Langsung ke konten utama

Makalah Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an Bag. 1

Pendahuluan
 Taufiq Adnan Amal
Al-Quran bagi kaum Muslimin adalah verbum dei (kaâlmu-llâh) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan apapun: “Seandainya Kami turunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, maka kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah karena gentar kepada Allah” (59:21). Kandungan pesan ilahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial kaum Muslimin dalam segala aspeknya. Bahkan, masyarakat Muslim mengawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan merespon dakwahnya. Itulah sebabnya al-Quran berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Quran, kehidupan, pemikiran dan kebudayaan kaum Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Al-Quran memang tergolong ke dalam sejumlah kecil kitab suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan memperkukuh identitas kolektif.[1] Ia juga digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum Muslimin, serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga.[2] Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan pelaksanaan ajarannya merupakan kewajiban setiap Muslim.
Sejumlah pengamat Barat memandang al-Quran sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi.[3] Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya telah menyebabkan masalah khusus bagi mereka.[4] Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar dua puluh tahunan, merefleksikan perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan dalam gaya dan kandungan, bahkan ajarannya. Sekalipun bahasa Arab yang digunakannya dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami.[5] Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahaminya, telah menghasilkan berton-ton kitab tafsîr yang berupaya menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian, sejumlah besar mufassir Muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyâbihât yang, menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.
Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Quran telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan penerimaan pesan ketuhan al-Quran oleh Muhammad, kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang telah menghafal dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilisasi teks dan bacaannya yang mencapai kemajuan berarti pada abad ke-3H/9 dan abad ke-4H/10, serta berkulminasi dengan penerbitan edisi standar al-Quran di Mesir pada 1342H/1923, kitab suci kaum Muslimin ini masih menyimpan sejumlah misteri dalam berbagai tahapan perjalanan kesejarahannya.
Telah banyak buku yang ditulis kesarjanaan Islam dan Barat untuk mengungkapkan perjalanan kesejarahan al-Quran. Tetapi, karya-karya kesarjanaan Muslim pada umumnya disusun mengikuti sudut pandang resmi ortodoksi Islam yang rentan terhadap kritik sejarah. Demikian pula, evaluasi Barat atas sejarah al-Quran pada umumnya dilandasi prasangka religius – terutama dari tradisi Yudeo-Kristiani – atau prasangka intelektual dalam bentuk prakonsepsi gagasan dan kategori, serta prasangka kultural yang berakar pada etnosentrisme Barat. Kajian-kajian Barat juga sering tidak simpatik dan, hingga taraf tertentu, telah mengaduk-aduk berbagai prasangka dogmatis umat Islam.[6]
Di sisi lain, sejumlah karya tentang sejarah al-Quran yang telah masuk ke pasaran masyarakat Muslim Indonesia, selain masih bisa dihitung dengan jari, terlihat masih miskin dari segi kandungan dan kualitasnya. Beberapa karya terjemahan  dari bahasa Arab,[7]  tampak  tidak  kritis dan  analitis,   serta  –  dalam kebanyakan kasus – lebih merefleksikan perspektif ortodoksi Islam tentang sejarah al-Quran.  Pengecualiannya  adalah  karya  Abu  Abd  Allah  az-Zanjani, Tarikh al-Qur’ân, yang dalam beberapa butir tertentu merefleksikan sudut pandang Syi‘ah anutannya – seperti pandangan tentang mushaf al-Quran yang telah “terkumpul” seluruhnya pada masa Nabi oleh Ali ibn Abi Thalib, bahkan lengkap dengan takwil dan tafsirnya.[8] Lebih jauh, karya az-Zanjani juga memiliki kelemahan yang sama dengan karya-karya kesarjanaan Muslim lainnya.
Karya rintisan sarjana Indonesia di bidang sejarah al-Quran ditulis Adnan Lubis, Tarikh al-Quran – terbit di Medan pada 1941.[9]  Setelah itu, muncul karya Abu Bakar Aceh, Sejarah al-Quran (1948).[10] Meskipun mengaku mendapat inspirasi dari karya-karya kesarjanaan Barat tentang sejarah al-Quran,[11] karya Aceh memiliki kandungan yang tidak sistematis menurut ukuran penulisan sejarah. Bahan-bahan yang secara ketat tidak dihitung sebagai bagian sejarah al-Quran dimasukkan ke dalam bukunya tanpa pandang bulu.[12] Karya lainnya adalah Sejarah al-Quran, disusun H.A. Mustofa.[13] Sebagaimana rata-rata karya kesarjanaan Islam, buku ini – selain kandungannya relatif miskin dan memprihatinkan – juga terlihat tidak kritis dalam memperlakukan data kesejarahan al-Quran.
Dari pertimbangan-pertimbangan di atas, terlihat bahwa suatu rekonstruksi sejarah al-Quran yang bisa bertahan terhadap kritik sejarah, dan sekaligus bisa berhadapan dengan berbagai prasangka Barat, adalah kebutuhan yang cukup mendesak. Kajian ini ingin melakukan rekonstruksi semacam itu dengan menelusuri masalah-masalah utama tentang asal-usul dan pewahyuan al-Quran, pengumpulannya, serta stabilisasi teks dan bacaannya. Dengan demikian, permasalahan-permasalahan yang menjadi objek studi ini bisa dikatakan mencakup keseluruhan etape perjalanan historis al-Quran. Hasil kajiannya diharapkan bisa memberikan kontribusi yang signifikan di bidang sejarah kitab suci kaum Muslimin.
Sesuai dengan tujuan utamanya, kajian ini mesti berpegang secara ketat pada pendekatan sejarah. Namun, karena beberapa bagian dari sejarah tersebut melibatkan intensitas pemahaman keagamaan, maka interpretasi yang dilakukan di sini tidak hanya bersifat historis semata, tetapi juga bersifat islami. Data kesejarahan di sini tidak diperlakukan sebagai sekadar data mati untuk dianalisis, tetapi sebagai sesuatu yang memiliki implikasi religius bagi masa depan kaum Muslimin dan kitab sucinya. Karena itu, kajian ini juga bersifat preskriptif dan diharapkan bisa menyumbangkan perspektif-perspektif yang baru dan segar dalam studi-studi al-Quran.
Dalam penelusuran jejak historis al-Quran, asal-usul, dan perjalanan kesejarahannya yang awal, kitab suci itu akan diperlakukan dan digunakan sebagai sumber primer. Sebagaimana diakui, al-Quran merupakan rekaman otentik berbagai aspek kesejarahan pra-Islam dan pada masa pewahyuannya. Sumber-sumber lainnya, seperti hadits dan karya-karya klasik ataupun modern kesarjanaan Muslim, akan digunakan secara kritis dalam penelusuran tersebut. Demikian pula, karya-karya kesarjanaan Barat yang bertalian dengan kajian al-Quran – baik tentang sejarah al-Quran ataupun lainnya – juga akan dieksploitasi dengan cara yang sama. Dalam sejumlah kasus, akan dilakukan evaluasi terhadap gagasan-gagasan kesarjanaan Muslim dan Barat tentang berbagai aspek kesejarahan al-Quran. Sementara keragaman tradisi teks dan bacaan al-Quran, terutama menyangkut mushaf-mushaf pra-utsmani, akan didekati dengan memanfaatkan edisi standar al-Quran  Mesir (1923) – yang menggunakan kiraah Hafsh ‘an Ashim –  sebagai pijakan.
Kajian tentang perjalanan historis al-Quran ini dituangkan ke dalam tiga bagian utama. Bagian pertama akan mengungkapkan asal-usul dan pewahyuan al-Quran. Bagian ini terdiri dari tiga bab: bab pertama berupaya meletakkan al-Quran dalam latar kesejarahannya – baik dalam konteks situasi sosio-politik serta religius Arabia menjelang dan pada saat pewahyuan al-Quran, maupun dalam konteks kehidupan Nabi Muhammad sendiri. Bab kedua berupaya menelusuri asal-usul al-Quran dari gagasan kitab suci tersebut dan gagasan-gagasan lain yang berupaya memberi gambaran mengenainya. Pembicaraan tentang asal-usul al-Quran akan mengarah pada diskusi tentang hubungan wahyu ilahi dan Nabi yang juga dibahas dalam bab ini. Sementara pewahyuan bagian-bagian al-Quran, yang menelaah secara kronologis sekuensi pewahyuannya menurut berbagai sudut pandang, akan dikemukakan dalam bab ketiga.
Bagian kedua akan mendiskusikan pengumpulan al-Quran, baik dalam bentuk hafalan dan terutama sekali dalam bentuk tulisan, yang bermula pada masa Nabi dan berujung dengan kodifikasi resmi pada masa kekhalifahan Utsman ibn Affan. Bagian ini terdiri dari empat bab. Dalam bab keempat akan dilacak berbagai upaya awal dalam pengumpulan al-Quran pada masa kehidupan Nabi dan beberapa saat setelah wafatnya. Kandungan kumpulan al-Quran yang awal ini juga akan didiskusikan di dalam bab tersebut. Beberapa kumpulan al-Quran yang berpengaruh setelah wafatnya Nabi hingga beberapa saat setelah promulgasi mushaf resmi utsmani akan dikemukakan dalam bab kelima, berikut paparan tentang berbagai perbedaan yang eksis didalamnya dengan tradisi teks dan bacaan utsmani. Kodifikasi mushaf utsmani dibahas dalam bab selanjutnya – bab keenam – disertai paparan tentang penyebaran, varian-varian, dan berbagai karakteristik utamanya. Bagian kedua ini diakhiri dengan suatu bab tentang otentisitas dan integritas mushaf utsmani. Berbagai gagasan yang dikemukakan sejauh ini tentangnya, baik dari kalangan Muslim ataupun non-Muslim, akan dieksplorasi secara kritis.
Bagian ketiga, terdiri dari dua bab, akan mengungkapkan berbagai proses yang mengarah dan berujung pada stabilisasi teks dan bacaan al-Quran. Proses stabilisasi teks al-Quran diawali dengan standardisasi mushaf utsmani dan dicapai dengan serangkaian upaya eksperimental untuk menyempurnakan aksara Arab, yang memperoleh bentuk finalnya pada penghujung abad ke-3H/9. Bab kedelapan dipusatkan untuk menelaah proses penyempurnaan aksara tersebut. Sementara proses stabilisasi bacaan al-Quran juga dicapai melalui serangkaian upaya unifikasi bacaan yang berjalan berdampingan dengan penyempurnaan aksara Arab setelah dipromulgasikannya mushaf utsmani. Proses ini mencapai kemajuan sangat berarti pada permulaan abad ke-4H/10 – dengan diterimanya gagasan Ibn Mujahid mengenai kiraah tujuh – dan berkulminasi pada 1923 dengan terbitnya al-Quran edisi standar Mesir yang menjadi panutan mayoritas umat Islam. Proses unifikasi bacaan ini dibahas dalam bab kesembilan.
Berbagai simpulan yang dapat ditarik dari kajian ini akan diketengahkan dalam bagian penutup, disertai beberapa implikasi penelitian. Di samping itu, dua lampiran yang mengungkapkan respon umat manusia terhadap al-Quran juga disertakan. Lampiran pertama mengemukakan beberapa respon kaum Muslimin terhadap al-Quran, lewat pembacaan dan penghafalan kitab suci tersebut, penerjemahan, serta penafsirannya. Sedangkan lampiran kedua mendiskusikan respon kesarjanaan Barat terhadap al-Quran melalui terjemahan, suntingan dan kajiannya.

Bagian Pertama
 Asal-usul dan Pewahyuan al-Quran


Bagian ini akan mengungkapkan asal-usul dan pewahyuan al-Quran, yang dituangkan ke dalam tiga bab: bab pertama mencoba meletakkan al-Quran dalam latar kesejarahannya – baik dalam konteks situasi sosio-politik serta religius Arabia menjelang dan pada saat pewahyuan al-Quran, maupun dalam konteks kehidupan Nabi Muhammad sendiri. Bab kedua berupaya menelusuri asal-usul al-Quran dari gagasan kitab suci tersebut dan gagasan-gagasan lain yang berupaya memberi gambaran mengenainya. Pembicaraan tentang asal-usul al-Quran akan mengarah pada diskusi tentang hubungan wahyu ilahi dan Nabi. Sementara pewahyuan bagian-bagian al-Quran, yang menelaah secara kronologis sekuensi pewahyuannya menurut berbagai sudut pandang, akan dikemukakan dalam bab ketiga.

 
 









 BAB  1

Latar Kesejarahan


Situasi Politik

Jazirah Arab terletak sangat terisolasi, baik dari sisi daratan maupun lautan. Kawasan ini – tempat Muhammad tampil dengan pekabaran ilahinya pada abad ke-7 perhitungan tahun Masehi – sebenarnya terletak di pojok kultural yang mematikan. Sejarah dunia yang besar telah jauh meninggalkannya. Perselisihan yang membawa peperangan antar suku berlangsung dalam skala besar-besaran di stepa-stepa jazirah tersebut. Dari sudut pandang negara-negara adikuasa, Arabia merupakan kawasan terpencil dan biadab, sekalipun memiliki posisi cukup penting sebagai kawasan penyangga dalam ajang perebutan kekuasaan politik di Timur Tengah, yang ketika itu didominasi dua imperium raksasa: Bizantium dan Persia.
Kekaisaran Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur – dengan ibu kota Konstantinopel – merupakan bekas Imperium Romawi dari masa klasik. Pada permulaan abad ke-7, wilayah imperium ini telah meliputi Asia Kecil, Siria, Mesir dan bagian tenggara Eropa hingga Danube. Pulau-pulau di Laut Tengah dan sebagian daerah Italia serta sejumlah kecil wilayah di pesisir Afrika Utara juga berada di bawah kekuasaannya.
Saingan berat Bizantium dalam perebutan kekuasaan di Timur Tengah adalah Persia.  Ketika itu, imperium ini berada di bawah kekuasaan dinasti Sasanid (Sasaniyah). Ibu kota Persia adalah al-Mada’in, terletak sekitar dua puluh mil di sebelah tenggara kota Bagdad yang sekarang. Wilayah kekuasaannya terbentang dari Irak dan Mesopotamia hingga pedalaman timur Iran dewasa ini serta Afganistan.
Perebutan kekuasaan kedua imperium adidaya di atas memiliki pengaruh nyata terhadap situasi politik di Arabia ketika itu. Kira-kira pada 521, Kerajaan Kristen Abisinia dengan dukungan penuh – dan mungkin atas desakan – Bizantium menyerbu serta menaklukkan dataran tinggi Yaman yang subur di barat daya Arabia. Memandang serbuan tersebut sebagai ancaman terhadap kekuasaannya, Dzu Nuwas – penguasa Arabia Selatan pro-Persia – bereaksi dengan membantai orang-orang Kristen Najran yang menolak memeluk agama Yahudi. Peristiwa pembantaian yang terjadi di sekitar 523 ini memiliki pengaruh traumatik terhadap keseluruhan jazirah Arab dan dirujuk dalam suatu bagian al-Quran (85:4-8)[GP1] . Atas desakan dan dukungan Bizantium, pada 525 Dzu Nuwas berhasil digulingkan dari takhtanya lewat suatu ekspedisi yang dilakukan orang-orang Abisinia. Tetapi sekitar 575, dataran tinggi Yaman kembali jatuh ke tangan Persia.
Menjelang lahirnya Nabi Muhammad, penguasa Abisinia di Yaman –  Abraham, atau lebih populer dirujuk dalam literatur Islam sebagai Abrahah – melakukan invasi ke Makkah, tetapi gagal menaklukkan kota tersebut lantaran epidemi cacar yang menimpa bala tentaranya. Ekspedisi ini – dirujuk al-Quran dalam surat 105 – pada prinsipnya memiliki tujuan yang secara sepenuhnya berada di dalam kerangka politik internasional ketika itu, yaitu upaya Bizantium untuk menyatukan suku-suku Arab di bawah pengaruhnya guna menentang Persia. Sementara para sejarawan Muslim menambahkan tujuan lain untuknya. Menurut mereka, ekspedisi tersebut – terjadi kira-kira pada 552[14] – dimaksudkan untuk menghancurkan Ka‘bah dalam rangka menjadikan gereja megah di San‘a, yang dibangun Abrahah, sebagai pusat ziarah keagamaan di Arabia.[15]
Upaya kedua imperium adikuasa itu dalam rangka memperoleh kontrol politik atas jazirah Arabia biasanya dilakukan secara tidak langsung, seperti dengan jalan mendukung penguasa-pengusa kecil di perbatasan kawasan tersebut. Kontrol politik Persia atas sejumlah kota kecil di pesisir timur dan selatan Arabia, misalnya, diperoleh dengan mendukung kelompok-kelompok politik pro-Persia di daerah-daerah tersebut. Suatu insiden yang terjadi di Makkah sekitar 590 – biasanya dikaitkan dengan nama Utsman ibn al-Huwairits – dapat dilihat sebagai upaya Bizantium untuk memperoleh kontrol politik atas kota itu dengan jalan membantu orang yang pro Bizantium ini menjadi penguasanya. Tetapi, orang-orang Makkah terlihat tidak berminat menjadi bawahan salah satu adikuasa dunia, lantaran implikasi politiknya, dan orang dukungan Bizantium itu dipaksa kabur dari kota mereka.
Pada permulaan abad ke-7, Persia mencatat serangkaian kemajuan berarti dalam  upaya  perluasan  pengaruh  politiknya.  Pada 611 bala tentaranya berhasil menaklukkan kota Raha, kemudian bergerak ke selatan dan menundukkan satu demi satu wilayah Imperium Bizantium. Siria jatuh ke tangannya pada 613, menyusul Yerusalem pada 614 dan Mesir pada 617. Bahkan, pada 626 pasukan Persia mengepung Konstantinopel, meskipun berlangsung sangat singkat dan tidak membawa hasil. Namun, penjarahan Yerusalem yang dilakukan setelah suatu pemberontakan terhadap garnisun Persia, pembataian penduduk kota tersebut dan dibawa larinya benda yang dipandang sebagai salib suci, telah membangkitkan emosi keagamaan orang-orang Kristen di seluruh wilayah Imperium Bizantium. Kejadian ini tentunya sangat kondusif bagi Heraclius – pengusa tertinggi Bizantium ketika itu – untuk menggalang kembali kekuatan militernya. Setelah menghadapi orang-orang Avar yang menyerang Konstantinopel dari utara, pada 622 Heraclius memusatkan perhatian untuk menghadapi Persia. Suatu invasi yang berani ke Irak dilakukannya pada 627. Walaupun bala tentara Bizantium segera ditarik mundur setelah penyerbuan itu, namun ketegangan-ketegangan yang muncul di dalam negeri Persia, akibat peperangan berkepanjangan, mulai terasa. Kurang lebih setahun sebelumnya, Khusru II –  penguasa Persia waktu itu – dibunuh; dan penggantinya yang memiliki banyak musuh di dalam negeri lebih menginginkan perdamaian. Peperangan akbar antara kedua imperium adikuasa inipun berakhir. Negosiasi penyerahan propinsi-propinsi Bizantium yang direbut Persia berjalan berlarut-larut hingga pertengahan 629. Akhirnya, pada penghujung tahun itu Heraclius kembali ke Kontantinopel dengan kemenangan di tangan.
Perebutan kekuasaan yang berkepanjangan antara Bizantium dan Persia, seperti telah diutarakan, mendapat perhatian serius dari orang-orang Arab ketika itu, lantaran relevansi politiknya yang nyata terhadap mereka. Tentang perebutan kekuasaan kedua adikuasa tersebut, al-Quran menuturkan: “Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri terdekat yang setelah kekalahan itu mereka akan memperoleh kemenangan dalam beberapa tahun lagi …” (30:2-4). Bagian awal pernyataan ini merujuk kepada serangkaian kekalahan yang dialami Bizantium pada permulaan abad ke-7 – khususnya pendudukan Yerusalem oleh balatentara Persia. Sementara bagian selanjutnya merupakan prediksi tentang kemenangan akhir Bizantium atas Persia pada perempatan kedua abad yang sama.


Kehidupan di Jazirah Arab

Risalah yang dibawa Muhammad memiliki keterkaitan yang erat dengan milieu dunia perniagaan masyarakat perkotaan Arab ketika itu. Tanah air pertama Islam, Makkah, merupakan pusat perniagaan yang sangat makmur. Sementara tanah air keduanya, Yatsrib – atau kemudian berganti nama dan lebih populer dengan Madinah – adalah oase kaya yang juga merupakan kota niaga, sekalipun tidak sebesar Makkah. Meskipun Madinah memiliki peran sentral yang amat vital dalam evolusi eksternal misi kenabian Muhammad, namun milieu komersial Makkahlah yang tampaknya paling mendominasi ungkapan-ungkapan al-Quran.
Pada penghujung abad ke-6, para pedagang besar kota Makkah telah memperoleh kontrol monopoli atas perniagaan yang lewat bolak-balik dari pinggiran pesisir barat Arabia ke Laut Tengah. Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi ke selatan di musim dingin dan ke utara di musim panas, dirujuk dalam al-Quran (106:2). Rute ke selatan adalah ke Yaman, tetapi biasanya juga diperluas ke Abisinia. Sementara rute ke utara adalah ke Siria. Di tangan kafilah-kafilah dagang inilah orang-orang Makkah mempertaruhkan eksistensinya yang asasi. Di lembah kota Makkah yang tandus, pertanian maupun peternakan adalah impian indah di siang bolong. Kota ini sangat bergantung pada impor bahan makanan. Karena itu, kehidupan ekonominya yang khas adalah di bidang perniagaan dan kemungkinan besar hanya bersifat moneter.[16]
Perdagangan dan urusan-urusan finansial yang bertalian dengannya menjanjikan satu-satunya penghasilan bagi penduduk kota Makkah. Bahkan, secara ekonomik, hampir setiap orang menaruh minat yang besar pada kafilah-kafilah dagang. Penjarahan atas suatu kafilah ataupun musibah lain yang menimpanya akan merupakan pukulan berat dan bencana bagi penduduk kota tersebut. Itulah sebabnya, supaya keamanan kafilah-kafilah  terjamin, orang-orang Quraisy harus melakukan negosiasi dengan negara-negara tetangganya dan menjalin hubungan baik dengan suku-suku pengembara di berbagai bagian rute perniagaan.
Empat bersaudara anggota suku Quraisy dari keluarga Abd al-Manaf – Hasyim, al-Muththallib, Abd al-Syams dan Naufal – dikabarkan telah memperoleh jaminan keamanan[17] dari penguasa-penguasa Bizantium, Persia, Abisinia dan Himyari. Hasyim dilaporkan memperoleh jaminan keamanan dari sejumlah penguasa, termasuk dari Qayshar Bizantium; Al-Muththalib juga memperoleh perjanjian yang sama dari penguasa Yaman; Abd al-Syams mendapatkannya dari penguasa Abisinia; dan Naufal memperolehnya dari Kisra Persia. Jaminan keamanan sejenis juga diperoleh dari suku-suku Arab di sepanjang perjalanan keempat bersaudara anggota suku Quraisy itu.[18] Jadi, bisa dikatakan bahwa imperium niaga orang-orang Makkah dalam kenyataannya dibangun  keluarga Abd al-Manaf lewat pakta-pakta perniagaan mereka.
Supremasi kaum Quraisy di dunia perniagaan, dalam kenyataannya, memiliki fondasi religius. Mereka berdiam di dalam suatu kawasan yang dipandang suci seluruh suku Arab. Suku-suku ini bahkan rela meregang nyawa mempertahankan gagasan tentang kesucian Makkah.[19] Lebih jauh, mereka juga merupakan penjaga Ka‘bah, dengan “batu hitam” (al-hajar al-aswad) beserta segala berhala di dalamnya, yang merupakan tempat suci yang diziarahi orang dari berbagai penjuru Arabia Barat. Jadi, Ka‘bah jelas merupakan tempat suci yang memiliki posisi sentral bagi suku-suku di Arabia Barat, dan hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi aktivitas niaga yang dijalankan orang-orang Makkah.[20]
Meskipun kata tâjir (“pedagang”) tidak digunakan di dalam al-Quran dan kata tijârah (“perniagaan”) hanya disebutkan dalam sembilan kesempatan,[21]  perniagaan  merupakan  tema  sentral  dalam  kehidupan  yang  tercermin dalam perbendaharaan kata yang digunakan kitab suci tersebut. Seorang sarjana Amerika beragama Yahudi, C.C. Torrey, yang melakukan penelitian tentang hal ini, sampai kepada kesimpulan bahwa istilah-istilah perniagaan digunakan kitab suci tersebut untuk mengungkapkan butir-butir doktrin yang paling mendasar, bukan sekadar kiasan-kiasan ilustratif.[22] Ia menganalisis terma-terma perniagaan  dalam kategori-kategori berikut: terma-terma matematik (hisâb, al-hasîb, ahshâ), takaran dan ukuran (wazana, mîzân, tsaqula, mitsqâl), pembayaran dan upah (jazâ, tsawwaba, tsawâb, waffâ, ajr, kasaba), kerugian dan penipuan (khasira, bakhasa, zhalama, alata, naqasha), jual-beli (syaraâ, isytarâ, bâ‘a, tijârah, tsaman, rabiha), serta pinjam-meminjam dan jaminan (qardl, aslafa, rahîn).[23]
Ungkapan-ungkapan dari dunia perniagaan memang menghiasi lembaran-lembaran al-Quran dan digunakan untuk mengungkapkan ajaran-ajarannya yang asasi. Hisâb (lbژy), suatu istilah yang lazim digunakan untuk perhitungan untung-rugi dalam dunia perniagaan, muncul di beberapa tempat dalam al-Quran sebagai salah satu nama bagi Hari Kiamat (yawm al-hisâb),[24] ketika perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dilakukan dengan sangat cepat (sari‘ al-hisâb).[25] Sementara kata hasîb (“pembuat perhitungan,” “penghitung”) dinisbatkan kepada Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia.[26] Gagasan utama yang mendasari “perhitungan” ilahi adalah kitâb, yang merekam segala perbuatan baik dan buruk manusia.[27] Timbangan akan dipasang di Hari Perhitungan dan seluruh perbuatan manusia akan ditakar.[28] Setiap orang akan bertanggungjawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya.[29] Perbuatan baik dan direstui akan memperoleh imbalan atau upah; sebaliknya, perbuatan buruk dan dikutuk akan diganjar azab neraka. Kata-kata kerja kasaba (“memperoleh keuntungan,” “berusaha,” “berbisnis”), jazâ (“membayarkan,” “memberi upah,” “ganjaran,” “imbalan”), âjara (“memberi upah,” “membayar nilai kontrak,” “imbalan”), serta berbagai bentuk konjugasinya, sering digunakan al-Quran dalam konteks-konteks semacam ini.[30]
Ungkapan-ungkapan dari dunia perniagaan lainnya yang lazim digunakan dalam masyarakat niaga Makkah, seperti “menjual,” “membeli” – atau “barter” – dan “transaksi” pada umumnya, juga digunakan al-Quran untuk mengungkapkan gagasan-gagasan keagamaan Islam yang mendasar. Dalam 9:111, disebutkan: “Sesungguhnya Tuhan telah membarter (isytarâ) dari orang-orang beriman diri dan harta mereka dengan memberikan surga kepada mereka … maka bergembiralah dengan transaksi (bay‘) yang telah kamu lakukan, dan itulah kemenangan yang besar.” Orang-orang beriman dinyatakan sebagai “Orang-orang yang menjual (yasyrûna) kehidupan dunia ini dengan kehidupan akhirat” (4:74).[31] Sementara orang-orang tidak beriman dikatakan “Telah membarter (isytarawû) kesesatan dengan petunjuk” (2:l6),[32] atau “kekafiran dengan keimanan” (3:l77). Lebih jauh, kata bay‘ di beberapa tempat dalam al-Quran juga dihubungkan dengan Pengadilan Akhirat, dan disebutkan bahwa pada hari itu tidak ada lagi transaksi (2:254; 14:31).
Beberapa ilustrasi istilah perniagaan-teologis yang dikemukakan di atas hanya merupakan sebagian kecil dari ungkapan-ungkapan al-Quran yang memiliki sentuhan erat dengan dunia bisnis Makkah. Terdapat berbagai konteks lainnya di dalam al-Quran, di mana istilah-istilah perniagaan lain telah digunakan untuk mengekspresikan ajaran-ajaran mendasar kitab suci tersebut.[33] Bahkan, dalam konteks Madaniyah, istilah-istilah semacam itu juga sering digunakan dalam bagian-bagian al-Quran yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan hukum bagi kaum Muslimin. Kata mîzân (“timbangan”), misalnya, digunakan dalam 6:151-152: “Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu …Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan (mîzân) dengan adil.” Demikian pula, kata ajr/ujûr (“imbalan”),  digunakan dengan makna mahar perkawinan dalam 4:24-25; 5:5; 33:50; dan 60:10. Sementara dalam 65:6,  ujûr diperintahkan untuk diberikan kepada wanita-wanita dalam masa iddah yang menyusui anak.
Namun, di tengah-tengah masyarakat niaga ini, sebagaimana halnya dalam masyarakat-masyarakat niaga pada umumnya, muncul masalah-masalah akut bertalian dengan disekuilibrium dan pergolakan sosial. Praktek-praktek perekonomian yang tidak etis dan eksploitatif, selain memperlebar jurang pemisah antara yang kaya dan  miskin, juga telah mengancam kohesi sosial masyarakat Makkah. Al-Quran menyinggung kecurangan yang dilakukan pedagang-pedagang Makkah dalam takar-menakar dan timbang-menimbang,[34] serta praktek riba yang merupakan fenomena umum di Makkah maupun Madinah.[35] Sementara eksistensi sejumlah orang tertindas serta neraka perbudakan dan orang-orang sewaan juga memiliki andil dalam memperlebar kesenjangan sosial di Makkah.[36]
Sekalipun orang-orang Makkah secara konstan sibuk dalam aktivitas niaganya, tetapi mereka tetap mempertahankan ciri pengembaraannya. Baru beberapa generasi mereka meninggalkan kehidupan nomadik untuk menetap di Makkah, dan rentang waktu yang belum begitu lama ini tentunya belum dapat mengubah karakter tersebut. Kesibukan rata-rata orang Arab dalam dunia bisnis bisa juga dikaitkan dengan pandangan dunia nomadik mereka tentang kehidupan. Orang-orang yang menaruh perhatian pada kebudayaan Arab mengenal dengan baik realisme sederhana yang mencirikan weltanschauung pagan Arab. Realisme ini bertalian secara intim dengan iklim padang pasir yang kejam.
Bagi orang Arab, dunia yang fana ini merupakan satu-satunya dunia yang eksis. Eksistensi di luar batas dunia merupakan hal yang nonsen. Konsepsi tentang eksistensi yang secara khas mencirikan pandangan dunia pagan Arab ini direkam dalam berbagai bagian al-Quran. Dalam 45:24 disebutkan: “Mereka berkata:  Kehidupan kita hanyalah  di dunia ini, kita mati dan kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.” Kemungkinan akan dibangkitkannya manusia dalam kehidupan mendatang sama sekali merupakan konsepsi yang asing dan berada di luar benak orang-orang Arab. Selain penegasan pagan Arab tentang eksistensi satu-satunya di dunia ini, dalam 6:29 juga dikemukakan penolakan mereka terhadap eksistensi di luar dunia ini: “Kehidupan kita hanyalah di dunia ini, kita sama sekali tidak akan dibangkitkan.”[37]
Konsepsi pesimistik – sekalipun dipandang realistik – tentang kehidupan di muka bumi ini memiliki implikasi yang jauh menjangkau dalam kehidupan padang pasir. Pengejaran terhadap kenikmatan semu duniawi yang dilakukan dengan berbagai cara – mulai dari penjarahan kafilah-kafilah dagang dan suku-suku lemah hingga praktek-praktek ekonomi yang eksploitatif dan tidak bermoral – merupakan fenomena umum di Arabia. Jika kehidupan hanya terbatas di dunia ini dan suatu ketika “masa” (dahr) secara pasti akan membinasakan manusia, maka solusi paling realistik adalah hedonisme atau carpe diem. Bahkan, dalam konsepsi pagan Arab, penumpukan kekayaan dalam rangka pengejaran kesenangan duniawi dipandang bisa memberikan kehidupan abadi (khulûd) kepada manusia di dunia.[38]
Telah dikemukakan di atas bahwa  orang-orang Makkah  memiliki  pertalian yang sangat erat dengan padang pasir dan tetap berupaya mempertahankan ciri kehidupan nomadiknya. Pijakan utama kehidupan di padang pasir adalah penggembalaan dan pengembangbiakan ternak, terutama unta yang memiliki daya tahan tinggi di lingkungan seperti itu. Dengan menjual kelebihan unta atau menerima upah sebagai penjamin keamanan kafilah-kafilah dagang, kaum pengembara bisa membeli kurma dari oase-oase dan bahkan barang mewah seperti khamr (anggur). Pada musim penghujan atau musim semi, banyak lembah dan ngarai yang ditumbuhi sayur-mayur secara berlimpah ruah tetapi berumur pendek, yang darinya unta-unta memperoleh makanan serta cairan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Walaupun demikian, curah hujan di Arabia tidak teratur, dan kaum pengembara mesti mengubah geraknya selaras dengan perubahan iklim. Ketika sayur-mayur musim semi telah menghilang, pengembara harus pergi ke daerah-daerah terpencil lainnya yang memiliki mata air dan semak belukar yang masih tetap hijau.
Kejamnya kehidupan di padang pasir turut mendominasi tamsilan al-Quran di berbagai tempat. Kejadian di Hari Kiamat, misalnya, digambarkan laksana gunung-gunung yang berubah menjadi tumpukan pasir yang beterbangan (73:l4)[39] – suatu gambaran yang intensitasnya melebihi badai padang pasir yang mesti dihadapi para pengembara. Situasi semacam ini juga ditamsilkan al-Quran sehubungan dengan perbuatan orang-orang kafir. Dalam 14:18 dikatakan bahwa amalan-amalan mereka seperti debu pasir yang beterbangan dihempas angin ribut. Gambaran lainnya tentang perbuatan orang kafir adalah amalan mereka itu laksana fatamorgana yang dari jauh terlihat seperti sumber air, tetapi ketika mereka sampai di sana tidak terdapat sesuatupun kecuali Allah (24:39). Sementara gambaran yang bertalian dengan minimnya curah hujan di Arabia – yang dengannya tanah-tanah “mati” menjadi “hidup” –  bisa ditemukan dalam berbagai konteks al-Quran lainnya.[40]
Lantaran tekanan populasi yang berkesinambungan terhadap persediaan makanan, perjuangan untuk mempertahankan eksistensi melawan saingan-saingan tidak pernah berakhir. Untuk menghadapi musuh dan tolong-menolong melawan keganasan alam, orang-orang Arab menyatukan dirinya ke dalam kelompok-kelompok yang biasanya didasarkan pada pertalian darah. Kelompok-kelompok ini relatif  kecil  dan  biasanya dirujuk dengan istilah banû (“anak keturunan,” “keluarga,” “klan”). Tetapi, untuk tujuan tertentu, kelompok-kelompok kecil bergabung dengan kelompok-kelompok lainnya – baik berdasarkan pertalian keluarga yang nyata maupun artifisial melalui keturunan nenek moyang yang sama – dan membentuk suatu qawm (“suku”). Suku-suku, berdasarkan tujuan dan kepentingan tertentu, terkadang bergabung dengan suku-suku lainnya untuk membentuk federasi suku-suku. Setelah hijrah ke Madinah, Nabi terlihat membentuk federasi kesukuan semacam itu berdasarkan Piagam Madinah.
Selain beranggotakan warga penuh berdasarkan kelahiran, keanggotaan suatu suku atau kaum biasanya diperluas mencakup orang-orang atau suku-suku yang meminta perlindungan. Pertambahan anggota kesukuan antara lain mengambil  bentuk  seperti  halîf  (“sekutu berdasarkan kontrak”),  jâr (“tetangga yang  dilindungi”),  dan mawlâ (“klien”). Dengan demikian, tampak bahwa struktur sosial Arabia pra-Islam dan pada masa awal Islam adalah kesukuan. Suku, atau sub-kelasnya (banû), bagi orang-orang Arab, tidak hanya merupakan satu-satunya unit atau basis kehidupan sosial, tetapi lebih jauh juga mencerminkan prinsip perilaku tertinggi. Solidaritas kesukuan merupakan basis keseluruhan gagasan moral paling mendasar yang di atasnya masyarakat Arab dibangun. Menjunjung tinggi ikatan kekeluargaan berdasarkan pertalian darah melebihi segalanya di dunia ini, dan melakukan segala sesuatu yang bisa mengangkat kehormatan serta keharuman nama suku, merupakan tugas suci yang dibebankan kepada setiap individu anggota suatu suku.
Kesetiakawanan kesukuan memang merupakan prasyarat mutlak dalam kehidupan liar di padang pasir. Tanpa suatu taraf solidaritas yang tinggi, tidak ada harapan bagi siapapun untuk meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi di tengah-tengah iklim dan kondisi sosial padang pasir yang kejam. Dalam taraf yang lebih jauh, solidaritas kesukuan mengharuskan seseorang berpihak secara membabi-buta kepada saudara-saudara sesukunya tanpa peduli apakah mereka keliru atau benar. Durayd ibn al-Simmah, seorang penyair pra-Islam, secara efektif memperlihatkan hal ini dalam sebuah syairnya:
Ketika mereka menolak saranku, aku tetap berpihak kepada mereka sekalipun dengan sepenuhnya mengetahui
Bahwa aku berada dalam kekeliruan yang nyata ketika meninggalkan jalan yang tepat
Aku hanyalah anggota (suku) Gaziyah. Jika mereka menempuh jalan keliru,
Maka aku harus melakukan hal senada, sama seperti aku mengikuti mereka  ketika mereka memilih jalan benar.[41]
Solidaritas kesukuan tidak hanya merupakan karakteristik asasi kehidupan di padang pasir, tetapi juga di kota-kota seperti Makkah dan Madinah, serta bertalian erat dengan gagasan lex talionis (balas dendam). Dalam kehidupan di jazirah Arabia, pada umumnya seseorang akan berupaya menghindari mencelakai atau membunuh orang lain, jika orang tersebut berasal dari suatu suku kuat yang pasti akan menuntut balas atasnya. Menurut prinsip lex talionis, bukanlah hal mutlak bahwa si pembunuh yang mesti dieksekusi dalam balas dendam, tetapi siapa saja dari suku atau klan si pembunuh yang berstatus sama dengan korban. Pada suatu kesempatan di masa pra-Islam, seorang kepala suku dibunuh, dan seorang anak muda yang berasal dari suku si pembunuh dibantai dalam rangka balas dendam. Tetapi suku yang menuntut balas belum merasa puas karena memandang nyawa anak muda itu tidak lebih berharga dari tali sepatu kepala suku terbunuh. Akibatnya, pecah peperangan sengit antar-suku yang banyak menumpahkan darah.[42]
Adalah menarik bahwa secara politik Muhammad terlihat telah menikmati keuntungan dari sistem perlindungan kesukuan di dalam masyarakat kota Makkah, khususnya pada tahun-tahun pertama aktivitas kenabiannya. Ia bisa bertahan hidup di kota ini, sekalipun dengan oposisi yang sangat keras,  karena berasal dari  banu  Hasyim   –   suatu klan yang relatif cukup kuat di Makkah. Klan ini, berdasarkan prinsip solidaritas kesukuan, terikat kehormatan untuk menuntut balas atas setiap kerugian yang menimpanya, sekalipun banyak anggota klan tersebut tidak bersetuju dengan agama barunya. Tetapi, setelah klan ini menarik perlindungan atasnya pada masa kepemimpinan Abu Lahab – barangkali inilah yang melatarbelakangi kecaman keras al-Quran terhadapnya dalam 111:1-5 – Nabi melakukan hijrah ke Madinah. Di kota ini beberapa klan tertentu, yang menerima risalah kenabiannya, bersedia memberikan jaminan keamanan kepadanya.[43]
Semangat kesukuan di kalangan orang-orang Arab pra-Islam memang tidak sebanding dengan konsep nasionalisme, seperti dipahami dewasa ini, karena dasar keterikatan mereka adalah kepada suku atau kaum. Walaupun demikian, terdapat adat-istiadat yang diterima secara luas dan lazimnya dikenal sebagai muruwah (“kebajikan-kebajikan utama”). Muruwah, antara lain, terdiri dari keberanian, kedermawanan dan memegang janji. Selain itu, lex talionis – seperti diuraikan di atas – juga tercakup ke dalamnya.
Merupakan hal yang wajar dalam berbagai kondisi padang pasir yang kejam jika keberanian memperoleh tempat tertinggi di antara kebajikan-kebajikan utama lainnya. Di padang-padang tandus Arabia, di mana kekuatan-kekuatan alam sangat bengis terhadap manusia dan  penjarahan antar-suku –  dipandang sebagai olah raga nasional, bukan suatu kejahatan – hampir merupakan satu-satunya alternatif terhadap kematian, tidak ada yang dapat memungkiri pentingnya kekuatan fisik dan  kecakapan militer.  Kehormatan suku di kalangan pagan Arab, hingga taraf  yang jauh, merupakan masalah keberanian. Bagi orang-orang Arab Badui, perkelahian berdarah – apakah bersifat kesukuan atau individual – merupakan sumber dan dorongan utama kehidupan. Dengan demikian, keberanian tidaklah dipandang secara sederhana sebagai senjata untuk mempertahankan diri: ia merupakan sesuatu yang lebih positif dan agresif.
Demikian pula, dalam kondisi padang pasir yang sulit, merupakan hal amat mulia jika kedermawanan diberi tempat tinggi dalam daftar kebajikan utama. Kebutuhan akan bahan-bahan pokok yang sangat sulit diperoleh, telah membuat tindakan kedermawanan sebagai salah satu aspek penting dalam perjuangan mempertahankan eksistensi. Dalam pandangan orang-orang Arab, kedermawanan bertalian erat dengan konsep kemuliaan, dan dianggap sebagai bukti kemuliaan sejati seseorang. Bagi seorang pagan Arab, kedermawanan bukan sekadar manifestasi dari rasa solidaritas kesukuannya, karena sangat sering kedermawanan diperluas kepada orang-orang asing di luar keanggotaan sukunya. Tindakan kemurahan hatinya juga tidak selalu didorong oleh motif berbuat baik. Baginya, kedermawanan terutama sekali merupakan tindakan untuk membuktikan kemuliaan dan, karena itu, selalu dipamerkan.[44]
Sementara memegang janji di kalangan orang-orang Arab merupakan salah satu kebajikan tertinggi lainnya yang paling khas. Sebagaimana yang dapat diduga, kebajikan utama ini berhubungan intim dengan masalah pertalian darah, dan  dalam  kebanyakan kasus dipraktekkan dalam ikatan kesukuan.  Kebajikan memegang janji memanifestasikan dirinya dalam kerelaan seseorang untuk berkorban nyawa tanpa pamrih demi membela sesama anggota suku atau klan, karena secara primordial ia terikat janji dan kehormatan untuk melakukan hal tersebut. Dalam skala yang lebih luas, nilai keteguhan memegang janji – dengan mempertimbangkan sulitnya kehidupan di padang pasir – terlihat sangat penting, serta dijelmakan dalam pakta-pakta antar suku dan institusi yang dikenal sebagai “empat bulan suci,”[45] ketika seluruh pertikaian dan peperangan mesti dihentikan dalam rangka memberi kesempatan kepada para peziarah untuk melakukan ziarah ke kota-kota suci dan kepada para pedagang untuk melakukan perniagaan.
Hal-hal yang bertalian dengan kode etik kesukuan (code of honor) di kalangan orang-orang Arab, yang sebagiannya telah diungkapkan di atas, memiliki kedudukan penting sebagai latar historis untuk memahami berbagai gagasan moral al-Quran. Nilai-nilai kesukuan Arab itu sebagiannya ditolak secara tegas oleh al-Quran dan sebagian lagi diterima, dimodifikasi serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan Islam. Lebih tegas lagi, nilai-nilai lama tersebut secara radikal telah mengalami transformasi dan tercabut dari bentuk tradisional kehidupan kesukuan Arab.[46]
Sisi lain dari kehidupan di jazirah Arab adalah pertanian. Di samping Yaman, terdapat sejumlah oase di bagian barat Arabia yang pekerjaan utama penduduknya adalah bertani. Yang terpenting dari oase-oase ini adalah Madinah. Panenan utama daerah ini adalah  kurma, tetapi tanaman pangan lain juga dihasilkannya. Adalah menarik bahwa dalam perkembangan pertanian di Madinah maupun di oase-oase lain orang Yahudilah yang memainkan peran utama. Peran ini barangkali tidak lazim jika dikaitkan dengan eksistensi mereka sebagai pedagang dan penyandang dana di berbagai belahan dunia lain sejak abad pertengahan hingga kini. Sekalipun orang-orang Arab tertentu lebih belakangan menetap di Madinah dibandingkan orang-orang Yahudi, tetapi secara politik mereka lebih dominan. Di oase-oase lain seperti Tayma, Fadak, Wadi al-Qura, dan Khaibar, pemukim utamanya juga orang-orang Yahudi. Namun asal-asul etnis suku-suku dan klan-klan Yahudi di kawasan “hijau” ini tidak begitu jelas. Dalam kebanyakan kasus, mereka telah mengadopsi bentuk-bentuk kemasyarakatan dan adat-istiadat Arab, serta hanya berbeda dalam agama.
Sisi “hijau” jazirah Arab ini dikemukakan al-Quran dalam beberapa kesempatan. Sistem irigasi canggih di Arabia Selatan dan kemusnahannya – sering disebut sebagai bobolnya bendungan Ma’arib di sekitar 450 – dirujuk dalam 34:16. Masih terdapat beberapa rujukan lainnya di dalam kitab suci tersebut kepada pertanian yang telah menggunakan sistem irigasi.[47] Tetapi, bentuk pertanian yang dipraktekkan di luar oase-oase di Arabia pada umumnya bersifat musiman karena ketergantungan yang sangat pada curah hujan, seperti ditamsilkan al-Quran dalam berbagai kesempatan.[48]


Suasana Keagamaan

Sebagaimana telah dikemukakan, di oase-oase sekitar Madinah – Tayma, Fadak, Khaibar, Wadi al-Qura – dan di kota itu sendiri serta Yaman, terdapat sejumlah pemukiman Yahudi. Keberadaan orang-orang Yahudi di Arabia mungkin bisa ditelusuri mulai abad pertama Masehi. Penaklukan Yerusalem oleh Kaisar Titus (sekitar 70) serta penumpasan pemberontakan Bar Kochba (sekitar 135) barangkali telah membuat sejumlah orang Yahudi di kota tersebut terpaksa meninggalkan negerinya untuk mengembara, dan kemudian menetap di Arabia.[49] Alfred Guillaume menyebutkan enam kota Arab – Hijr, Ula, Tayma, Khaibar, Thaif dan Madinah – yang menjadi tempat pemukiman Yahudi.[50] Kota Makkah tidak dimasuki, karena merupakan pusat penyembahan berhala. Sekalipun demikian, orang-orang Quraisy mengenal dengan baik agama Yahudi, karena kota itu berada di jalur perniagaan Yaman dan Siria.
Berbeda dengan teori di atas, C. C. Torrey mengemukakan dugaan tentang eksistensi suatu “koloni besar” kaum Yahudi di kota  Makkah.[51]  Tetapi,  pandangan  ini tidak dilandasi dengan bukti-bukti yang kuat. Mungkin saja ada satu-dua orang Yahudi di Makkah, namun di dalam al-Quran maupun literatur-literatur kesejarahan yang ditulis kaum Muslimin, tidak ditemukan sedikit keterangan pun mengenai keberadaan masyarakat Yahudi dalam jumlah besar di kota itu.[52]
Berbeda dengan kaum Yahudi, orang-orang Kristen di Arabia memiliki posisi yang tidak begitu baik ditinjau dari sisi difusi dan kohesinya. Pengikut-pengikut Isa al-Masih ini tidak terkonsentrasi di oase-oase. Meskipun demikian, agama Kristen memiliki sejumlah pengikut dari kalangan orang Badui yang tinggal di dekat perbatasan Siria dan di Yaman – khususnya ketika negeri ini berada di bawah kekuasaan Abisinia – serta di Hira. Di Siria dan Yaman, pemeluk Kristennya mengikuti sekte monofisit,[53] sementara orang-orang Kristen Hira menganut paham nestorian.[54] Di Makkah sendiri ada sejumlah individu  terpencil – seperti Waraqah ibn Nawfal, sepupu isteri pertama Muhammad, Khadijah – yang menjadi pengikut Kristus.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan historis seperti di atas, Beberapa penulis Barat modern telah mengajukan sejumlah spekulasi sehubungan dengan situasi keagamaan di Arabia dalam kaitannya dengan gagasan-gagasan religius Yudeo-Kristiani. Dikatakan bahwa sebelum kedatangan Islam milieu intelektual Arabia telah dirembesi gagasan-gagasan Yudeo-Kristiani.[55] Sementara penulis-penulis Barat lainnya memberi tekanan pada salah satu dari kedua tradisi keagamaan Semit itu sebagai telah mempengaruhi alam pikiran orang-orang Arab. Richard Bell, misalnya, lebih menitikberatkan pada gagasan Kristen,[56] sedangkan C.C. Torrey pada gagasan Yahudi[57]. Namun, berbagai spekulasi ini pada akhirnya ditujukan untuk menjelaskan “sumber-sumber” atau asal-usul genetik al-Quran. Permasalahan ini akan dibahas dalam bab mendatang. Di sini hanya akan ditelusuri sampai sejauh mana gagasan-gagasan Yudeo-Kristiani telah mendapat tempat dalam milieu intelektual Arab.
Bahwa ajaran-ajaran tradisi Yudeo-Kristiani telah dikenal oleh kebanyakan orang Arab, adalah suatu kenyataan historis yang tidak dapat dipungkiri siapapun. Al-Quran sendiri mengkonfirmasi hal ini. Dalam 27:67-68 disebutkan: “Orang-orang kafir itu berkata: Apakah kita akan dihidupkan kembali setelah kita dan bapak-bapak kita menjadi tanah? Sesungguhnya hal ini telah dijanjikan kepada kita dan bapak-bapak kita di masa lalu; ini tidak lain hanyalah dongengan-dongengan masa silam.”[58] Kutipan dari al-Quran ini memang memperlihatkan oposisi yang ditunjukkan orang-orang Arab (Makkah) kepada ajaran kebangkitan kembali manusia yang didakwahkan Nabi. Tetapi, ungkapan “Sesungguhnya hal ini telah dijanjikan kepada kita dan bapak-bapak kita di masa lalu,”[59] juga menjelaskan bahwa ajaran-ajaran tradisi keagamaan Yudeo-Kristiani telah banyak dikenal di Arabia. Bahkan, ungkapan ini lebih jauh menyiratkan petunjuk bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen pernah secara aktif melakukan agitasi religius guna menarik orang-orang Arab – baik dalam skala besar-besaran maupun kecil-kecilan – ke dalam agama mereka. Upaya tersebut terlihat hanya membawa hasil terbatas, karena selain kedua agama tersebut – terutama Kristen – memiliki implikasi politik, kebanyakan orang Arab lebih suka mengikuti tradisi nenek moyangnya atau tradisi “bapak-bapak kami.”[60] Sekalipun, menurut al-Quran, nenek moyang atau bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatupun dan tidak mendapat petunjuk[61].
Meskipun ada individu-individu tertentu dari kalangan pemeluk agama Yahudi dan Kristen di Arabia yang telah menerima ajaran-ajaran agama mereka secara sistematis[62] – belakangan sebagiannya menyatakan keimanan kepada risalah yang dibawa Muhammad, dan sebagian lagi tidak[63] – kebanyakan orang Arab yang mengikuti kedua tradisi keagamaan Semit ini memiliki pengetahuan yang “kacau-balau” tentang agamanya, dan dalam kasus-kasus tertentu kedua tradisi keagamaan  tersebut  telah   diadaptasikan dengan  lingkungan  kultural  mereka. Sebagian pribumi (ummiyûn) Arab yang beragama Yahudi, misalnya, “tidak mengetahui al-Kitab (Tawrat) kecuali khayalan belaka dan mereka hanya menduga-duga” (2:78). Bahkan, al-Quran mentamsilkan orang-orang Yahudi yang memiliki Tawrat tetapi tidak memperoleh manfaat darinya sebagai keledai yang dibebani kitab (62:5). Dikatakan bahwa orang-orang Yahudi, sebagaimana halnya orang-orang Kristen, telah menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai arbâb (bentuk jamak dari rabb, “tuhan”) selain Allah (9:3l). Juga terdapat kepercayaan yang berkembang di kalangan Yahudi Arab bahwa Uzair (Ezra) adalah “putra Allah” (9:30), suatu kepercayaan yang barangkali hanya mendapat tempat di kalangan orang-orang Yahudi Arab ketika itu serta tidak terbukti eksis dalam keyakinan orang-orang Yahudi di berbagai belahan dunia lainnya. Kepercayaan Yahudi Arab ini barangkali telah mengalami proses arabisasi mengikuti kepercayaan tradisional Arab pra-Islam yang memandang Tuhan memiliki anak-anak sebagai perantara. Di sisi lain, orang-orang Yahudi Arab berkeyakin bahwa, berbeda dengan manusia pada umumnya, mereka mempunyai hubungan keakraban yang khusus dengan Tuhan (62:6).
Sehubungan dengan pemeluk agama Kristen dari kalangan orang-orang Arab, dikabarkan bahwa keseluruhan yang mereka ketahui dari kepercayaan Kristen hanyalah minum anggur (khamr).[64] Informasi-informasi yang diberikan al-Quran juga menunjukkan bahwa  orang-orang Arab  Kristen ini bukanlah  pengikut aliran ortodoksi agama tersebut, yang menjadi mazhab resmi di Imperium Bizantium. Mereka pada dasarnya adalah pengikut sekte monofisit dan nestorian yang merupakan representasi Gereja Timur. Kalau tidak, tentunya Muhammad – misalnya – tidak akan mengenal ajaran mereka bahwa bukan pribadi Isa sendiri yang disalib, melainkan orang lain (4:157); dan bahwa ajaran trinitas Kristen bukanlah terdiri dari Bapak, Anak dan Ruh Kudus, tetapi  Tuhan, Yesus dan Maryam (5:116).
Di tiga tempat di dalam al-Quran disebutkan pemeluk agama lainnya, yakni shabi’un, bersama-sama ahli kitab.[65] Nama ini biasanya dikaitkan dengan pengikut dua sekte keagamaan yang terpisah: (i) Orang Mandean atau Subba yang mempraktekkan ritus baptis di Mesopotamia; dan (ii) orang Sabean di Harran yang merupakan sekte pagan penyembah bintang. Tidak jelas sekte manakah yang dimaksudkan al-Quran dengan istilah shabi’un. Para ahli berbeda pendapat tentang hal ini.[66] Tetapi, keberadaan kedua pengikut sekte tersebut di dan di sekitar Makkah serta Madinah tidak dapat ditelusuri jejaknya.
Dalam rujukan terakhir al-Quran di atas (22:l7) juga disebutkan pengikut agama Majusiyah, yakni orang-orang Majus. Bagian al-Quran ini merupakan rujukan satu-satunya kepada majûs. Pengikut agama Majusiyah terdapat di Yaman, Oman, Bahrain dan di Persia sendiri, tempat asal agama tersebut. Pada masa penyebarluasan Islam yang belakangan, baik orang-orang shabi’un maupun majûs diperlakukan sebagai ahli kitab.
Secara ketat, masalah keagamaan di Arabia pada umumnya adalah politeisme. Sekalipun kebanyakan orang-orang Arab mengakui dan menerima gagasan tentang Allah sebagai pencipta alam semesta dan manusia,[67] yang  menundukkan matahari dan bulan,[68] serta yang menurunkan hujan lalu dengannya Dia menghidupkan bumi sesudah matinya,[69] tetapi penyembahan aktual mereka pada faktanya ditujukan kepada tuhan-tuhan lain yang dipandang sebagai perantara-perantara kepada Allah. Konsepsi pagan semacam ini direkam al-Quran dalam beberapa kesempatan.[70] Selain itu, al-Quran juga mengemukakan nama tuhan-tuhan – atau tepatnya dewi-dewi – tersebut: al-lât, al-‘uzzâ, dan al-manât, yang dipandang kaum pagan Arab sebagai puteri-puteri Tuhan,[71] serta wadd, suwâ‘, yagûts, dan nasr, yang merupakan dewa-dewa Arab kuno.[72] Namun, dalam situasi-situasi tertentu, mereka biasanya menganut monoteisme temporal tanpa peduli akan implikasi sikap tersebut. Ketika berada dalam keadaan bahaya, mereka biasanya mengesakan tuhan dengan ketulusan yang sangat; tetapi setelah lepas dari marabahaya, mereka melupakan apa yang telah lalu dan kembali menyekutukan Tuhan.[73]
Bahwa kaum pagan Arab melalaikan kewajiban menyembah Tuhan dalam kehidupan keseharian mereka, tetapi dalam situasi-situasi terjepit selalu ingat kepada-Nya, ditunjukkan al-Quran dengan mengatakan bahwa sumpah-sumpah paling sakral yang lazim digunakan pada masa pra-Islam adalah sumpah-sumpah yang menyebut kata allâh.[74] Demikian pula, menjelang kelahiran seorang anak, suami-istri biasanya  memohon kepada Tuhan agar diberi anak yang saleh; tetapi setelah diberi, mereka kembali menyekutukan Allah.[75] Selain itu, kaum pagan Arab juga mengenal Allah sebagai Tuhan pemilik Ka‘bah, rabb al-bayt (l06:3).
Dari kepercayaan politeisme di atas – di mana Allah dipandang sebagai Tuhan Tertinggi di samping tuhan-tuhan atau dewa-dewi lain yang lebih rendah[76] – individu-individu tertentu di Arabia bergerak kepada kepercayaan terhadap satu tuhan saja. Gagasan Yudeo-Kristiani, terutama tentang monoteisme, barangkali turut memberi andil pada munculnya kesadaran keagamaan tersebut. Tetapi, watak dan kandungan ekspresi keagamaannya terlihat lebih bersifat kearaban. Contohnya, Umaiyah ibn Abi al-Salt – orang sezaman Nabi yang berasal dari Thaif – melukiskan agamanya dalam salah satu kumpulan sajak sebagai “hanifisme” dan “monoteisme.”[77] Kesejatian kumpulan sajak yang ditulis al-Salt ini, yang berbicara tentang dîn al-hanîfîyah sebagai satu-satunya agama yang bisa bertahan hingga Hari Kebangkitan, memang telah diragukan sejumlah peneliti.[78] Namun keberadaan orang-orang Arab tertentu yang menganut kepercayaan monoteistik semacam itu pada masa pra-Islam merupakan suatu kenyataan historis yang tidak dapat dipungkiri.


Kehidupan Nabi Muhammad

Muhammad saw. dilahirkan di Makkah sekitar 570, di tengah-tengah keluarga atau klan (banû) Hasyim dari suku Quraisy yang pamornya ketika itu tengah surut.[79] Ayahnya, Abd Allah, adalah seorang pedagang – sebagaimana profesi rata-rata orang Quraisy – yang meninggal ketika ia masih berada dalam kandungan ibunya, Aminah. Ketika berusia sekitar 6 tahun, ibunya menyusul kepergian ayahnya, dan sikecil Muhammad lalu diasuh kakeknya, Abd al-Muththalib, yang juga meninggal ketika ia berusia sekitar 8 tahun. Selanjutnya, Muhammad diasuh pamannya, Abu Thalib, pemimpin banu Hasyim yang relatif miskin, tetapi terhormat. Orang inilah yang memberikan “perlindungan” kepada Nabi dan membelanya secara mati-matian dari berbagai tantangan berat yang diajukan pemuka-pemuka suku Quraisy terhadap agama baru yang didakwahkannya, sekalipun terlihat bahwa Abu Thalib sendiri tidak pernah menerima atau meyakini kepercayaan keponakannya. Solidaritas kesukuan, yang merupakan karakteristik asasi kode etik (muruwah) suku-suku di Arabia, memang mengharuskan Abu Thalib melindungi dan menuntut balas atas setiap kerugian yang diderita Muhammad.
Sementara keyatiman dan kepapaan Muhammad dalam kehidupan awalnya dikonfirmasi al-Quran dalam 93:6-8:
Bukankah Dia (Tuhanmu) mendapatimu sebagai yatim lalu Dia melindungimu. Dan dia mendapatimu dalam keadaan bingung lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu dalam keadaan kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan.
Ayat pertama (93:6) yang dikutip di atas memberi petunjuk tentang keyatiman Muhammad. Ayat terakhir (9:8)  mengungkapkan  kehidupan  awalnya yang penuh kekurangan. Sementara ayat yang berada di antara keduanya (93:7) – yang mengindikasikan tentang jalan sesat (dlâll) yang ditempuh Muhammad pada masa mudanya, sebelum beroleh petunjuk (hudâ) – dipersengketakan maknanya di kalangan mufassir Muslim. Sejumlah mufassir mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan dengan kesesatan di sini adalah kekafiran, berdasarkan beberapa riwayat yang mengemukakan bahwa Muhammad berada dalam urusan kaumnya (kekafiran) hingga 40 tahun. Sementara mufassir lain yang menekankan doktrin ma‘shûm – yakni para nabi terpelihara dari dosa besar maupun dosa kecil baik sebelum maupun sesudah pengangkatannya sebagai nabi – menolak pengertian kekafiran semacam itu, dan berupaya menjelaskan “kesesatan” tersebut sebagai “tersesat” di lorong-lorong kota Makkah, “tersesat” dari rumah Halimah – pengampu yang menyusuinya ketika kecil – atau dengan menakwilkannya sehingga yang “tersesat” adalah kaum Nabi.[80]
Sekalipun Muhammad berasal dari banu Hasyim yang dihormati di Makkah, akan tetapi secara personal tampaknya ia – sebelum pengutusannya sebagai nabi – tidak begitu diperhitungkan di kalangan penduduk kota tersebut. Hal ini bisa dilihat dari protes yang dikemukakan kaumnya ketika ia memperoleh wahyu Tuhan, sebagaimana direkam al-Quran dalam 43:31, “Dan mereka berkata: ‘Mengapa al-Quran ini tidak diturunkan kepada orang kuat dari salah satu dari dua negeri (yakni Makkah dan Thaif) ini’.”
Bagian al-Quran lainnya bisa dijadikan indikasi tentang hal ini, apabila disepakati bahwa kisah-kisah nabi terdahulu pada faktanya merujuk kepada situasi yang dihadapi Nabi. Bagian al-Quran tersebut adalah 11:91, yang mengisahkan protes yang dikemukakan kaum Nabi Syu‘aib kepadanya:
Dan mereka berkata: “Hai Syu‘aib, Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan. Tetapi sesungguhnya kami melihat bahwa kamu merupakan seorang yang lemah di antara kami. Kalau tidak karena keluargamu tentu kami telah merajammu. Dan kamu bukanlah orang yang berwibawa di sisi kami.”
Di samping hal-hal di atas, yang secara umum tidak begitu berarti atau bahkan bisa dikatakan “tidak mengungkapkan sesuatu pun,”[81] hanya sedikit yang diketahui tentang bagian kehidupan Muhammad sebelum pengangkatannya sebagai Nabi. Berpijak pada al-Quran dan laporan-laporan sejaman, dapat dipastikan bahwa Muhammad adalah seorang yang suka bermeditasi atau bertafakur, introvert, pemalu, agak penyendiri, dan concern akan kegelapan yang tengah menyelimuti masyarakatnya. Semasa muda, ia dikenal sebagai al-amîn (“orang yang dapat dipercaya”), yang merupakan  indikasi tentang kejujuran dan kepekaan moralnya yang tinggi.
Pada usia dua puluhan, ia menjalankan misi dagang Khadijah (w. 619), seorang janda kaya Makkah, ke Siria – suatu pengalaman yang pernah dijalani semasa kecilnya bersama pamannya, Abu Thalib. Khadijah yang kagum akan kejujuran Muhammad, kemudian meminangnya sebagai suami. Ketika itu, Muhammad berusia sekitar 25 tahun dan Khadijah sekitar 40 tahun. Selama lima belas tahun berikutnya Muhammad terlihat melanjutkan perniagaan dengan modal bersama dan tidak menikah hingga wafatnya Khadijah, ketika Nabi berusia sekitar 50 tahun.
Tahap selanjutnya kehidupan Muhammad dimulai ketika ia berusia sekitar 40 tahun. Sebagaimana diketahui dari laporan-laporan sezaman, beberapa waktu setelah menikah dengan Khadijah, Muhammad secara teratur pergi ke Gua Hira yang terletak tidak jauh di sebelah utara kota Makkah. Keluhuran budi pekerti telah mendorongnya melakukan tahannuts – biasa diartikan sebagai tabarrur, melakukan perbuatan bajik (birr) dengan memberi makan fakir miskin, atau ta‘abbud, beribadah, atau keduanya, yakni tabarrur dan ta‘abbud [82] – ke gua itu untuk beberapa hari dan terkadang beberapa minggu.
Selama dalam tahannuts Muhammad melakukan renungan-renungan mendalam. Yang direnungkannya tidak diragukan lagi adalah masalah-masalah tentang Tuhan, Pencipta yang Mutlak dan Pemelihara alam semesta, serta tentang ciptaannya – khususnya masalah-masalah kemasyarakatan manusia: disparitas sosio-ekonomik, praktek-praktek niaga para pedagang kaya yang eksploitatif dan amoral, serta cara penghamburan kekayaan yang tidak  bertanggung jawab dalam kaitannya dengan nestapa fakir miskin, yatim piatu dan orang-orang tertindas, seperti tercermin dalam praktek masyarakat Quraisy. 
Proses batiniah pengalaman religio-moral tersebut mencapai puncaknya pada suatu malam – belakangan dirayakan kaum Muslimin sebagai “malam keputusan” (laylatu-l-qadr) – ketika ia sedang tenggelam dalam relung renungan terdalam di Gua Hira. Muhammad diseru oleh utusan wahyu, Jibril, kepada risalah Tuhan. Ia melihat utusan spiritual ini dalam suatu visi (ru’yah) di “ufuk tertinggi”. Mengalami ledakan spiritual yang tiba-tiba, Muhammad merasa pasif secara total. Ia pulang ke rumah dalam keadaan menggigil bersimbah keringat, kemudian mengisahkan pengalaman batin itu kepada istrinya. Khadijah menenangkannya dengan menegaskan kesejatian pengalaman penerimaan wahyu tersebut, karena Muhammad dalam kenyataannya adalah orang yang baik dan tidak mungkin dirasuki ruh jahat. Setelah itu, ia tidak pernah lagi ke Gua Hira untuk bertafakur, tetapi memulai misi historisnya sebagai utusan Allah untuk umat manusia.
Pengalaman pertama Kenabian Muhammad, menurut riwayat, terjadi ketika ia berusia sekitar 40 tahun atau lebih sedikit, kira-kira pada tahun ke-13 atau ke-15 atau ke-10 sebelum Hijriah.[83] Hal ini barangkali secara tidak langsung dikonfirmasi oleh al-Quran (10:16). Pernyataan al-Quran dalam ayat ini – “Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya (sebelum pewahyuan al-Quran)” – memang mengindikasikan bahwa ketika diangkat sebagai nabi, Muhammad bukan lagi anak muda berusia remaja. Ia berada dalam usia matang untuk pengalaman kenabian tersebut.
Muhammad tidak pernah berkeinginan menjadi nabi atau secara sadar mempersiapkan diri untuk itu. Hal ini dengan jelas dikemukakan al-Quran di beberapa tempat.[84] Namun, secara naturalistik, dapat dikatakan bahwa ia – walaupun tanpa disadarinya – telah mempersiapkan diri untuk diangkat menjadi nabi. Sejak kecil ia memiliki kepekaan yang intensif dan alami terhadap masalah-masalah moral yang dihadapi manusia. Kepekaan ini semakin tajam ketika ia menjadi yatim piatu dalam usia yang masih belia. Muhammad tentu saja tidak berupaya secara sadar untuk menambah kemampuan-kemampuan alaminya melebihi manusia-manusia lain, sehingga ketika seluruh faktor alami itu berkolaborasi menuju suatu tujuan yang sangat kuat, maka hal ini harus dikembalikan kepada Tuhan.
Ketika orang-orang pagan Arab mempermasalahkan penunjukkannya sebagai nabi dan mempertanyakan kenapa wahyu ilahi tidak diturunkan kepada “orang besar” di Makkah dan Thaif (43:31), al-Quran mengemukakan jawaban yang bersifat religius dan naturalistik. Pada sisi religius dikatakan: “apakah mereka yang mendistribusikan rahmat Tuhanmu?” (43:32). Sementara jawaban naturalistik terungkap dalam 6:l24: “Allah mengetahui di mana menempatkan kerasulan-Nya.”[85]
Pada mulanya, Muhammad mendakwahkan risalah kenabiannya secara privat kepada keluarga dan teman-teman dekatnya. Istrinya, Khadijah, dan keponakannya, Ali ibn Abi Thalib (w.661), merupakan orang-orang pertama yang membenarkan kerasulannya. Pada umumnya, pengikut-pengikut awal Nabi berasal dari kalangan tertindas yang tidak memiliki posisi sosial penting, meskipun beberapa di antaranya adalah pedagang kaya – seperti Abu Bakr al-Shiddiq (w. 634) – dan individu-individu yang mengalami fermentasi keagamaan – seperti Utsman ibn Maz’un. Tetapi, aristokrasi pedagang Makkah, yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat, menolak dakwah Nabi dan menggunakan pengaruh mereka untuk membendungnya.[86] Mereka memandang dakwah Islam sebagai suatu ancaman terhadap tradisi “bapak-bapak kami,” yaitu politeisme, yang darinya mereka beroleh keuntungan material dan privilese sosio-ekonomik.
Sekitar dua tahun setelah pewahyuan pertama, ketika Nabi menyampaikan pesan-pesan Ilahi secara terbuka kepada khalayak ramai, timbul suatu oposisi yang aktif terhadap Islam, dan para pengikutnya yang tidak begitu kuat mengalami penindasan keji. Pemuka suku Quraisy mencoba membujuk Abu Thalib untuk mempengaruhi keponakannya agar menghentikan dakwahnya, atau menarik perlindungan banu Hasyim terhadap Nabi, namun upaya ini mengalami kegagalan. Mereka juga menyebarkan propaganda di kalangan pemimpin-pemimpin suku di Arabia pada musim haji yang isinya menentang Muhammad, tetapi aksi ini malah menghasilkan efek sebaliknya: nama Nabi dan misi kenabiannya semakin dikenal secara luas di berbagai penjuru jazirah Arab.
Di tengah kondisi yang mengharu biru ini, al-Quran mengekspresikan diri dalam berbagai cara. Kitab ini sering mengecam orang Makkah dengan ungkapan-ungkapan bahwa mereka tidak mengerti, mereka tuli, bisu dan buta, hati mereka terkunci, mereka laksana binatang bahkan lebih sesat lagi, dan sebagainya.[87] Situasi Makkah di kala itu sering dihubungkan dengan umat-umat terdahulu yang diazab Allah karena tidak mendengar seruan nabi-nabi mereka.[88] Di sisi lain, al-Quran menegaskan bahwa kitab suci tersebut tidak diturunkan kepada Nabi agar ia menderita (20:2), serta menghiburnya agar tidak bersedih karena keingkaran kaumnya terhadap ajaran yang dibawanya (18:6). Muhammad hanyalah seorang “pewarta kabar gembira” (basyîr) dan “pemberi peringatan” (nadzîr).[89] Bukanlah tugasnya untuk menjaga atau memaksa orang-orang yang ingkar itu (88:22; 50:45); “sesungguhnya Allah-lah yang memberi pendengaran (yakni membuat mereka mendengar petunjuk) kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan engkau (Muhammad) tidak dapat membuat orang-orang di dalam kubur bisa mendengar” (35:22). Jika Tuhan menghendaki, maka umat manusia di dunia ini seluruhnya akan diberi hidayah dan menjadi satu kaum (5:48; 6:35; 10: 99; dll.).
Menghadapi penyiksaan sistematis terhadap pengikut-pengikutnya yang rentan – dirujuk dalam al-Quran di beberapa tempat[90] – Muhammad menasehati mereka untuk berhijrah secara temporal ke Ethiopia (Habsyi). Pada 615, beberapa orang pengikutnya menuruti saran tersebut. Di waktu yang sama, beberapa pemuka Quraisy yang berpengaruh dan kuat – paling terkenal di antaranya adalah Hamzah ibn Abd al-Muthalib (w. 625) dan Umar ibn Khaththab (w. 644) – menyatakan keimanannya kepada risalah Nabi. Panik menghadapi perkembangan baru ini, anggota-anggota penting majelis syura Makkah memutuskan memboikot klan Nabi, banu Hasyim. Sekalipun tindakan ekskomunikasi atau pengucilan ini telah menyebabkan penderitaan yang sangat bagi banu Hasyim, tindakan itu pada umumnya dipandang tidak membawa hasil yang diharapkan. Anggota-anggota klan lain, yang terkait dengan banu Hasyim, secara sembunyi-sembunyi menyuplai bahan makanan dan bantuan-bantuan lainnya.
Menyadari bahwa mereka tidak dapat membungkam dakwah Nabi atau menghancurkan gerakannya, orang-orang Quraisy mencoba menempuh jalan kompromi. Mereka berjanji akan mengikuti agama Nabi jika ia mengenyampingkan pengikut-pengikutnya dari kelas rendahan, karena merupakan hal yang tidak patut bila mereka mesti duduk berdampingan dengan orang-orang seperti itu, khususnya ketika pemuka-pemuka suku Arab tersebut mengunjungi Nabi. Tetapi, al-Quran memberi peringatan keras kepada Muhammad untuk tidak meninggalkan pengikut-pengikut setianya demi memenuhi tuntutan elit Quraisy.[91]
Sebelum mengajukan tawaran kompromi, orang-orang Quraisy telah berupaya melakukan negosiasi dengan Muhammad mengenai sejumlah masalah doktrinal yang diajarkannya: Jika Nabi memodifikasi ajarannya untuk mengakomodasikan dewa-dewa lokal mereka sebagai perantara-perantara manusia  kepada Tuhan, dan barangkali menghapuskan gagasan tentang kebangkitan kembali manusia, maka mereka akan menjadi muslim-muslim. Tentang kebangkitan kembali, tidak ada kompromi yang  bisa ditawarkan. Sementara tentang dewa-dewa perantara, dalam riwayat dikatakan bahwa pada masa hijrah ke Ethiopia, ketika janin masyarakat Muslim tengah berada dalam situasi sangat genting, Nabi suatu ketika cenderung kepada kompromi dan membacakan beberapa ayat dalam surat 53 yang memperkenankan syafaat dewa-dewa pagan Arab.[92] Namun, ayat-ayat ini segera dihapus dan diganti dengan ayat-ayat yang kini terdapat di dalam surat tersebut.
Bahwa orang-orang Makkah telah berulangkali membujuk Muhammad agar mau berkompromi, disinggung al-Quran dalam sejumlah kesempatan.[93] Tetapi, upaya ini tidak membawa hasil yang semestinya, sehingga orang-orang Quraisy mulai menyusun rencana untuk mengusir Nabi dari kota Makkah. Dalam l7:76 disebutkan: “Sungguh mereka hampir membuatmu gelisah di sana (Makkah) agar engkau terusir dari sana. Jika demikian halnya, maka mereka tidak akan hidup sepeninggalmu kecuali untuk sebentar saja.” Apabila kisah-kisah para nabi sebelum Muhammad dipandang mencerminkan situasi yang dihadapi Nabi – yang tentu saja dapat dijustifikasi serta didukung berbagai riwayat yang sampai kepada kita melalui biografi-biografi (sîrah) Nabi – maka dapat diinventarisasi rencana-rencana yang dibuat para penentang Islam dari kalangan kaum Quraisy untuk membunuhnya, misalnya dengan membakarnya hidup-hidup (21: 68; 29:24), merajamnya (11:91; 18:20; 19:46; 44:20; 36:18), atau membunuhnya ketika sedang tidur (27:49).
Pada 619, Khadijah dan Abu Thalib secara berturut-turut meninggal. Kepergian kedua orang ini merupakan suatu kehilangan yang sangat berat bagi Nabi. Ia kehilangan bantuan duniawi yang sangat penting baginya untuk mempertahankan kelangsungan misinya. Pemimpin baru banu Hasyim, Abu Lahab, menarik perlindungan klannya atas Muhammad. Tindakan ini dikecam keras dalam surat 111. Menghadapi situasi kritis semacam itu, Nabi berupaya mencari dukungan bagi perjuangannya dengan mengunjungi kota Thaif dan berdakwah di sana. Di kota tersebut, ia tidak hanya diperlakukan secara keji, tetapi juga dilempari batu, dan akhirnya terpaksa kembali ke Makkah.
Sekembalinya ke Makkah, Muhammad mengunjungi kemah-kemah suku Arab yang datang ke kota itu untuk melakukan ziarah tahunan (haji). Di sini, ia berdakwah dan mendapat sambutan positif dari sekelompok peziarah yang berasal dari Yatsrib (Madinah). Para peziarah ini bahkan mengundangnya ke Yatsrib untuk tinggal bersama mereka serta memberikan jaminan keamanan atasnya. Setelah membahas syarat-syarat kepindahan selama dua musim haji, akhirnya suatu perjanjian – dikenal sebagai Perjanjian Aqabah – disepakati. Pada 622, Muhammad, dengan ditemani Abu Bakr, berhijrah dari Makkah ke Madinah.[94] Peristiwa eksodus ini, pada masa pemerintahan Khalifah ke-2, Umar ibn Khaththab, dijadikan sebagai tonggak inisiasi era Islam.
Langkah pertama yang dilakukan Nabi setiba di Madinah adalah membangun masjid, tempat sembahyang yang merupakan pusat kehidupan Islam. Al-Quran merujuk peristiwa ini (9:108 f.) dengan menegaskan bahwa masjid tersebut didirikan atas dasar ketakwaan. Langkah lain yang dilakukan Nabi di waktu itu adalah menciptakan fondasi kemasyarakatan dengan mengikat tali persaudaraan antara kaum Muslimin yang berhijrah mengikutinya (muhâjirûn) dan penduduk setempat yang menerima klaim kenabiannya (anshâr,“penolong”). Sebagaimana diketahui dari berbagai riwayat, mayoritas populasi Arab di Madinah segera menyatakan keimanan mereka pada waktu Muhammad tiba di kota tersebut atau segera setelah itu.
Namun, masalah politik yang genting kini muncul, karena – menurut hukum kesukuan Quraisy – Nabi dan para pengikutnya yang berasal dari Makkah dipandang sebagai buronan atau pengkhianat yang harus dimusnahkan sekalipun berdomisili di Madinah. Sementara penduduk kota Madinah sendiri terpecah belah. Di samping dua suku besar – yakni Aus dan Khazraj – yang saling bermusuhan, ada tiga suku Yahudi lainnya di Madinah: banu Qainuqa, banu Qurayzhah dan banu Nadir. Sekalipun suku-suku Yahudi ini terpecah belah dan memihak kepada salah satu dari kedua suku besar di atas, mereka merupakan suatu kelompok tersendiri.
Di sisi lain, di kalangan kedua suku Arab yang telah menerima Islam terdapat sekelompok orang yang disebut al-Quran sebagai munâfiqûn. Kelompok ini adalah pengikut Abd Allah ibn Ubay yang berasal dari suku Khazraj. Ketika Muhammad tiba di Madinah, Abd Allah ibn Ubay secara lahiriah menyatakan keislamannya, tetapi secara diam-diam menyembunyikan rencana menggerogoti Islam. Orang-orang munafik inilah yang secara rahasia menggalang hubungan dengan orang-orang pagan Makkah dan suku-suku Yahudi, serta secara konstan melancarkan intrik-intrik terhadap kaum muslimin.[95]
Dalam beberapa bulan setelah tiba di Madinah, Muhammad berembuk dengan penduduk kota tersebut dan menghasilkan suatu kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah, atau – sebagaimana biasa diistilahkan – Konstitusi Madinah. Piagam ini merupakan dasar pembentukan federasi suku-suku di kota itu berpijak pada tradisi kesukuan Arab yang ada. Isinya menguraikan hak dan kewajiban seluruh kelompok yang berdiam di kota tersebut. Nabi diakui sebagai kepala arbitrator Madinah untuk menyelesaikan segala perselisilahan antar-komunal. Orang-orang Yahudi diberi jaminan otonomi keagamaan dan kultural,  serta diakui sebagai suatu komunitas bersama-sama kaum Muslimin. Tetapi, kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah ini tidak bertahan lama,[96] lantaran perubahan situasi dan kondisi yang sangat cepat.
Dokumen piagam tersebut terdapat antara lain dalam biografi Nabi yang disusun Ibn Ishaq (w. 768).[97] Seluruh sarjana, baik Muslim maupun Barat, memberi kata sepakat tentang otentisitasnya.[98] Yang menjadi masalah di kalangan mereka adalah apakah dokumen itu merupakan dokumen tunggal atau terdiri dari beberapa dokumen. Julius Wellhausen memandangnya sebagai satu kesatuan, dan menduganya dibuat antara tahun pertama Hijriyah hingga sebelum Perang Badr. Sementara W.M. Watt dan R.B. Serjeant menganggapnya terdiri dari beberapa pakta yang digabung ke dalam satu dokumen. Paruhan pertama dokumen itu, menurut Watt, berasal dari masa sebelum Badr, dan sisanya dari berbagai masa setelah Badr.
Serjeant memberikan penanggalan lebih rinci terhadap berbagai pakta dalam Piagam Madinah. Menurutnya, piagam ini terdiri dari delapan dokumen terpisah yang, secara umum, disusun menurut tatanan pembuatannya. Dokumen 1 dan 2 merupakan pakta yang dibuat segera setelah Muhammad tiba di Madinah. Dokumen 3 dan 4 dibuat sebelum Badr dan mendefinisikan hubungan Muslim-Yahudi di dalam masyarakat  Madinah. Dokumen 5 mengakui kembali status orang-orang  Yahudi setelah ketegangan antara mereka dan umat Islam pasca-Badr. Dokumen 6, yang memproklamasikan Madinah sebagai wilayah suci (haram), berasal dari masa belakangan. Dokumen 7 kembali menekankan hubungan Muslim-Yahudi, yang kali ini mengungkapkan aliansi antara kaum Muslimin dan banu Qurayzhah, segera sebelum pengepungan Madinah pada 5H/627. Dokumen terakhir merupakan ketentuan tambahan untuk dokumen 6 tentang kesakralan Madinah.
Setelah berhasil melakukan konsolidasi di Madinah, Nabi beralih pada tugas lainnya yang merupakan faktor penentu dalam tugas kenabiannya, yakni mengislamkan Makkah. Sebagaimana diketahui, Makkah – di samping pengaruh komersial dan politiknya – merupakan suatu kota yang menjadi pusat keagamaan orang-orang Arab. Dengan menarik kota tersebut menerima Islam, agama ini tentunya akan menyebar ke daerah-daerah Arab lainnya. Karena itu, kurang lebih satu tahun setelah hijrah, Ka‘bah di Makkah dinyatakan al-Quran sebagai objek haji, atau “tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia” (2:125). Sekitar enam bulan kemudian, tempat tersebut ditetapkan sebagai arah yang dituju dalam shalat, menggantikan posisi Yerusalem (2:142-150).
Pada titik ini, sejumlah penulis Barat mengungkapkan bahwa tindakan-tindakan di atas merupakan indikasi yang kuat kepada “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam yang dilakukan Nabi karena dikecewakan orang-orang Yahudi Madinah yang menolak mengikutinya. Snouck Hurgronje, sehubungan dengan teori “arabisasi” ini, misalnya, mengemukakan:
Pada mulanya, Muhammad yakin bahwa ia membawa kepada orang-orang Arab apa yang diterima orang-orang Kristen dari Isa, orang-orang Yahudi dari Musa, dan seterusnya, serta untuk menentang orang-orang kafir ia dengan penuh keyakinan menyebut sebagai bukti “orang-orang berilmu” (16:41; 21:7), yang kepadanya seseorang hanya perlu bertanya dalam rangka memperoleh konfirmasi tentang kebenaran ajarannya. Di Madinah ia mengalami kekecewaan, karena  para ahli kitab tidak mau mengakuinya. Karena itu, ia mengupayakan suatu otoritas bagi dirinya yang berada di luar kontrol mereka, yang sekaligus tidak berkontradiksi dengan wahyu-wahyu terdahulunya. Ia kemudian berpaling kepada nabi-nabi terdahulu yang tidak dapat membantahnya.[99]
Pernyataan di atas merupakan formula klasik yang dirumuskan kalangan orientalis pada umumnya untuk menunjukkan bahwa ketika kaum Yahudi dan Kristen di Madinah menolak mengakui risalah kenabian Muhammad, ia lalu berpaling kepada Ibrahim – yang dikatakan di dalam al-Quran bukan seorang Yahudi atau Kristen, tetapi seorang yang hanîf dan muslim[100] – dan pada titik inilah terjadi “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam. Kiblat – arah dalam shalat – yang semula ke Yerusalem, diubah menghadap ke Ka‘bah di Makkah; sementara ziarah keagamaan ke Ka‘bah ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam.[101]
Pandangan tentang “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam ini secara sederhana dapat ditolak dengan mengemukakan bahwa monoteisme al-Quran yang sejak semula terkait erat dengan humanisme dan rasa keadilan sosio-ekonomik, bukanlah sesuatu yang khas Arab. Bahwa Nabi dengan segera terlibat konflik dengan kaum-kaum Yahudi Madinah, merupakan suatu kenyataan historis yang tidak dapat dipungkiri siapapun. Hal ini dirujuk al-Quran dalam berbagai kesempatan.[102] Argumentasi tentang peran Yahudi dalam kasus perpindahan kiblat tampaknya terlalu dibesar-besarkan. Bukti semacam ini tentunya lebih berbobot jika dapat diperlihatkan bahwa dalam rangka mengambil hati orang-orang Yahudi, Nabi telah menunjuk Yerusalem sebagai kiblat setibanya di Madinah. Namun, kenyataan historisnya tidaklah demikian. Berkiblat ke Yerusalem tampaknya diperintahkan di Makkah ketika kaum Muslimin yang tertindas tidak diperbolehkan pergi ke Ka‘bah – pusat keagamaan seluruh bangsa Arab – untuk melakukan shalat. Penunjukan Yerusalem sebagai kiblat juga pada hakikatnya ditujukan untuk menegaskan perbedaan mendasar antara penyembah berhala dan kaum Muslimin. Al-Quran sendiri mengatakan: “Dan tidaklah Kami jadikan kiblat yang kamu ikuti sebelum ini (yakni Yerusalem) kecuali hanya untuk mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang” (2:143).
Sementara penetapan haji ke Makkah tentu saja tidak ada hubungannya dengan sikap orang-orang Yahudi Madinah terhadap Nabi dan misi kenabiannya, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan yang bersifat politik dan ekonomik. Kekuasaan politik dan ekonomik yang dimiliki Makkah – sebagai tempat suci yang diziarahi seluruh bangsa Arab – jelas merupakan faktor penentu diwajibkannya ziarah ke Makkah, disamping adanya kepercayaan tentang kesucian Ka‘bah yang mesti ditegakkan kembali selaras dengan tradisi keagamaan Ibrahim. Karena itu, kontrol politik atas Makkah mesti diperoleh Nabi untuk membuat perubahan-perubahan ritual dan sosio-religius lainnya menjadi memungkinkan, dan inilah yang diupayakannya segera setelah hijrah ke Madinah. Lebih jauh, jelas tidak ada untungnya bagi Nabi dan Islam untuk melakukan kompromi dengan segelintir kaum Yahudi Madinah – sekalipun posisi mereka sangat strategis di kota tersebut – dengan melepaskan Makkah dan, konsekuensinya, daerah-daerah Arab lainnya.[103]
Di samping itu, Nabi juga menyerang kafilah-kafilah dagang Makkah yang hendak ke atau kembali dari Siria, tidak hanya untuk mendapatkan pampasan perang, tetapi terutama untuk mengisolasi Makkah secara ekonomik agar penduduk kota tersebut tunduk kepada Islam. Dengan demikian, tindakan razia terhadap kafilah-kafilah dagang ini jelas merupakan suatu strategi militer yang cemerlang. Permusuhan aktif yang sejak semula ditunjukkan orang-orang Makkah kepada Islam dan pandangan mereka tentang Nabi beserta kaum Muhajirin sebagai buronan atau pengkhianat yang mesti dimusnahkan, barangkali telah membuat Nabi mengambil tindakan untuk melakukan penyergapan terhadap kafilah-kafilah dagang Makkah. Dengan kata lain, keadaan perang telah tercipta di antara kedua belah pihak. Al-Quran sendiri memberi kesaksian yang jelas tentangnya ketika merujuk kepada suatu bentrokan yang terjadi antara suatu kafilah niaga Makkah dengan sekelompok Muhajirin dalam bulan “haram” – bulan yang menurut norma antar-suku Arabia dilarang melakukan peperangan.[104] Dalam 2:217 disebutkan:
Mereka bertanya kepadamu tentang peperangan dalam bulan haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi, lebih berat lagi adalah menghalangi manusia dari jalan Allah dan kafir kepada-Nya, dan (menghalangi) orang memasuki Masjid al-Haram serta mengusir mereka dari dalamnya. Mengusir orang dari kampung halamannya adalah lebih berat di sisi Allah. Dan berbuat fitnah itu lebih berat dari pada membunuh. Mereka (orang-orang Makkah) akan terus memerangi kamu sampai berhasil memurtadkan kamu dari agamamu, seandainya mereka sanggup.
Dengan demikian, dari bagian al-Quran di atas, dapat disimpulkan bahwa serangkaian operasi militer atau razia yang dilancarkan kaum Muslimin dari Madinah terhadap kafilah-kafilah dagang Makkah bukanlah tanpa provokasi sebelumnya dari orang-orang Quraisy. Ketegangan-ketegangan ini akhirnya memuncak dalam suatu peperangan terbuka di Badr, yang terletak beberapa mil di barat daya Madinah. Suatu kafilah niaga Makkah yang dipimpin Abu Sufyan, dengan sokongan 900 prajurit dari Makkah, berhadapan dengan kurang lebih 300 tentara Muslim yang dipimpin langsung Nabi pada bulan Ramadlan tahun ke-2 Hijriyah.
Hasilnya, kekalahan besar diderita pihak Makkah dan beberapa pemimpin mereka tewas dalam pertempuran – diperkirakan sekitar 70 orang Quraisy, termasuk pemimpin aristokrat Makkah, Abu Jahal – serta banyak di antaranya yang tertawan pasukan Muslim. Sebagian dari tawanan dilepaskan dengan tebusan, sementara sebagian lagi dibebaskan dengan syarat mengajarkan kaum Muslimin membaca dan menulis. Al-Quran menyebut kemenangan dalam Perang Badr direbut berkat pertolongan Allah: “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di Badr, padahal kamu (ketika itu) dalam keadaan lemah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukurinya” (3:123).[105]
Segera setelah Perang Badr, Nabi menandatangani sebuah pakta dengan beberapa suku Badui yang kuat. Hubungan ini dijalin suku-suku tersebut lantaran melihat kekuatan kaum Muslimin yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dalam pakta itu, kedua belah pihak bersumpah untuk saling tolong-menolong. Tetapi, pakta ini tidak bertahan lama. Selang beberapa waktu kemudian, Nabi menyerang suku Yahudi Madinah, banu Qainuqa, yang berkomplot dengan orang-orang Makkah dalam melanggar isi Piagam Madinah dan memaksa mereka angkat kaki ke Transyordania.
Kekalahan pahit di Badr dan tetap dilakukannya razia terhadap kafilah-kafilah dagang Makkah telah membuat orang-orang Quraisy memandang perlu diambil langkah-langkah yang lebih tegas untuk membalas kekalahan mereka. Pada 3H/625, 3000 prajurit Makkah di bawah pimpinan Abu Sufyan bergerak ke Madinah. Di bawah desakan para sahabat – yang sebenarnya bertentangan dengan penilaiannya tentang memerangi pasukan Quraisy di kota Madinah – Nabi memutuskan berperang di dekat Uhud.
Pada mulanya, pihak Makkah terdesak dalam pertempuran. Tetapi, pasukan pemanah Muslim yang ditempatkan di atas bukit untuk melindungi bala tentara Muslim lainnya, meninggalkan posisi strategis mereka dan terjun ke kancah pertempuran, karena khawatir tidak akan diperhitungkan dalam pembagian pampasan perang. Akhirnya, keadaan berbalik secara drastis: pasukan Muslim diporakporandakan bala tentara Makkah, dan tersebar desas-desus bahwa Nabi –  yang terluka – telah gugur.[106]
Orang-orang Makkah tidak lagi melanjutkan pertempuran dan kembali ke kota mereka dengan kemenangan gilang-gemilang di tangan. Banyak sahabat Nabi yang gugur dalam pertempuran Uhud, termasuk Hamzah ibn Abd al-Muthalib, dan kekalahan bala tentara Muslim ini juga memberi andil yang cukup besar dalam menjatuhkan pamor mereka. Namun, dengan penuh kesabaran Nabi berupaya membangun kembali kekuatan moral pengikutnya. Al-Quran, disamping mengeritik kaum Muslimin, juga menghibur dan membangkitkan kembali semangat mereka setelah kekalahan pahit tersebut.[107] Sementara itu, orang-orang Yahudi Madinah yang tidak ikut berpartisipasi dalam Perang Uhud tidak lagi merahasiakan kegembiraan mereka atas kemalangan yang menimpa kaum Muslimin. Demikian pula, suku-suku Badui yang terikat pakta dengan kaum Muslimin tidak lagi menunjukkan sikap bersahabat.
Pada 4H/624, salah satu suku Yahudi Madinah, banu Nadlir, diusir dari kota itu lantaran sikap permusuhan yang mereka tunjukkan kepada kaum Muslimin dan kecurigaan akan maksud mereka membunuh Nabi. Mereka diperintahkan meninggalkan Madinah dalam jangka waktu 10 hari dan diperkenankan membawa segala harta bendanya. Pada mulanya, suku ini menyatakan kesediaannya untuk angkat kaki, tetapi Abd Allah ibn Ubay – pemimpin kaum munafik Madinah – membujuk mereka agar tetap tinggal dalam benteng dan berjanji akan mengirimkan bantuan militer.
Berharap akan memperoleh bantuan – di samping dari Ubay, juga dari banu Qurayzhah – mereka bersiap siaga untuk mengadakan perlawanan kepada kaum Muslimin. Ketika batas waktu yang ditetapkan telah habis, kaum Muslimin mengepung benteng banu Nadlir. Bala bantuan yang diharapkan suku Yahudi ini tidak kunjung tiba. Akhirnya, setelah kaum Muslimin mulai menebang pohon-pohon kurma mereka, banu Nadlir menyerah serta terusir sebagiannya ke Siria dan sebagian lagi ke Khaibar. Kisah pengusiran suku Yahudi tersebut dituturkan al-Quran dalam 59:1-17.
Sementara kaum Muslimin tengah berupaya memulihkan kondisinya, suatu ancaman besar kembali datang dari Makkah. Kaum Quraisy, atas hasutan orang-orang Yahudi Khaibar dan dengan bantuan suku-suku Badui lainnya mengerahkan sekitar 10.000 prajurit untuk menduduki Madinah. Mereka sadar bahwa kemenangan di Uhud tidak begitu menentukan dan adalah lebih penting menaklukkan Madinah untuk memadamkan api Islam. Pada 5H/627, bergeraklah pasukan besar tersebut ke Madinah yang membuat penduduk Muslim di kota itu sangat kuatir. Kekuatiran ini semakin menjadi-jadi lantaran sikap yang dipertontonkan kaum munafik dan diketahuinya kenyataan bahwa kaum Yahudi Madinah lainnya, banu Qurayzhah, menggalang persekutuan dengan orang-orang Makkah.[108]
Nabi, atas saran  sahabat Salman al-Farisi, memerintahkan penggalian parit-parit di depan bagian-bagian kota yang tidak terlindungi. Balatentara Makkah beserta sekutu-sekutunya mengepung kota Madinah, tetapi tidak berhasil memasuki, apalagi mendudukinya. Pengepungan ini memakan waktu lama dan berlarut-larut, sehingga melemahkan para pengepung itu sendiri. Akhirnya, dengan kerugian sangat besar, pasukan pengepung pun mengundurkan diri dan kembali ke Makkah. Kaum Muslimin mengakhiri Perang “Parit” (khandaq, kata pinjaman dari bahasa Persia) – demikian lazimnya perujukan kepada peperangan ini dalam rekaman-rekaman sejarah – dengan kemenangan yang gilang gemilang.
Perilaku suku-suku Badui, kaum Munafik dan orang-orang Yahudi selama beberapa kali peperangan barangkali cukup relevan diamati sejenak. Apabila kaum Muslimin memperoleh kemenangan dalam pertempuran, maka orang-orang Badui sangat bersemangat untuk menggalang pakta perdamaian dan saling tolong-menolong dengan kaum Muslimin; namun bila keadaan sebaliknya yang terjadi, maka orang-orang Badui itu mengkhianati pakta-pakta yang mereka buat. Al-Quran menggambarkan perilaku suku-suku Badui ini sebagai berikut: “Orang-orang Badui itu adalah yang paling hebat kekufuran dan kemunafikannya serta yang paling condong tidak melakukan batasan-batasan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya” (9:97). Sementara orang-orang munafik, yang merupakan musuh dalam selimut, terlihat menghilang dengan meninggalnya  Abd Allah ibn Ubay pada 9H/631. 
Dalam kaitannya dengan kaum Yahudi, seperti telah diutarakan di atas, mereka secara terang-terangan maupun gelap-gelapan telah menjalin hubungan dengan Makkah dan kaum munafik. Al-Quran berulang kali mempersalahkan mereka sebagai orang-orang yang melanggar pakta-pakta.[109] Itulah sebabnya, setelah setiap peperangan besar, Nabi berpaling kepada salah satu suku Yahudi dan mempersalahkannya lantaran tidak setia kepada perjanjian yang dibuat: Setelah Badr, banu Qainuqa dipersalahkan dan diusir dari Madinah; setelah Uhud, giliran banu Nadlir mendapatkan perlakuan yang sama; dan setelah Perang Khandaq – dimana kaum Yahudi Khaibar dan banu Qurayzhah menjalin persekongkolan dengan orang-orang Makkah – suku Yahudi terakhir di Madinah itu diserang kaum Muslimin. Peperangan yang mengakibatkan dibantainya sejumlah besar orang-orang Yahudi banu Qurayzhah ini, dan mengakibatkan punahnya suku tersebut, dirujuk al-Quran di beberapa tempat.[110]
Setelah melakukan “pembersihan” etnis Yahudi di Madinah, kaum Muslimin tetap melanjutkan sergapan terhadap kafilah-kafilah dagang Makkah hingga 6H/626-7. Beberapa serbuan juga dilakukan terhadap suku-suku Badui untuk menghukum mereka atas pelanggaran-pelanggaran perjanjian yang dilakukan. Salah satu ekspedisi punitif ini adalah yang dilakukan terhadap banu Mushthaliq pada 5H. Ekspedisi ini menarik disebut, karena terkait dengan suatu peristiwa yang menimpa Aisyah, (w. 678), salah satu istri Nabi, dan menyebabkan ketegangan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Aisyah, yang tertinggal di suatu tempat setelah ekspedisi itu, ditemukan dan dibawa pulang ke Madinah oleh Shafwan ibn Mu‘aththal. Kejadian ini menimbulkan desas-desus di kalangan kaum Muslimin yang membahayakan posisi Aisyah sebagai isteri Nabi serta mengancam putusnya pertalian saudara antara Muhajirin dan Anshar.  Akhirnya, wahyu turun  menyelamatkan Aisyah dari berbagai desas-desus dan mencairkan ketegangan antara kedua pengikut Nabi tersebut.[111]
Pada penghujung 6H, posisi Nabi di Madinah semakin mapan. Sekalipun masih menjadi buronan orang-orang Makkah dan tidak diperkenankan berziarah ke tempat-tempat suci di kota tersebut, Nabi – mungkin melalui sejenis agensi rahasia yang dijalin lewat klannya – mengetahui opini publik yang berkembang di Makkah (cf. 48:11-17; 60:7-9). Jumlah yang makin membesar di kalangan penduduk kota ini telah lelah berperang. Mereka mulai berpikir bahwa adalah lebih menguntungkan bagi perniagaan Makkah, jika perdamaian diwujudkan dengan musuh bebuyutannya yang tidak terkalahkan, khususnya setelah Islam mewajibkan pengikutnya berziarah ke Makkah.
Melihat kondisi Makkah semacam itu, pada 6H/628, Nabi menyatakan keinginannya untuk melakukan umrah ke kota tersebut. Bersama pengikutnya, Muhammad bergerak dari Madinah ke Makkah. Ada bagian al-Quran yang mengisahkan bahwa Nabi mengajak suku-suku Badui tertentu untuk menemaninya dalam perjalanan itu, tetapi mereka menolak ajakannya (48:llf.). Ketika mendekati Makkah, sejumlah prajurit dikirim dari dalam kota untuk menahan kaum Muslimin. Karena itu, Nabi memutuskan berkemah di Hudaibiyah dan melakukan negosiasi dengan orang-orang Quraisy. Ia mengutus Utsman ibn Affan (w. 656) ke Makkah untuk berunding. Tetapi, ketika tidak terdapat tanda-tanda bahwa Utsman akan kembali dan muncul desas-desus bahwa ia telah dibunuh, Nabi mengumpulkan pengikutnya serta mengambil sumpah setia mereka – dikenal sebagai bay‘ah al-ridlwân dan dirujuk dalam 48:10,18 – untuk memerangi suku Quraisy hingga kemenangan akhir tercapai. Akibat sumpah setia ini, kaum Quraisy melepas Utsman dan mengirim utusan untuk melakukan perundingan dengan kaum Muslimin, yang berujung dengan ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiyah.
Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa kaum Muslimin akan menunda ibadah umrahnya hingga tahun depan. Sebenarnya klausa ini ditentang keras sebagian pengikut Nabi, tetapi kenyataan bahwa orang-orang Quraisy terpaksa berunding dan membuat  perjanjian   dengan   kaum  Muslimin  dalam kedudukan  yang  setara, jelas merupakan suatu kemenangan diplomatik yang besar bagi kaum Muslimin. Para sejarawan Barat modern bahkan memandang perjanjian tersebut sebagai suatu langkah diplomasi Nabi yang piawai.[112] Setelah penandatanganan perjanjian Hudaibiyah, Muhammad dan pengikutnya kembali ke Madinah.
Pada permulaan 7H (628-9), Nabi dan pengikutnya menaklukkan oase kaya Khaibar, yang dihuni orang-orang Yahudi. Koloni Yahudi lainnya, Wadi al-Qura, juga jatuh ke tangan kaum Muslimin dalam ekspedisi ini, yang mendatangkan banyak  pampasan  perang bagi mereka.[113]  Suatu hal baru  dilembagakan Nabi dalam penaklukan Khaibar, yang pada masa-masa selanjutnya dipraktekkan dalam penyebarluasan domain politik Islam: Nabi tidak menghukum mati atau mengusir penduduk Khaibar, tetapi membiarkan mereka sebagaimana adanya dan mengharuskan membayar iauran setiap tahun. Belakangan, dalam terminologi fiqh, orang-orang taklukan semacam ini disebut dzimmi serta iuran yang mesti dibayar disebut jizya (pajak kepala) dan kharaj (pajak tanah).
Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, pada 7H/629 Muhammad beserta pengikutnya melakukan umrah ke Makkah. Salah satu peristiwa yang signifikan di sini adalah masuk Islamnya beberapa pemuka Quraisy yang penting seperti Amr ibn al-Ash (w. 663) dan Khalid ibn Walid (w. 642). Setelah itu, Nabi tetap melakukan ekspedisi-ekspedisi militernya. Suatu ekspedisi ke Transyordania yang dipimpin Zayd ibn Tsabit (w. 655) mengalami kekalahan di  Mu’ta.  Tetapi, sejumlah  besar  suku  Yahudi  kini  mulai  melihat sisi-sisi positif bila bergabung dengan kaum Muslimin. Akhirnya, suku-suku ini – bahkan suku-suku besar seperti banu Sulaim – bergabung dengan kaum Muslimin dan menyatakan keislamannya.
Di perkirakan pada masa inilah Muhammad mengirim surat kepada Raja Ethiopia, Gubernur Mesir, Kaisar Bizantium serta Persia, dan lainnya, yang berisi seruan kepada mereka untuk memeluk Islam. Sebagian besar penulis Barat meragukan keabsahan surat-surat tersebut dan menilainya sebagai rekayasa belakangan untuk menguniversalkan risalah yang dibawa Nabi. Skeptisisme ini dikedepankan demi membela sudut pandang mereka tentang Islam sebagai agama nasional Arab. Tetapi, sebagaimana telah ditunjukkan, gagasan tentang agama nasional itu sama sekali tidak memiliki basis yang kuat.
Lantaran pelanggaran yang dilakukan orang-orang Quraisy terhadap perjanjian Hudaibiyah – yakni dengan mendukung suku Bakr melawan suku Khuza‘ah yang terikat perjanjian tolong-menolong dengan kaum Muslimin – maka dengan dukungan bala tentara sebesar 10.000 (?) prajurit Nabi bergerak ke Makkah untuk menaklukkannya pada 8H/629. Ketika pasukan Muslim tiba di luar kota tersebut, pemuka-pemuka suku Quraisy – diantaranya Abu Sufyan – diutus untuk merundingkan penyerahan kota Makkah secara damai. Akhirnya, Nabi memasuki kota kelahirannya praktis tanpa perlawanan dan hampir seluruh penduduk kota tersebut menyatakan keimanan kepada risalah yang dibawanya. Amnesti diumumkan bagi seluruh musuh Islam, dan berhala-berhala penghias Ka‘bah dihancurkan.
Tahap akhir kehidupan Muhammad ditandai dengan meluas otoritasnya ke sebagian besar penjuru Arabia. Selama dua tahun setelah fath al-makkah, sebagian besar penduduk Arabia secara suka rela memeluk Islam. Sementara kota Thaif dan suku-suku Hawazin melakukan perlawanan sengit. Tetapi, yang lebih dahulu diserbu adalah suku-suku Hawazin. Dalam pertempuran melawan suku-suku tersebut di Hunain, hampir saja pasukan Muslim menghadapi bencana lantaran rasa percaya diri yang berlebihan karena berjumlah lebih besar dari musuh.[114]  Akhirnya, kemenangan bisa mereka peroleh.
Langkah selanjutnya adalah menundukkan Thaif. Bala tentara Muslim mengepung kota itu yang berkesudahan dengan pernyataan keislaman penduduknya. Setelah peristiwa ini, tidak ada lagi konsentrasi suku-suku pengembara di Arabia – selain di bagian utara – yang cukup kuat berperang melawan kaum Muslimin. Sekitar 9H/ 630-1, sebagian besar suku-suku di Arabia mengirim delegasi-delegasi ke Madinah untuk menyatakan ketundukannya kepada kaum Muslimin dan merundingkan syarat-syarat persekutuan sehubungan dengan pengakuan keislaman mereka.[115]
Pada tahun yang sama, Nabi beserta 30.000 prajurit Muslim melakukan suatu ekspedisi militer terhadap kelompok-kelompok Kristen di Transyordania. Ekspedisi ini, yang mencatat sukses besar, tampaknya memiliki tujuan strategis untuk membuka rute perluasan Islam ke Siria. Selama masa perhentian di Tabuk, sejumlah negeri Kristen dan Yahudi di bagian utara Arabia – seperti raja Kristen Yuhanna di Aila, orang-orang Adzruh dan kaum Yahudi di kota pelabuhan Makna – menyatakan ketundukannya kepada otoritas kaum Muslimin. Sementara itu, kota penting Dumat al-Jandal berhasil ditaklukkan pasukan Muslim di bawah pimpinan Khalid ibn Walid. Al-Quran merujuk ekspedisi ini di beberapa tempat.[116]
Pada 10H/632, Nabi menunaikan ibadah haji ke Makkah, yang merupakan ibadah haji terakhir baginya. Dalam kesempatan pelaksanaan ibadah tersebut ia menyampaikan suatu khutbah yang menekankan persaudaraan kaum Muslimin, persamaan harkat dan martabat manusia tanpa memandang warna kulit dan asal-usul etnis, serta menggantikan pertalian darah kesukuan dengan ikatan keimanan. Khutbah ini merangkum berbagai pembaruan moral, sosio-ekonomik dan keagamaan yang dicanangkan Muhammad.
Sekembalinya ke Madinah, Nabi jatuh sakit dan dipanggil pulang ke hadirat ilahi pada 13 Rabi‘ al-Awwal 11H, bertepatan dengan 8 Juni 632. Sebelum ajal menjemputnya, Nabi masih sempat merencanakan suatu ekspedisi ke utara, di luar tapal batas Arabia. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi secara pasti tidak akan membatasi perkembangan Islam hanya di jazirah Arab. Baginya, Islam harus me langkah ke luar jazirah tersebut. Berdasarkan logika semacam ini, keberadaan surat-surat yang ditulis Nabi kepada Raja Ethiopia, Gubernur Mesir, dan kaisar-kaisar Bizantium serta Persia, yang berisi seruan kepada mereka untuk memeluk Islam, pada prinsipnya dapat diterima sekalipun teks surat-surat tersebut yang kita warisi dewasa ini bisa diragukan otentisitasnya. Nabi tampaknya telah menggariskan tekad bahwa Islam mesti melangkah ke luar Arabia, sejalan dengan universalitas risalah yang didengungkannya.




[1] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Quran, tr. Machasin, (Jakarta:INIS, 1997), p. 9.
[2] W. M. Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1970), p. xi.
[3] Lihat A. T. Welch, “Introduction: Qur’anic Studies – Problems and Prospects,” Journal of the American Academy of Religion, vol. 47 (1979), p. 620; lihat juga Watt, Bell’s Introduction, ibid.
[4] Welch, ibid.
[5] Watt, Bell’s Introduction, p. xi.
[6] Konsekuensinya, sebagian sarjana Muslim memberikan respon yang keras terhadap Barat dan bahkan berupaya meletakkan batas-batas wilayah kajian yang tidak boleh dimasuki Barat, yakni al-Quran dan sunnah Nabi. Lihat Muhammad Abdul-Rauf, “Outsiders’ Interpretations of  Islam: A Muslim’s Point of View,” Approaches to Islam in Religious Studies, ed. Richard C. Martin, (Tucson: The Univ. of Arizona Press, 1985), pp. 179-188, khususnya pp. 185 ff.
[7] Lihat misalnya Abu Abd Allah az-Zanjani, Wawasan Baru Tarikh al-Quran, tr. Kamaluddin marzuki Anwar & A. Qurtubi Hasan, (Bandung: Mizan, 1986); Ibrahim al-Abyari, Sejarah al-Quran, tr. St. Amanah, (Semarang: Dina Utama, 1993); dan sejumlah buku daras ‘ulûm al-Qur’ân, yang memuat sebagian materi sejarah al-Quran.
[8] Az-Zanjani, ibid., pp. 66-69.
[9] Lihat Abu Bakar Aceh, Sejarah al-Quran, (Solo: Ramadhani, 1986), p. 12. Sayangnya karya rintisan tentang sejarah al-Quran yang disusun Adnan Lubis ini tidak berhasil diperoleh penulis.
[10] Cetakan pertama terbit pada 1948. Direvisi dengan sejumlah penambahan pada cetakan ke-4, 1956.
[11] Aceh, Sejarah, p. 11.
[12] Lihat daftar  isinya, ibid., pp.  5 f.
[13] H.A. Mustofa, Sejarah al-Qur’an, (Surabaya: al-Ikhlas, 1994).
[14] Tahun terjadinya ekspedisi ini dipersengketakan di kalangan sarjana. Tentangnya, lihat M.J. Kister, Studies in Jahiliyya and Early Islam, (London: Variorum Reprints, 1980), art. iv, pp. 427 f.
[15] Lihat Richard Bell, The Origin of Islam in its Christian Environment, (London: Frank Cass & Co., 1968), pp. 39-41.
[16] Haris Birkeland, The Lord Guideth: Studies on Primitive Islam, (Oslo: I Kommisjon Hos H. Aschehoug & Co, 1956), pp. 122 f.
[17] Dalam karya-karya sejarawan muslim yang awal, perjanjian jaminan keamanan ini biasanya dirujuk dengan berbagai istilah seperti îlâf, ‘ahd, amân, hilf, ‘ishâm, dll.
[18] Lihat Kister, Studies, art. i, pp. 116 ff.
[19] Ibid., p. 141.
[20] Birkeland, Lord Guideth, p. 123, 
[21] Lihat 2:16,282; 4:29; 9:24; 24:37; 35:29; 6l:l0; dan 62:ll, di mana kata tijârah muncul dua kali.
[22] Lihat C.C. Torrey, The Commercial-Theological Terms in the Koran, (Leiden: E.J. Brill, l892).
[23] Ibid., p. 8.
[24] Lihat 38:l6,26,53; 40:27; dalam  l4:4l, yawma yaqûm al-hisâb.
[25] Lihat 2:202; 3:l9,l99; l3:4l; l4:5l; 24:39; 40:l7.
[26] Lihat 4:6,86; 33:39.
[27] Lihat l8:49; 45:28f.; 69:l9,25; 84:7,l0; dll.
[28] Lihat 21:47; 7:8f.; 23:l02f.; l0l:6-8.
[29] Lihat l4:5l; 40:l7; 45:22; 52:21; 74:28.
[30] Lihat  Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahras li alfâz al-Qur’ân al-karîm, (Maktabah Dahlan, tt.), di bawah entri  k-s-b, j-z-y dan  ’-j-r  untuk berbagai rujukan al-Qurannya.
[31] Lihat juga 2:207 yang memiliki gagasan senada.
[32] Cf. 2:90. Ungkapan isytarawû al-dlalâlah bi-l-hudâ juga digunakan dalam salah satu bagian al-Quran  (2:l75) dengan rujukan kepada ahli kitab – barangkali kepada orang-orang Yahudi – yang telah menjual ayat-ayat Tuhan dengan harga murah (Lihat  juga 3:l87; 2:41; 5:44; dll.).
[33] Lihat A. Rippin, “The Commerce of Eschatology,” The Qur’an as Text, ed. Stefan Wild, (Leiden: E.J. Brill, 1996), pp. 127 ff. untuk berbagai terma perniagaan lainnya.
[34] Lihat misalnya 83:l-3; l7:35 cf. 26:l8l-l83; 6:l52.
[35] Tentang praktek riba, lihat artkel F. Rahman, “Riba and Interest,” Islamic Studies, vol. 3, (l964), pp.  1 ff.
[36] Lihat F. Rahman, “The Message and the Messenger,”  Islam: The Religious and Political Life of a World Community, ed. Marjorie Kelly,  (New York: Praeger, l984), p. 30.
[37] Cf. 11:7; l7:49,98; 23:35,37,82; 37:l5-l7,52f.; 50:2f.; 56:47f.; 64:7; dll.
[38] Sebagaimana diinformasikan al-Quran. Lihat l04:l-3 cf. 26:128 f.
[39] Bandingkan juga dengan gambaran dalam l8:47; 56:4-6; dll.
[40] Lihat misalnya 2:264 f.; l0:24; 22:5; 32:27; 35:27; 36:33-35; 43:ll; 50:9-ll; 57:20; dll.
[41] Dikutip dalam  Rahman, “The Message,” pp. 3l f.
[42] Lihat W.M. Watt,  Fundamentalisme Islam dan Modernitas, tr. Taufik Adnan Amal (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997),  pp 46 f.
[43] Pada beberapa kesempatan di dalam al-Quran konsep-konsep kesukuan ini diterapkan secara metaforik kepada Tuhan: Dia (Tuhan) tidak ambil peduli atas segala akibat (yakni balas dendam) dari tindakan-Nya menghukum suku Tsamud (9l:l5); Dia memberikan perlindungan (yujîru) kepada semuanya, tetapi tak ada satu pun yang bisa memberikan perlindungan (yujâru) dari azab-Nya (23:88 cf. 67:28; 72:22).
[44] Cf. 2:264; 4:38, tentang praktek kedermawanan di kalangan pagan Arab.
[45] Keempat bulan suci itu adalah Muharram, Rajab, Dzu-l-qa‘dah dan Dzu-l-hijjah.
[46] Studi menarik tentang hal ini dilakukan T. Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, (Montreal: McGill Univ. Press, l966), pp. 45 ff.
[47] Lihat misalnya l8:32-44.
[48] Lihat catatan 27 di atas untuk berbagai rujukan al-Quran mengenai curah hujan di Arabia.
[49] Lihat Rudi Paret, Mohammed und der Koran, (Stuttgart: W. Kohlhammer, 1957), p. 10;  juga A. Guillaume, Islam, (New York: Penguin Books, 1982), p. 1. 
[50] A. Guillaume, “The Influence of Judaism on Islam,” The Legacy of Israel, (Oxford: Oxford at the Clarendon Press, 1927), p. 132 f.
[51] C.C. Torrey, The Jewish Foundation of Islam, (New York: KTAV Publishing House, 1967),   p. 11,  passim.
[52] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, (Minneapolis, Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), p. 151.
[53] Aliran ini memandang bahwa Yesus hanya memiliki satu hakikat: manusia-Tuhan.
[54] Aliran ini memandang Yesus sebagai Tuhan, tetapi juga dilahirkan sebagai manusia dari rahim perawan Maria. Dengan demikian, pribadi Yesus menyatukan dalam dirinya dua hakikat: manusia dan Tuhan.
[55] Lihat misalnya W.M. Watt dalam sejumlah karyanya seperti, Muhammad at Mecca, (Oxford: Oxford Univ. Press, l953); Muhammad at Medina, (Oxford: Oxford Univ. Press,1956); Muhammad: Prophet and Statesman (Oxford: Oxford Univ. Press, l96l), Bell's Introduction, dll.
[56] Lihat misalnya  Bell, Origin. Lihat juga pp. .. di bawah.
[57] Lihat Torrey, Jewish Foundation. Lihat juga pp. ... di bawah.
[58] Bandingkan juga dengan 23:82 f.
[59] Penekanan dari penulis.
[60] Lihat misalnya 2:l70; 5:l04; 7:28; 43:22,23; dll.
[61] Lihat 2:l70; 5:l04.
[62] Lihat  Rahman, Major Themes, p. l52.
[63] Tentang hal ini lihat l3:36; 28:52f.; 2:l2l; 29:47; 3:113f.,l99; 6:ll4; ll:l7; l9:37; 43:65; dll.
[64] Lihat Shorter Encyclopaedia of Islam (SEI), eds. HAR Gibb & J.H. Kramers (Leiden: E.J. Brill, 1961), art. “Nasara”, p. 440.
[65] Lihat 2:62; 5:69; dan 22:l7.
[66] Lihat Rudi Paret, Der Koran: Kommentar und Konkordanz, (Stuttgart: W. Kohlhammer, 1971), komentar untuk 2:62, pp. 20 f.
[67] Lihat 29:6l; 31:25; 39:38; 43:9  tentang Tuhan sebagai pencipta alam semesta, dan 43:87 tentang-Nya sebagai pencipta manusia.
[68] Lihat misalnya  29:61.
[69] Lihat misalnya 29:63.
[70] Lihat  l0:l8; 39:3; 6:94; 46:28; 7:l9l; dll.
[71] Lihat 53:9f.
[72] Lihat 71:22 f.
[73] Tentang monoteisme temporal di kalangan orang-orang Arab, lihat 31:32; 29:65; l7:67; l0:22f.; 6:63f.; 27:63; 30:33; l6:53f.; 39:8; l0:l2.
[74] Lihat 5:53; 6:l09; l6:38; 24:53; dan 35:42.
[75] Lihat 7:l89f.
[76] Konsepsi tentang hierarki tuhan-tuhan dan keluarga spiritualnya semacam itulah yang dikritik al-Quran dalam berbagai kesempatan sebagai musyrik atau politeis.
[77] Lihat  Rahman, “The Message,” p. 32.
[78] Cf. SEI, art. “hanîf,” p. l33.
[79] Tentang genealogi Nabi, lihat Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, tr. A. Guillaume, (Lahore: Oxford Univ. Press, 1971), p. 3.
[80] Lihat Aisyah Abdurrachman, Tafsir Bintusy-Syathi’, tr. Mudzakir Ab-dussalam, (Bandung: Mizan, 1996), pp. 75 ff.
[81] Paret, Mohammed, p. 34.
[82] Lihat Kister, Studies, art. v, pp. 223 ff., untuk berbagai sudut pandang yang berkembang tentang makna kata tahannuts.
[83] Tidak terdapat kesepakatan di kalangan sarjana Muslim tentang tahun pengutusan Nabi ini. Tetapi  Schwally menduganya terjadi pada tahun ke-13 sebelum Hijriah, sebagai jalan tengah antara tahun ke-10 dan tahun ke-15 sebelum Hijriah. Lihat T. Noeldeke, et.al., Geschichte des Qorans, (Leipzig: Dieterich’se Verlagsbuchhandlung, 1909-1938), i, pp. 67 f.
[84] Lihat misalnya 28:85f.; 42:52; 29:48; l0:l6.
[85] Rahman, Major Themes, p. 9l.
[86] Lihat misalnya 19:73; 34:31; 73:10f.; 80:1ff.; 96:10
[87] Lihat 2:18,171; 6:39; 7:179; 8:22; 10:42; 27:80; dll.
[88] Lihat 7:59ff.; 9:70; 11:25ff.; 14:9ff.; 21:48ff.; 23:23ff.; 25:35ff.; 26:10ff.; 27:7ff.; 29:14ff.; 37:71ff.; 51:24ff.; 53:50-54; 54:9ff.; 69:4-12; 89:6-14; dll.
[89] Lihat 6:48; 11:12; 33:45; 48:8; 35:24; dll. Kata mudzakkir, juga diterapkan kepada Muhammad (88:21) dalam pengertian yang sangat dekat kepada “memberi peringatan” (cf.50:45; 7:63,69; dll.).
[90] Lihat 85:10; 8:26; dll.
[91] Lihat 6:52; l8:28; 80:lff.; dll.
[92] Tentang kisah “ayat-ayat setan” ini, lihat misalnya Abu Ja‘far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Târîkh al-umam wa al-Mulûk, (Beirut & Libanon: Dar al-Fikr, tt.),  ii, p. 419 ff. Lihat juga bab 7, p. ... di bawah.
[93] Lihat misalnya 68:9; l7:73-75; l0:l5; dll.
[94] Tentang hijrah, lihat 9:40.
[95] Lihat 4:61,88-90,137-143; 8:49; 9:45-50,61-67,74-79; 29:10f.; 33:12-20,60; 48:6; 57:13f.; 63:1-8; dll.
[96] Barangkali hanya terdapat sejumlah kecil rujukan di dalam al-Quran kepada Piagam Madinah, seperti dalam 8:56,58.
[97] Lihat Ibn Ishaq, Life of Muhammad, pp. 231-233.
[98] Lihat misalnya Julius Wellhausen, Skizzen und Vorarbeiten, (Berlin: G. Reimer, 1844-1899), iv, pp. 65-83; W.M. Watt, Muhammad at Medina, (Oxford: Clarendon Press, 1956), pp. 221-260; R.B. Serjeant, “The Constitution of Medina,” Islamic Quarterly, vol. 7 (1964), pp. 3-16; idem, “The Sunna Jami‘ah, Pacts with the Yathrib Jews, and the Tahrim of Yathrib: Analisys and Translation of the Documents Comprises in the So-called ‘Constitution of Medina’,” Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 41 (1978), pp. 1-42.
[99] Dikutip dalam Noeldeke, et.al., Geschichte, i, pp. 146 f.
[100] Lihat misalnya 3:67; 2:135 cf. 16:120; 3:95; 6:161; 16:123; dll.
[101] Lihat F. Buhl, “Muhammad,” SEI, pp. 391 ff., khususnya pp 398 f.
[102] Lihat misalnya 2:69,83-85,99,103,141; 3:66; 4:154; 5:16; 62:5; dll.
[103] Rahman, Major Themes, pp. 133 ff.
[104] Bulan haram dalam tradisi antar-suku Arab ada empat bulan, yakni bulan-bulan Muharram, Rajab, Dzu-l-Qa‘dah dan Dzu-l-hijjah. Lihat juga pp. .. di atas mengenai pakta antar suku tentangnya.
[105] Untuk berbagai rujukan al-Quran lainnya kepada Perang Badr, lihat juga 3:13,124-127; 8:7-l8,41-44.
[106] Lihat 3:144.
[107] Lihat 3:139-160,165-179.
[108] Lihat 33:9-26.
[109] Lihat misalnya 2:l00; 8:56,58; dll.
[110] Lihat 8:58; dan 33:26f. Kajian-kajian menarik tentang pembantaian banu Qurayzahh ini, lihat M.J. Kister, Society and Religion from Jahiliyya to Islam, (London: Variorum, 1990), art. viii, pp. 61-96; W.M. Watt, Early Islam, (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1990), pp. 1-12.
[111] Lihat 24:4 ff.
[112] Lihat F. Buhl, “Muhammad”, SEI, p. 40l.
[113] Lihat 48:l8-21.
[114] Lihat 9:25f.
[115] Cf. 100.
[116] Lihat 9:38-49,81-83,86-97,l07 ff.





 [GP1]Lihat 85:4-8.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ZIKIR VERSI TAREKAT

1. Enam tingkatan dalam persiapan zikir, I. Berniat Dalam niat itu diucapkan : "Ilaahi anta maqshuudii wa ridhaka mathlubi". (Ya Allah, Engkaulah yang aku maksud dan keridhaan-Mulah yang aku cari). II. Duduk Tarekat. Yaitu duduk seperti duduk tahiyat terakhir dalam sholat, kepala ditundukkan ke sisi kiri. III. Rabithatu Mursyid (rasa pertalian dgn Nabi Muhammad saw). 1. Mengucapkan: "Assalmu alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wabarakatuh". Pada tingkat ini seolah-olah Nabi Muhammad saw hadir di depan kita bersalaman. 2. Kemudian mengucapkan: "Assalamu 'alaina wa 'ala ibadishshalihin". Mengucapkan salam atas diri dan hamba-hamba Allah swt yg sholeh. IV. Bertobat. A. Membaca Istighfar tujuh kali Diniatkan supaya diampunkan oleh Allah swt dosa kita, yaitu: 1. Mata, 2. Telinga, 3. Hidung, 4. Mulut, 5. Tangan, 6. Kaki, dan 7. Syahwat. B. Membaca Istighfar tujuh kali untuk diampunkan dosa bathin, yait

TAKHRIJ HADITS TENTANG MENDATANGI DUKUN

TAKHRIJ HADITS TENTANG MENDATANGI DUKUN Penelitian  takhrij dilakukan dengan menggunakan metode takhrij al-hadits bi al-lafzh dengan menggunakan program CD Al-Maktabah al-Syamilah Versi 3.28 dengan kata kunci يَأْتُونَ الْكُهَّان . Menurut hasil pencarian, potongan hadits tesebut terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud, juz 1, hlm. 349; Musnad Ahmad , juz 39, hlm. 184, 185 dan 186; Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz 8, hlm. 138; Mu’jam al-Kabir li al-Thabrani , juz 14, hlm. 326 dan 327. Berikut ini dikemukakan secara lengkap teks hadits tersebut serta jalur-jalur sanadnya:       سنن أبي داود (ج 1\ ص 349) باب تَشْمِيتِ الْعَاطِسِ فِى الصَّلاَةِ. رقم : 931 حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى ح وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ - الْمَعْنَى - عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ حَدَّثَنِى يَحْيَى بْنُ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ هِلاَلِ بْنِ أَبِى مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِىِّ قَالَ صَ

KISAH SINGA DAN GAJAH

Di sebuah hutan terdapat raja hutan (singa) yang merasa dirinya hebat, dan untuk melegalisasikan kehebatannya, maka si singa bertanya kepada sebagian penghuni hutan. Bertanyalah si singa kepada seekor gorila. Singa: “Hai gorila, siapakah yang paling gagah di hutan ini?” Gorila: “Anda tuanku Baginda.” Banggalah si singa mendengar itu. Kemudian ia bertemu dengan seekor banteng. Singa: “Hai banteng, siapakah yang paling gagah dan hebat di hutan ini?” Banteng: “Sudah tentu Anda Baginda Raja hutan.” Mendengar jawaban-jawaban dari sebagian hewan yang ia temui, merasa sombonglah si singa. Kemudian ia berjalan kembali dengan PDnya, dan di tengah jalan ia bertemu dengan seekor gajah. Singa: “Hai gajah,Kau adalah hewan dengan hidung,telinga,dan badan terbesar di hutan ini,mungkin otakmu juga sebesar tubuhmu,,aku mau tanya, siapakah yang paling gagah dan perkasa di hutan ini?” akan Tetapi gajah tidak menjawab, dan di luar dugaan singa, gajah langsung menghajar dan menginja