:97; 42:24), karena itu dapat dikembalikan kepadanya. Jadi, sumber asal proses kreatif terletak di luar capaian biasa agensi manusia, tetapi proses itu timbul sebagai bagian integral dari pikiran Nabi. Jadi, ide dan kata lahir di dalam – dan dapat dikembalikan kepada – pikiran Nabi, sementara sumbernya dari Allah. Karena itu, sebagaimana disimpulkan Fazlur Rahman, al-Quran itu secara keseluruhan adalah kalâm Allâh dan dalam pengertian biasa  juga merupakan kalâm Muhammad. [60]
Penjelasan psikologis ini dapat dirujukkan sumbernya dalam pemikiran Syah Wali Allah dan Muhammad Iqbal (w. 1938). Wali Allah, misalnya, beranggapan bahwa kata-kata, ungkapan-ungkapan dan gaya bahasa al-Quran telah ada dalam alam pikiran Muhammad sebelum dia diangkat menjadi nabi. [61] Sementara Iqbal melanjutkan penjelasan psikologis ini dengan menegaskan bahwa ide dan kata merupakan suatu entitas organik yang lahir dalam pikiran Nabi secara serempak. Tetapi, karena asal mula dari kompleksitas perasaan-ide-kata itu terletak diluar kontrol Nabi dan merupakan fiil kreatif, maka ia harus dipandang sebagai wahyu dari suatu sumber yang berada di luar diri Nabi. [62]
Namun, penjelasan psikologis yang diajukan Iqbal di atas menimbulkan persoalan baru, yakni: wahyu al-Quran dengan demikian tidak ada bedanya dengan bentuk-bentuk kognisi manusia, termasuk mistik. Persoalan ini kemudian ditangani Fazlur Rahman dalam karya klasiknya, Islam. Kutipan in extenso berikut menampilkan upaya pembedaan wahyu al-Quran dari berbagai bentuk pengetahuan kreatif manusia lainnya:
Elan dasar al-Quran adalah moral, darinya mengalir penekanan yang tegas terhadap monoteisme maupun keadilan sosial. Hukum Moral adalah abadi: ia merupakan “Perintah” Tuhan. Manusia tidak dapat menciptakan atau meniadakan Hukum Moral itu: ia harus menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan diri ini disebut islâm dan pengejawantahannya dalam kehidupan disebut ‘ibadah atau “pengabdian kepada Tuhan.” Disebabkan penekanan al-Quran yang tegas terhadap Hukum Moral inilah sehingga Tuhan al-Quran tampak bagi kebanyakan orang sebagai Tuhan yang maha adil. Tetapi Hukum Moral dan nilai-nilai spiritual, agar bisa dilaksanakan, harus diketahui. Adapun dalam hal kekuatan persepsi kognitif, manusia memiliki perbedaan yang tegas antara satu dengan lainnya hingga ke taraf yang tidak terbatas. Lebih jauh, persepsi moral dan keagamaan juga sangat berbeda dari semata-mata persepsi intelektual, karena suatu kualitas hakiki dari yang pertama (yakni persepsi moral dan keagamaan – pen.) adalah bahwa bersama-sama dengan persepsi ia membawa suatu rasa “daya tarik” (gravity) yang istimewa serta menjadikan subyeknya terjelma secara bermakna. Persepsi, juga persepsi moral, dengan demikian memiliki tingkatan-tingkatan. Variasinya tidak hanya antara individu-individu yang berbeda, tetapi kehidupan batin seorang individu juga bervariasi dari waktu ke waktu menurut sudut pandang ini….
Nah, nabi adalah seseorang yang keseluruhan karakter, keseluruhan perilaku aktualnya, rata-rata jauh lebih unggul ketimbang manusia pada umumnya. Ia merupakan seseorang yang ab initio tidak sabar terhadap manusia dan bahkan terhadap sebagian besar ideal mereka, serta berkehendak menciptakan kembali sejarah. Karena itu, ortodoksi Islam mengambil kesimpulan yang secara logis adalah benar bahwa nabi-nabi harus dipandang kebal dari kesalahan-kesalahan yang serius (doktrin ‘ismah); Muhammad adalah manusia semacam itu, yang pada faktanya merupakan satu-satunya manusia seperti itu yang dikenal sejarah…. Tetapi dengan seluruh keistimewaan ini, terdapat saat-saat di mana ia – sebagaimana biasanya – “melampaui dirinya sendiri” dan persepsi moral kognitifnya menjadi sedemikian akut dan tajam hingga kesadarannya menjadi identik dengan Hukum Moral itu sendiri. “Demikianlah, Kami benar-benar memberi ilham kepadamu dengan suatu Ruh dari Perintah Kami: Kamu tidak mengetahui apa al-Kitab itu. Tetapi Kami telah jadikan ia suatu cahaya” (42:52). Tetapi Hukum Moral dan nilai-nilai religius merupakan Perintah Tuhan, dan meskipun keduanya sama sekali tidak identik dengan Tuhan, namun keduanya merupakan bagian dari-Nya. Dengan demikian al-Quran itu betul-betul murni Ilahi…. Ketika persepsi moral Muhammad mencapai titik tertinggi dan menjadi identik dengan Hukum Moral itu sendiri (sesungguhnya dalam saat-saat semacam ini perilakunya sendiri berada di bawah kritisisme al-Quran), maka kata-kata diberikan bersama inspirasi itu sendiri. Dengan demikian al-Quran adalah murni Kalam Ilahi; tetapi, tentu saja, secara berbarengan berhubungan erat dengan kepribadian Nabi yang kaitannya tidak dapat dibayangkan secara mekanis seperti sebuah perekam. Kalam Ilahi itu mengalir melalui hati Nabi.[63]
Penjelasan psikologis tentang pewahyuan al-Quran di atas mungkin merupakan salah satu penjelasan yang paling dapat diterima oleh akal pikiran modern. Dalam psikologi analitis atau psikologi kompleks, yang dirintis Carl Gustav Jung, fenomena wahyu atau pengalaman kenabian bisa dijelaskan lewat konsep heuristik tentang bawah sadar. Di sini dipandang bahwa pesan Ilahi datang kepada Nabi dari bawah sadarnya; dan ini tentunya sejalan dengan pengalaman Nabi tentang pesan yang datang kepadanya dari luar dirinya, karena bawah sadar berada di luar diri dalam pengertian di luar akal yang sadar. Jadi, konsep heuristik membuka kemungkinan bahwa Tuhan dapat bekerja melalui bawah sadar seorang nabi. Lebih jauh, bawah sadar berkait erat dengan alam sadar dalam pengertian apa yang masuk ke dalam akal pikiran seseorang dari bawah sadarnya diungkapkan dalam istilah-istidah pandangan dunianya yang sadar, meski bawah sadar juga akan terlihat memiliki dinamisme batin yang menjangkau ke depan yang darinya pemikiran baru bisa muncul. Jika pesan al-Quran diterima akal sadar Nabi dari bawah sadarnya dalam cara semacam itu, maka hal ini akan bisa menjelaskan mengapa pesan ilahi itu diungkapkan dalam istilah-istilah mutakhir di kalangan orang-orang Makkah dan pandangan dunia Arab ketika itu, serta bagaimana pesan tersebut mencerminkan inisiatif Ilahi.
Dalam sejarah pemikiran Islam, gagasan tentang hakikat wahyu yang diterima Nabi – apakah dalam bentuk verbal atau sekedar ide – merupakan salah satu masalah yang telah menimbulkan kontroversi akut dan berkepanjangan. Sebagian sarjana Muslim memandang bahwa wahyu disampaikan hanya dalam bentuk ide saja, Nabi kemudian mengungkapkan redaksinya dengan kata-katanya sendiri dalam bahasa Arab. Sebagian sarjana Muslim lainnya menegaskan bahwa Allah hanya menyampaikan ide kepada Jibril, lalu Jibril mengungkapkan gagasan wahyu tersebut ke dalam bahasa Arab yang selanjutnya disampaikan kepada Nabi. Sementara mayoritas sarjana Muslim berpendapat bahwa al-Quran itu diwahyukan dalam bentuk lafaz maupun maknanya.[64]
Pendapat pertama dan kedua di atas, secara sederhana bisa dikesampingkan karena bertentangan dengan gagasan al-Quran tentang pewahyuan verbal. Sementara pandangan ketiga, hingga taraf tertentu, sejalan dengan penegasan al-Quran. Tetapi, pada sisi lain, pendapat ini gagal mengaitkan kepribadian terdalam Nabi dalam proses pewahyuan. Bahkan gambaran yang ditampilkannya tentang hubungan antara Nabi dan wahyu justeru sangat bersifat mekanis dan eksternal – yakni wahyu datang kepada Nabi melalui telinga dan agen wahyu itu bersifat eksternal baginya.[65] Padahal, seperti ditunjukkan di atas, al-Quran tampaknya menekankan baik karakter verbal wahyu itu sendiri maupun hubungan intimnya dengan kepribadian religius Nabi.
Beberapa petunjuk bisa ditemukan di dalam al-Quran yang menyiratkan bahwa sebagian besar pengalaman kenabian Muhammad itu terjadi di malam hari, waktu “yang paling kuat kesannya dan paling pantas dalam pembicaraan,” dibandingkan siang hari, ketika ia disibukkan dengan berbagai urusan (73:1-7). Berdasarkan konteks bagian al-Quran ini dan beberapa bagian lainnya (22:1; 76:26; 17:79; 73:20 97:1 cf. 74:1-7), dapat dipastikan bahwa sejak awal kenabiannya Muhammad sangat sering bangun malam untuk bertahajjud, disamping berpuasa – suatu exercise yang diakui oleh tokoh psikologi J. Mueller mampu meningkatkan kemampuan rukyah (visionsvermoegen).[66] Peristiwa mi‘raj, yang merupakan manifestasi pengalaman kenabian Muhammad, disebutkan al-Quran terjadi pada malam hari (l7:1). Tentu saja, pengalaman kenabian tersebut terjadi juga di waktu yang lain, tetapi frekuensinya mungkin tidak sebanyak di malam hari. Berbeda dengan pandangan ini, Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 1505) menduga bahwa bagian terbesar al-Quran diwahyukan di siang hari.[67]
Sebagaimana nabi-nabi terdahulu, Muhammad juga mesti menghadapi gangguan setan yang terkadang campur tangan dalam pewahyuan: “Tidak pernah Kami utus seorang rasul atau nabi sebelummu (Muhammad) melainkan ketika ia berpikir setan memasukkan sesuatu ke dalam pikirannya” (22:52), tetapi Allah selalu menghapuskan apa-apa yang dimasukkan setan itu (22:52; cf. 2:106; 16:101) dan mengukuhkan ayat-ayat-Nya (22:52 cf. 11:1; 3:7; 47:20). Oleh karena itu, di beberapa tempat di dalam al-Quran Nabi diperintahkan untuk mencari perlindungan kepada Allah dari gangguan setan (7:200; 41:36; 23:97; 17:53; 12: 100; 16:98). Tetapi, upaya ini terkadang tidak membawa hasil. Kisah termasyhur tentang ayat-ayat setan yang diakui keabsahannya oleh Muhammad ibn Jarir al-Thabari (w. 922),[68] sekalipun dengan tegas selalu ditolak mayoritas komentator Muslim, merupakan suatu indikasi akan campur tangan setan dalam pewahyuan. Kisah ayat-ayat setan itu sangat cocok dengan konteks kesejarahannya, dan sejumlah bagian al-Quran (misalnya 17:73-76; 6:57 f.;  4:113; 10: 15 f.; dll.) juga menunjukkan bahwa kejadian semacam itu sangat memungkinkan ditinjau dari sudut pandang psikologis.
Lebih jauh, bagian-bagian al-Quran lainnya (2:106; 13:39; 16:101; 87:6 f.) juga mengindikasikan bahwa ayat-ayat tertentu digantikan oleh ayat-ayat lainnya, tetapi tentu saja hal ini tidaklah menjustifikasi doktrin nasikh-mansukh yang belakangan berkembang di kalangan sarjana Muslim. Penggantian-penggantian semacam ini merefleksikan karakteristik hakiki pewahyuan gradual al-Quran, dan karena itu harus dipahami dalam bentangan pewahyuan kitab suci tersebut yang secara bertahap mengungkapkan dirinya dengan mengacu pada kondisi-kondisi sosio-kultural yang dihadapi Nabi. Lebih jauh, al-Quran memandang bahwa bukan hal yang aneh jika seorang nabi – sebagai manusia biasa (3:79; 14:11; 18:110; 41:6; 21:34; dll.) – tidak selalu konsisten, karena hanya dengan demikian ia menjadi panutan atau teladan bagi umat manusia.[69]
Jadi, dalam gambaran al-Quran, pengalaman kenabian Muhammad adalah suatu pengalaman yang bersifat spiritual dan internal, sekalipun dorongan-dorongan ke arah terjadinya pengalaman tersebut bisa saja bersifat eksternal. Tetapi, gambaran semacam ini jarang ditemukan dalam koleksi hadits-hadits. Bahkan, sebagian besar gambaran hadits yang dipandang sebagai mekanisme pewahyuan justeru tidak berkaitan dengan wahyu al-Quran.[70] Gambaran tentang mekanisme pewahyuan semacam ini bisa ditemukan dalam koleksi hadits-hadits awal. Menjawab pertanyaan bagaiamana cara pewahyuan kepadanya, Nabi mengemukakan bahwa terkadang wahyu datang kepadanya laksana gemerincing lonceng. Sesudah hal itu berlalu, Nabi memahami wahyu yang disampaikan kepadanya. Di lain kesempatan, malaikat menjelma sebagai seorang lelaki tampan dan menyampaikan wahyu secara lisan kepadanya.[71]
Belakangan, ketika hadits-hadits dalam koleksi lainnya dimasukkan ke dalam pertimbangan, mekanisme pewahyuan juga berkembang menjadi beberapa macam. Dalam karyanya, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, al-Suyuthi, misalnya, mengemukakan  cara-cara  pewahyuan  sebagai berikut:  (i)  wahyu datang laksana gemerincing lonceng; (ii) wahyu dihunjamkan ke dalam hati Nabi oleh Jibril; (iii) Jibril menyampaikan wahyu dengan merupakan diri sebagai manusia; dan (iv) wahyu disampaikan oleh Tuhan secara langsung (tanpa perantara), baik ketika Nabi terjaga – sebagaimana dalam peristiwa mi‘raj – ataupun dalam impian.[72]
Sarjana-sarjana Muslim modern, yang mendapat informasi lebih banyak dari sejarah keagamaan Islam, merekam mekanisme pewahyuan secara lebih ekstensif dan bervariasi. Hasbi Ash-Shiddieqy (w. 1975), misalnya, setelah menegaskan bahwa Nabi telah mengalami seluruh macam tingkatan (martabat) pewahyuan, kemudian mengutip pandangan yang menjelaskan tujuh martabat wahyu yang dialami Nabi: (i) mimpi; (ii) wahyu dicampakkan ke dalam hati Nabi; (iii) wahyu datang kepada Nabi laksana gemerincing lonceng; (iv) malaikat yang menyampaikan wahyu menjelmakan dirinya dalam bentuk lelaki tampan (Dihyah ibn Khalifah); (v) Jibril memperlihatkan dirinya dalam bentuk asli; (vi) Tuhan berbicara kepada Nabi dari balik tabir, baik dalam keadaan terjaga ataupun dalam impian; dan (vii) sebelum Jibril menyampaikan wahyu al-Quran, Israfil –  atau Mikail, menurut hadits lainnya – turun membawa beberapa kalimat wahyu. Ash-Shiddieqy juga menambahkan sejumlah keterangan lain – yakni wahyu Tuhan kepada Nabi ketika mi‘raj, firman Tuhan langsung tanpa perantara kepada Nabi, datangnya wahyu seperti dengungan lebah – untuk melengkapi ketujuh martabat wahyu tersebut.[73] Gambaran yang dikemukakan ini memang telah cukup lengkap. Tetapi, kita juga dapat menambahkan, selaras dengan keterangan Thabari, bahwa ketika menyampaikan wahyu jibril pun pernah menjelma dalam rupa Aisyah (bi-shûrah ‘â’isyah).[74]
Terlihat jelas bahwa sebagian besar cara penyampaian wahyu kepada Nabi yang diberitakan dalam hadits-hadits, pada dasarnya merupakan bagian dari upaya untuk menjelaskan bagian-bagian tertentu al-Quran yang bertalian dengan mekanisme pewahyuan. Sejak masa yang awal, kaum Muslimin terlihat telah berselisih pendapat tentang masalah apakah Nabi pernah melihat Tuhan dan menerima langsung – tanpa perantara – wahyu dari-Nya atau tidak. Aisyah, salah satu istri Nabi, misalnya, dengan tegas menyangkali kemungkinan semacam itu.[75] Sekalipun demikian, sudut pandang yang mengkonfirmasi kemungkinan Muhammad melihat Tuhan dan menerima wahyu secara langsung dari-Nya tetap bertahan di dalam hadits-hadits. Sebagian lagi berupaya melunakkan sudut pandang terakhir ini dengan menegaskan bahwa Nabi telah melihat Tuhan dengan hatinya (bi-qalbihi atau bi-fu’adihi).[76] Tetapi, dari sudut pandang al-Quran yang ketat, seperti telah dikemukakan di atas, kemungkinan ru’yatu-llâh ataupun pewahyuan langsung dari Tuhan adalah negatif.
Demikian pula, gagasan-gagasan yang dibangun tentang mekanisme wahyu berdasarkan  sejumlah hadits  yang menggambarkan wahyu datang “melalui mata atau telinga”, dapat dikatakan bertentangan secara diametral dengan gagasan al-Quran yang menekankan proses pewahyuan internal. Fazlur Rahman menilai hadits-hadits semacam ini sebagai “fiksi-fiksi belakangan” dan pada umumnya baru diakui serta diterima jauh belakangan, atau direkayasa ketika ajaran-ajaran dogmatis Islam tengah dalam proses pembentukan.[77]
Serangkaian gejala fisik yang menyertai pengalaman kenabian Muhammad, sebagaimana disaksikan sahabat-sahabat-nya, juga banyak diungkapkan dalam hadits-hadits. Gejala-gejala tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: (i) keringat terlihat mengucur di dahi Nabi ketika menerima wahyu, bahkan pada hari yang bertemperatur dingin; (ii) Nabi menutup kepalanya, kulitnya bersemu merah, mendengkur seperti tertidur, atau bergemeletuk seperti unta muda, dan setelah beberapa saat ia pulih dari keadaan tersebut; (iii) wajah Nabi memucat kelabu; (iv) Nabi berada dalam keadaan tidak sadar diri (subath); (v) paha Zayd ibn Tsabit yang tertimpa paha Nabi ketika datangnya wahyu terasa dibebani beban yang berat sehingga seakan-akan hendak patah, demikian pula unta yang ditumpangi Nabi ketika datangnya wahyu terlihat tidak dapat menahan bebannya, sehingga Nabi harus turun dari punggungnya; dan lain-lain.[78]
Gejala-gejala fisik yang dialami Muhammad dalam momen-momen kenabiannya itu telah menimbulkan sejumlah spekulasi di kalangan sarjana Barat. Pada abad pertengahan, gejala-gejala fisik tersebut biasanya dikaitkan dengan penyakit epilepsi;[79] dan teori tentang penyakit ayan ini belakangan diperluas para sarjana Barat modern. Gustav Weil merupakan sarjana Barat modern pertama yang berupaya membuktikan secara ilmiah bahwa Nabi menderita sejenis epilepsi.[80] Teori ini kemudian dielaborasi oleh Aloys Sprenger dengan menambahkan bahwa Nabi juga menderita histeria.[81] Namun, dalam karya monumentalnya tentang sejarah al-Quran, Geschichte des Qorans,[82] Theodor Noeldeke secara keras menolak dugaan atau teori bahwa Muhammad menderita epilepsi. Ia bahkan menegaskan realitas inspirasi kenabian Muhammad. Sekalipun demikian, Noeldeke masih mengemukakan anggapan bahwa Nabi mengalami gangguan emosi yang tidak terkendali, yang membuatnya yakin bahwa ia berada di bawah pengaruh Ilahi.[83]
Teori-teori fantastik para sarjana Barat tentang gejala-gejala fisik yang menyertai pengalaman kenabian Muhammad, sebagaimana dikemukakan di atas, tentu saja mendapat tanggapan balik yang keras dari sarjana-sarjana Muslim modern. Fazlur Rahman,  misalnya, mengemukakan:
Bila diteliti secara saksama, teori tentang penyakit epilepsi (ayan) itu menghadapi sanggahan yang – menurut kami – akan memporak-porandakannya. Pertama, kondisi ini baru timbul ketika Muhammad memulai karir kenabiannya pada usia sekitar empat puluh tahun; tidak ada jejak ayan itu dalam kehidupannya yang awal. Kedua, hadits menjelaskan bahwa kondisi tersebut hanya terjadi berbarengan dengan pengalaman penerimaan wahyu dan tidak pernah terjadi secara terpisah. Sungguh, ini merupakan suatu jenis penyakit ayan yang aneh, yang selalu kambuh di saat turunnya prinsip-prinsip hidayah bagi suatu gerakan yang sedemikian kuat dan kreatifnya seperti gerakan Nabi, dan tidak pernah kambuh di waktu lain. Tentu saja Kami tidak menolak kemungkinan seseorang diserang epilepsi dan secara berbarengan diberkahi dengan pengalaman-pengalaman spiritual; tetapi masalahnya adalah gangguan epilepsi paling tidak sesekali harus bisa terjadi secara terpisah dari pengalaman spiritual, sekalipun pengalaman spiritual itu tidak bisa terjadi tanpa gangguan penyakit ayan. Terakhir, hampir tidak bisa dipercaya bahwa suatu penyakit yang jelas terlihat seperti penyakit ayan ini tidak mampu  diidentifikasi secara jelas dan pasti oleh masyarakat yang berpengalaman  seperti masyarakat Makkah atau Madinah.[84]
Sekalipun sanggahan Rahman di atas diungkapkan dengan gaya yang sangat apologetik, tiga alasan yang dikemukakannya untuk menolak fantasi-fantasi liar yang berkembang di kalangan sarjana Barat mengenai serangkaian gejala fisik yang menyertai momen-momen kenabian Muhammad adalah alasan-alasan yang logis dan dijustifikasi oleh kenyataan historis. Bahkan, keberatan terhadap teori-teori imajinatif Barat juga telah muncul di kalangan sarjana Barat sendiri. Merevisi pandangan-pandangan negatif terhadap Nabi yang diajukan para pendahulunya – Weil, Sprenger, Noeldeke, dan lainnya – W. M. Watt menegaskan bahwa para sarjana tersebut terlalu memusatkan perhatiannya pada hadits-hadits tertentu ketimbang pada al-Quran. Selanjutnya ia mengemukakan:
“Terlalu sedikit perhatian yang dicurahkan pada kenyataan bahwa Muhammad … adalah seorang yang sehat jasmani dan rohaninya ditinjau dari berbagai segi. Adalah tidak masuk akal jika seorang penderita epilepsi atau histeria, atau bahkan gangguan emosi yang tidak terkendali, dapat menjadi pemimpin ekspedisi-ekspedisi militer yang aktif, atau pemandu yang kalem dan berpandangan luas dari suatu negara-kota serta suatu masyarakat keagamaan yang sedang tumbuh dan berkembang …. Dalam masalah-masalah semacam ini, prinsip yang semestinya dipegang sejarawan adalah bertumpu terutama pada data al-Quran dan hanya menerima hadits sepanjang selaras dengan hasil kajian terhadap al-Quran. Walaupun demikian, al-Quran … tidak menyebut sesuatupun yang mendukung keyakinan tentang sejumlah penyakit yang diderita Muhammad.”[85]
Lebih jauh, Watt menuduh bahwa pandangan-pandangan pendahulunya itu merupakan pengungkapan kembali mitos-mitos abad pertengahan. Pada titik ini ia memberi nasehat kepada rekan-rekan Baratnya bahwa “konsepsi-konsepsi abad pertengahan itu sudah semestinya dikesampingkan,”[86] dan selanjutnya menganjurkan kepada mereka bahwa “Muhammad harus dipandang sebagai seorang yang tulus serta telah mengemukakan secara jujur pesan-pesan yang diyakininya berasal dari Tuhan.”[87]
Anjuran Watt di atas sudah semestinya ditanggapi secara positif dan serius oleh rekan-rekan Baratnya; kalau tidak, maka orientalisme tentunya akan tetap berada dalam status quo, dan usaha untuk membangun basis dialog antar agama – yang menjadi ciri abad ini dan secara gigih dikampanyekan kalangan tertentu orientalis – tentunya akan merupakan upaya yang sia-sia tanpa adanya pengakuan yang mendasar dan tulus atas realitas inspirasi Ilahi yang diterima Muhammad.




[1] Untuk berbagai istilah linguistik yang digunakan dalam tulisan ini, lihat Muhammad Ali al-Khuli, A Dictionary of Theoretical Linguistics, (Beirut: Librairie du Liban, 1982).  
[2] Lihat Muhammad Badr al-Din  al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, tt.), i, p. 278; Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Dar al-Fikr, tt.), i, p. 87; Noeldeke, et.al.,  Geschichte, i, pp. 31 f. catatan no. 6.
[3] Dengan demikian, besar kemungkinannya bahwa Nabi sendiri membaca terma ini sebagai qurân, mengingat asal-usul etnisnya.
[4] Noeldeke, et.al.,  Geschichte, i, pp. 33 f.; SEI, p. 1063; The Encyclopaedia of Islam, 2nd Ed., (EI2), (Leiden: E.J. Brill, 1960- ), v, p. 400; Watt, Bell’s  Introduction, pp. 136 f.; dll.
[5] Cf. Subhi al-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut - Libanon: Dar al-‘ilm li-l-malâyîn, 1988), p. 20.
[6] Dalam 96:1,3, terdapat dua kali perintah membaca yang ditujukan kepada Muhammad, akan tetapi kaitannya dengan al-Quran tidak dapat dipastikan.
[7] Lihat juga  10:15 f.; 12:3; 72:1; dll.
[8] Lihat misalnya 17:106; 20:2; 76:23; 25:32; dll.
[9] Lihat 43:2-4; 12:1 f.; 41:2 f.; 56:77-80; 85:21 f.
[10] Lihat 27:92 cf. 16:98; 17:45; 7:204; 84:21; 73:20.
[11] Asal-usul kata sûrah diperdebatkan di kalangan sarjana Barat, sekalipun terdapat kesepahaman bahwa kata tersebut tidak berasal dari bahasa Arab. Noeldeke memandangnya berasal dari bahasa Ibrani, syûra (“jajaran,” “deretan”); sementara Bell menganggapnya berasal dari bahasa Suryani (Siriak), surthâ atau shurtâ, sûrtâ, “tulisan,”  “teks kitab suci” atau “kitab suci”. Lihat Noeldeke, et.al., Geschichte, i, p. 30 f.; Bell, Origin, p. 52; Lihat juga Horovitz, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran, (Hildesheim: Georg Olms, 1964), p. 211 f.; Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, (Baroda: Oriental Institute, 1938),  pp. 180-182.
[12] Dalam ‘ulûm al-Qur’ân ada suatu pokok bahasan tentang i‘jâz al-Qur’ân. Namun dalam kebanyakan kasus, penekanan “keunikan” al-Quran ini lebih dititikberatkan pada kualitas bahasa, bukan pada kandungannya.
[13] Lihat Bukhari, Shahîh, (Maktabah Dahlan: tt.),  Kitâb al-Tafsîr, surat 9 pada bagian akhir.
[14] Ibid. surat 2:18 f.
[15] Lihat Suyuthi, Itqân, i, pp. 44.
[16] Abu al-Ma‘ali Uzaizi ibn Abd al-Malik mengemukakan sejumlah 55 nama untuk al-Quran. Lihat Suyuthi, Itqân, i, p. 51.
[17] Makna semacam ini juga terlihat pada gelar al-farûq yang dianugerahkan orang-orang Kristen berbahasa Siria kepada Umar ibn Khaththab. Kata ini tentunya tidak mungkin terambil dari akar kata faraqa (“memisahkan,” “diskriminasi,” atau “membedakan”), tetapi dari kata bahasa Suryani, pârôqâ, yang bermakna “pembebas,” “penyelamat” atau “penolong”, karena Umar telah menyelamatkan orang-orang tersebut dari tirani. Lihat A.A.A. Fyzee, A Modern Approach to Islam, (London: Asia Pub. House, 1963), p. 98.
[18] Cf. Watt, Medina, p. 12.
[19] Makna semacam ini merupakan makna awal kata majnûn. Tetapi sejak abad ke-7 kata ini telah dipahami bermakna “gila”, seperti dalam pemahaman sekarang. Lihat Watt, Bell’s Introduction, p. 78.
[20] Cf. Ibid., p. 77; Rahman, Major Themes, pp. 93-94, lihat juga, SEI, art. “kâhin,” “sihr,” pp. 206-208,545-547.
[21] Tidak ada aransemen kronologi al-Quran yang bisa dijadikan sandaran untuk sekuensi ayat-ayat tantangan ini. Kronologi Mesir, misalnya, menempatkan keseluruhan ayat ini dalam periode pewahyuan Makkiyah. 52:34, ditempatkan pada urutan ke-55, 10:38 pada urutan ke-51, 11:13 pada urutan ke-52, dan 28:49 pada urutan ke 49. Sementara Aransemen Noeldeke menempatkan keseluruhan ayat tersebut pada periode Makkah akhir, tetapi dengan sekuensi yang lebih berbeda lagi. Sekuensi kronologis ayat-ayat tantangan ini terlihat lebih logis dalam uraian di atas.
[22] Lihat Misalnya Mana‘ al-Qaththan, Mabâhits fî ‘Ulum al-Qur’ân, (Mansyurat al-‘Ashr al-hadits, tt.), p.259; dll.
[23] Lihat Paret, Konkordanz, komentar untuk 6:105, p. 149.
[24] Uraian yang lebih rinci tentang gagasan abad pertengahan Barat mengenai asal-usul al-Quran atau mengenai Islam pada umumnya bisa disimak dalam N. Daniel, Islam and the West: The Making of an Image (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1962), passim; Lihat juga R.W. Southern, Western Views of  Islam in the Middle Ages, (Cambridge, Massachuset: Harvard Univ. Press, 1962), passim; Hartmut Bobzin, “A Treasury of Heresies,” The Qur’an as Text,  pp.157-175; dll.  
[25] Karya ini terbit pertama kali di Bonn pada 1833, dicetak-ulang di Leipzig pada 1902 dan 1969.
[26] Lihat Noeldeke,et.al.,  Geschichte, i,  p. 6.
[27] Karya Katsch bermula dari disertasi yang ditulisnya pada 1943. Edisi yang digunakan di sini adalah  terbitan New York:  A.S. Barnes and Co., 1962.
[28] J. Wansbrough, Quranic Studies; Sources and Methods of Scriptural Interpretation, (Oxford: Oxford Univ. Press, 1977); lihat juga Taufik Adnan Amal, “Al-Quran di Mata Barat: Kajian Baru John Wansbrough,” Ulumul Quran, vol. 1, No. 4, (1990), pp. 37-46. Lihat juga pp. ... di bawah.
[29] Watt,  Mecca, pp. 1-29; H.A.R. Gibb, “Pre-Islamic Monotheism in Arabia,” Harvard Theological Review, vol. 55, (1962), pp. 269-280.
[30] Lihat pp. … di atas.
[31] Watt, Bell’s Introduction, pp. 184 f.
[32] Lihat Pengantar Rosenthal untuk cetakan-ulang karya C.C. Torey, Jewish Foundation,  p. xvii.
[33] Ibid., p. v-xxiii. Lihat juga A. Jeffery, “The Qur’an as Scripture,” The Muslim World, vol. 40, (1950), p. 157, untuk pandangan senada.
[34] Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen & Unwin, 1975), p. 43.
[35] Dalam teologi tradisional Islam, istilah wahyu biasanya dibedakan dari ilham, kasysyaf, fihrasat, dan lainnya. Wahyu merupakan bentuk komunikasi ilahi dengan para nabi, sementara istilah lainnya menunjuk kepada bentuk komunikasi ilahi dengan makhluk yang non-nabi.
[36] Tentang kitâb sebagai kandungan wahyu, lihat juga 31:1 ff.; 27:1f.; 7:52; 42:52; dll.
[37] Watt, Bell’s Introduction, p. 21.
[38] Lihat misalnya Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Dar al-Mishriyah, tt.),  s.v.
[39] Lihat misalnya Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa ‘uyûn al-aqâwîl wujûh al-ta’wîl,  (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1966), surat 42:51.
[40] Lihat lebih jauh al-Qaththan, Mâbahits, pp. 37 f.
[41] Watt, Bell’s Introduction, p. 23.
[42] Lihat lebih jauh, Taufik Adnan Amal & Samsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual, (Bandung: Mizan, 1989), pp. 45-48, tentang perkembangan konsep malaikat utusan Tuhan bagi para nabi.
[43] Perkembangan senada bahkan terjadi dalam gagasan al-Quran tentang Tuhan. Lihat, ibid., pp. 52-56.
[44] Lihat lebih jauh al-Baqi, Mu’jam, entri “r-w-h.” Frekuensi pemunculan  identifikasi ini paling banyak di dalam al-Quran.
[45] Lihat 3:39,42; cf. 19:17 untuk kisah senada, tetapi disini diidentifikasi sebagai rûh yang menjelma dalam rupa manusia (basyar sawiy)
[46] Lihat 81:19; 69:40; dalam 42:51 diidentifikasi sebagai rasûl.
[47] Rahman, Major Themes, pp. 95 f.
[48] Ibid., p. 97.
[49] Cf. 97:4, yang menyebutkan malaikat-malaikat dan Ruh turun di malam al-qadr.
[50] Lihat misalnya Rahman, MajorThemes, pp. 98,104 cf. Paret, Konkordanz, p. 25. untuk 2:109, yang menafsirkan amr sebagai sejenis hipostase kosmologis dalam pengertian logos atau memra.
[51] Lihat A.J. Wensinck, Concordance et indices de la tradition musulmane, 8 vols., (Leiden: E.J. Brill, 1933-88), q.v.
[52] Ibid., q.v.
[53] Lihat Rahman, Major Themes, p. 97; lihat juga artikel F. Rahman, “Devine Revelation and the Prophet,” Hamdard Islamicus, vol. 1 (1978), p. 67.
[54] Perbedaan penghitungan masa pewahyuan al-Quran ini disebabkan perbedaan penetapan lamanya Nabi tinggal di Makkah setelah diangkat menjadi rasul. Sebagian menghitung 10 tahun, sebagian 13 tahun, dan sebagian lagi 15 tahun. Sementara tentang lamanya Nabi bermukim di Madinah, disepakati bahwa ia berdiam di sana selama 10 tahun.
[55] Lihat Abu Thahir ibn Ya‘qub al-Firuzabadi, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn  ‘Abbâs, (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, tt.),  p. 86.
[56] Zarkasyi, Burhân, i, p. 228.
[57] Zarkasyi, ibid. Lihat juga Suyuthi, Itqân, i, p. 41.
[58] Lihat juga 76:23 yang senada dengan ini.
[59] Sebagian mufassir menafsirkan masjid al-aqshâ sebagai tempat peribadatan yang terletak di Yerusalem, berdasarkan sejumlah hadits (Lihat Wensinck, Concordance, q.v). Tetapi keterangan semacam ini bukan satu-satunya yang ditemukan dalam koleksi-koleksi hadits tentang mi‘raj. Hadits-hadits lainnya memberi keterangan bahwa perjalanan spiritual Nabi tersebut bermula dari Makkah, tanpa menyebut perjalanan ke Yerusalem [Lihat misalnya Bukhari,Shahîh, Kitâb al-Shalât, bâb kayfa furidlat al-shalât ...; Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân ‘an Ta’wîl أy al-Qur’ân, eds. Mahmud Muhammad Syakir & Ahmad Muhammad Syakir, (Kairo:Dar al-Ma‘arif, 1966),  surat 15:3; dll.]. Di sisi lain terdapat suatu masalah rumit di sini: Bagaimana mungkin suatu tempat peribadatan di Yerusalem diidentifikasi sebagai masjid al-aqshâ, sementara di lain tempat di dalam al-Quran (30:3) Yerusalem (Palestina) diidentifikasi sebagai adnâ al-ardl (negeri terdekat)? Lebih jauh, Thabari tampaknya tidak memasukkan versi hadits tentang perjelanan Nabi ke Yerusalem, tetapi menuturkan perjalanan spiritual Nabi ke langit dunia tanpa menyinggung Yerusalem (Lihat Thabari, Tarikh, i, 1157 ff.). Barangkali ini merupakan indikasi penolakan sejarawan agung tersebut terhadap versi perjalanan ke Yerusalem. Ungkapan masjid al-aqshâ ini  barangkali merujuk kepada tempat ibadat para malaikat di langit (cf. 7:206; 21:l9f; 41:38; 39:75; 40:7; 42:5; 2:30; dll.).
[60] Rahman, Islam, pp. 30-32, “Divine Revelation,” p. 66 ff.
[61] Lihat Rahman, “Divine Revelation”,  ibid., p. 67.
[62] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981),  pp. 20 ff.
[63] Fazlur Rahman, Islam, 2nd edition, (Chicago & London: The Univ. of Chicago Press, 1979), p. 32-33; lihat juga karyanya,  Major Themes, pp. 96-100.
[64] Lihat Zarkasyi, Burhân, i, pp. 229 f.
[65] Lihat p. … di bawah.
[66] Lihat Noeldeke, et.al., Geschichte, i, p. 26.
[67] Suyuthi, Itqân, i,  p. 21.
[68] Thabari, Târîkh, ii, pp. 419 ff; Tafsîr, surat 53:19 ff.
[69] F. Rahman, MajorThemes, p. 89.
[70] Cf. Suyuthi, Itqân, i, pp. 45 ff.
[71] Lihat misalnya Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naysaburi, Shahîh , Kitâb  al-Fadlâ’il, bâb 23; Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Sawrah al-Tirmidzi, al-Jâmi‘ al-Shahîh, (Sunan), (Maktabah Dahlan, tt.),  Manâqib, bâb mâ jâ’a kayfa kâna yanzilu al-wahy ‘alâ al-nabî s.aw.; dll.
[72] Suyuthi, Itqân, i, pp. 45 f.
[73] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/ Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),  pp. 33 f.
[74] Thabari, Târîkh, i, 1262.
[75] Lihat Bukhari, Shahîh , Kitâb al-Tafsir, surat 53, Tirmidzi, Sunan, abwâb al-tafsîr, surat 53; dll.
[76] Bukhari, Ibid., Kitâb al-Tafsîr, surat 53:11,  Tirmidzi, ibid., abwâb al-Tafsîr, surat 53:11.
[77] Rahman, Islam, pp. 13-14, 31-32; juga Major Themes, p. 97.
[78] Tentang berbagai hadits dalam kumpulan-kumpulan hadits termasyhur di kalangan kaum Muslimin – yakni Kutub al-Sittah – tentang gejala fisik yang menyertai pengalaman kenabian Muhammad ini, telusuri lebih jauh dalam  A.J. Wensinck, A Handbook of Early Muhammadan Tradition, (Leiden: E.J. Brill, 1927), pp. 162 f.
[79] Lihat Daniel, Islam and The West , pp. 27-28, passim.
[80] Lihat Noeldeke, et.al., Geschichte, i, p. 24.
[81] Lihat Watt, Bell’s Introduction, p. 17.
[82] Karya Noeldeke, Geschichte des Qorans, terbit pertama kali di Goettingen pada 1860.
[83] Ibid., p. 17; cf. Noeldeke, et.al., Geschichte, i, pp. 1-5.
[84] Rahman, Islam, p. 13.
[85] Watt, Bell’s Introduction, p. 18.
[86] Ibid.
[87] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ZIKIR VERSI TAREKAT

1. Enam tingkatan dalam persiapan zikir, I. Berniat Dalam niat itu diucapkan : "Ilaahi anta maqshuudii wa ridhaka mathlubi". (Ya Allah, Engkaulah yang aku maksud dan keridhaan-Mulah yang aku cari). II. Duduk Tarekat. Yaitu duduk seperti duduk tahiyat terakhir dalam sholat, kepala ditundukkan ke sisi kiri. III. Rabithatu Mursyid (rasa pertalian dgn Nabi Muhammad saw). 1. Mengucapkan: "Assalmu alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wabarakatuh". Pada tingkat ini seolah-olah Nabi Muhammad saw hadir di depan kita bersalaman. 2. Kemudian mengucapkan: "Assalamu 'alaina wa 'ala ibadishshalihin". Mengucapkan salam atas diri dan hamba-hamba Allah swt yg sholeh. IV. Bertobat. A. Membaca Istighfar tujuh kali Diniatkan supaya diampunkan oleh Allah swt dosa kita, yaitu: 1. Mata, 2. Telinga, 3. Hidung, 4. Mulut, 5. Tangan, 6. Kaki, dan 7. Syahwat. B. Membaca Istighfar tujuh kali untuk diampunkan dosa bathin, yait...

KISAH SINGA DAN GAJAH

Di sebuah hutan terdapat raja hutan (singa) yang merasa dirinya hebat, dan untuk melegalisasikan kehebatannya, maka si singa bertanya kepada sebagian penghuni hutan. Bertanyalah si singa kepada seekor gorila. Singa: “Hai gorila, siapakah yang paling gagah di hutan ini?” Gorila: “Anda tuanku Baginda.” Banggalah si singa mendengar itu. Kemudian ia bertemu dengan seekor banteng. Singa: “Hai banteng, siapakah yang paling gagah dan hebat di hutan ini?” Banteng: “Sudah tentu Anda Baginda Raja hutan.” Mendengar jawaban-jawaban dari sebagian hewan yang ia temui, merasa sombonglah si singa. Kemudian ia berjalan kembali dengan PDnya, dan di tengah jalan ia bertemu dengan seekor gajah. Singa: “Hai gajah,Kau adalah hewan dengan hidung,telinga,dan badan terbesar di hutan ini,mungkin otakmu juga sebesar tubuhmu,,aku mau tanya, siapakah yang paling gagah dan perkasa di hutan ini?” akan Tetapi gajah tidak menjawab, dan di luar dugaan singa, gajah langsung menghajar dan menginja...

TAKHRIJ HADITS TENTANG MENDATANGI DUKUN

TAKHRIJ HADITS TENTANG MENDATANGI DUKUN Penelitian  takhrij dilakukan dengan menggunakan metode takhrij al-hadits bi al-lafzh dengan menggunakan program CD Al-Maktabah al-Syamilah Versi 3.28 dengan kata kunci يَأْتُونَ الْكُهَّان . Menurut hasil pencarian, potongan hadits tesebut terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud, juz 1, hlm. 349; Musnad Ahmad , juz 39, hlm. 184, 185 dan 186; Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz 8, hlm. 138; Mu’jam al-Kabir li al-Thabrani , juz 14, hlm. 326 dan 327. Berikut ini dikemukakan secara lengkap teks hadits tersebut serta jalur-jalur sanadnya:       سنن أبي داود (ج 1\ ص 349) باب تَشْمِيتِ الْعَاطِسِ فِى الصَّلاَةِ. رقم : 931 حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى ح وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ - الْمَعْنَى - عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ حَدَّثَنِى يَحْيَى بْنُ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ هِلاَلِ بْنِ أَبِى مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْ...